Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pameran Nitibumi dari Nitirupa dan Eskpresi Kritis terhadap Bumi

5 Juni 2016   11:25 Diperbarui: 5 Juni 2016   15:29 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pameran Nitibumi oleh Komunitas Nitirupa di Bentara Budaya Bali.

Nyoman Sujana Kenyem dengan karyanya yang ingin mengungkapkan kejadian gunung meletus memberikan dampak bencana dan berkah bagi manusia. Karya yang berjudul To Be C Mining atau menjadi galian C digambarkan dengan Gunung berapi yang tidak lain adalah Gunung Agung yang kala itu meletus dan kini sisa letusannya menghasilkan pasir yang dikeruk secara terus menerus bagi kebutuhan manusia. Melihat karya To Be C Mining, Kenyem tidak kali ini saja merepon gunung berapi, di karya-karya yang lain ia menghadirkan banyak sekali gunung-gunung dengan berbanyak figure yang dihasilkan. Memang terlihat secara jelas dalam karya ini Kenyem mengajak pembaca karyanya langsung pada gunung dan aliran larva pijar, sementara tiga figur naif yang menjadi figur khas di lukisannya seolah tergelincir atau menuruni aliran larva pijar itu. Tidak seperti biasanya Kenyem selalu menghadirkan banyak figure-figur naif di karyanya, dan kali ini hanya tiga. Apakah ini caranya membawa pembaca pada ruang sunyi untuk merenung ?.

Kenyem juga menghadirkan karya seni instalasi Bumi Sakit dalam karya instalasinya kenyem membuat replika bumi dari sabut kelapa yang dipintal bersusun rapi mengelilingi kerangka bambu. Dalam karya ini Kenyem lebih menegaskan bahwa bumi sedang sakit dan memerlukan uluran tangan penghuninya untuk menyembuhkannya. Pada malam pembukaan, karya ini direspons sebuah nomor tari kontemporer Harapan Bumi oleh Jasmine Okubo & Dibal Ranuh diiringi komposisi musik Bisik Semesta dari grup band MANU.

Made Gunawan, mengusung karya Harmoni. Karyanya terlihat seperti seri-seri karya yang lainnya tetap tidak masuk pada wilayah konflik, baik mempertanyakan maupun upaya perlawanan. Gunawan selalu ingin membawa pesan damai melihat alam. Karya harmoni yang ia selesaikan dengan pencapaian estetis melibatkan gaya lukisan tradisi Bali semakin menentukan bahwa Gunawan ingin menari-nari di wilayah harmoni itu. Dalam karya Harmoni Gunawan ingin menunjukkan bumi sebagai bagian dari sistem tata surya diantara planet-planet yang ada. Planet Bumi yang menjadi tempat hidup manusia dihadirkan dengan beragam kehidupan  di dalamnya, harmoni dan lestari.

Hampir senada dengan Made Gunawan, Uuk Paramahita juga mengusung karya yang berjudul Harmony for the Earth. Uuk sepertinya ingin meletakkan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pijakan melihat harmoni bagi kehidupan di muka bumi ini. Dua figur yang menjadi ciri khas karya Uuk berdiri di ujung papan keseimbangan. Papan panjang yang menacap di bumi, bisa dimaknai sebagai titik berangkat untuk menciptakan keseimbangan. Harmonis manusia dengan manusia dan harmonis manusia dengan alam. Ada yang menarik dari karya Uuk kali ini, yaitu ia semakin berani menghadirkan warna-warna yang terang termasuk kanvas yang menjadi latar bertutur hampir ia penuhi, namun komposisi ruang tetap berhasil ia jaga.

Putu Bambang Juliarta, dengan karya Refleksi Konservasi, dua figur wanita serupa memegang slang air diantara dua lahan yang dibatasi oleh parit. Sapi-sapi dengan perawakan sedikit kurus serta latar belakang bendungan air dan lansekap perbukitan yang terlihat jauh menjadi refleksi yang mengingatkan, bahwa di dalam pengelolaan bumi sejatinya manusia berfikir untuk kelalanjutan di masa depan. Karya Bambang Juliarta juga menarik untuk dibaca sebagai narasi hadirnya dua figur serupa sebagai simbol cerminan aku adalah kamu dan kamu adalah aku (tat twam asi) untuk berbuat baik bagi bumi.

Pande Ali Wijaya mengkritisi tentang dinamika bumi dari daya dukungnya terhadap hunian. Tampak gedung-gedung yang memiliki ruangan tidak mampu menampung populasi manusia yang menghuninya. Pande melihat bumi sudah sesak untuk menampung jumlah manusia. Sementara  menurut Pande dalam catatan katalog pameran kelebihannya bumi atas beban dan masalah dikarenakan krisis kesadaran yang memunculkan tindakan-tindakan yang membuat kualitas bumi semakin buruk.

Teja Astawa, melalui karya Dewa Murka ia ingin mengusung tema tolak reklamasi Teluk Benoa sebagai isu seksi dan terkini untuk melihat kerusakan lingkungan paling dekat yang ada di sekitaranya. Saya melihat karya Teja cukup berhasil dalam merespons kejadian berupa konflik lingkungan yang harus dicermati ketika membicarakan bumi “Bali”. Adegan-adegan jenaka dari figur-figur wayang yang mengambil cerminan dari bentuk-bentuk lukisan tradisi wayang kamasan, menjadi sangat menarik makanakala isu tolak reklamasi Teluk Benoa diangkat dan dihantarkan dalam gaya seolah tidak serius, padahal mengkritik secara tajam dari rencana pelaksanaan reklamasi Teluk Benoa. Dalam karya Teja dapat saya katakan “beruntung” ada karya Teja, sehingga pemeran ini masih memiliki konteks kepekaan terhadap masalah besar lingkungan hidup yang dihadapi Bali. Tidak bisa dibayangkan, tanpa karya Teja mungkin pameran ini bisa dikatakan tidak memiliki kepekaan terhadap isu lingkungan terkini yang dihadapi Bali.

Bagaimanapun, penilaian terhadap karya-karya kelompok Nitirupa tak bisa dilepaskan dari sensitivitas membaca bumi dan permasalahannya. Pameran Nitibumi memang terlihat mengkritisi bumi secara luas bukan hanya berbicara isu-isu masalah lingkungan hidup yang ada di Bali. Di tengah maraknya perbincangan mengenai konteks representasi dari sensitivitas terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya sebagai kontens seni rupa kontemporer Indonesia, maka membicarakan karya-karya seniman Nitirupa terlihat masih mementingkan citraan estetis yang tinggi daripada perlawanan sebagai strategi bahasa ungkap.

Jika lukisan-lukisan karya perupa Nitirupa bukan menyuarakan tentang bumi secara luas namun khusus pada satu masalah yang dilihat secara bersama dan diintepretasikan dengan caranya masing-masing, lalu apa yang terjadi? Ternyata tak mudah menangkap sensitivitas dalam mengolah rasa dengan cara mengembangkan terhadap isu kekinian yang dapat dirasakan oleh publik penikmat seni rupa secara luas.

Dalam konteks seni rupa penyadaran terhadap bumi, memang banyak terlihat seorang perupa masih terjebak pada keutamaan konstruksi visual dari pada hal-hal yang esensial. Inilah pertanyaan penting saya ketika membaca pameran Nitibumi terlepas dari capaian estetis dan nilai jual sebuah karyanya.

 

(Yudha Bantono, Pembacaan Bebas Pameran Nitibumi, Bentara Budaya Bali, 05.06.2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun