Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narasi Pohon Kehidupan Made Gunawan

2 Juni 2016   23:31 Diperbarui: 2 Juni 2016   23:55 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MADE GUNAWAN, Narasi Pohon Kehidpan

WAKTU itu ketika pertunjukan wayang kulit Bali di Desa Apuan baru saja dimulai, saya merasakan suara gambelan yang mengiringi pertunjukan tak ubahnya seperti orchesta. Antara gambelan dan dimulainya pertunjukan sangat selaras. Gambelan terus berbunyi secara ritmik merdu, penonton sudah mulai merasakan keselarasan itu, mereka duduk hening tersihir dan hanya mata yang bergerak mengikuti sang dalang yang mempersiapkan posisinya untuk memulai pertunjukan.

Saatnya dalang memegang kayon atau gunungan yang dalam kisah wayang kulit memegang peranan penting dimana pertunjukan dimulai sampai ditutup. Adegan demi adegan keluar setelah kayon ditarik dan ditancapkan kembali. Inilah sebuah konsep kehidupan di alam jagad raya beserta isinya menjadi dasar banyak cerita, dari Ramayana sampai Maha Bharata, serta yang lainnya.

Pararel dengan kisah pewayangan dan peran penting kayon, di studio Made Gunawan saya juga mulai tersihir oleh lukisan-lukisan pelukis kelahiran Apuan Tabanan ini. Karya Gunawan bisa dikatakan hampir identik dengan kayon. Ketika saya tanya apakah karyanya ada hubungan dengan kayon? Bukan hanya "ya" ia menjawab, namun lebih dari itu bahwa kayon adalah sumber inspirasi dalam berkarya. 

Karya Gunawan seperti halnya kayon, terdapat bagian-bagian yang menjadi symbol pesan penting bagi keharmonisan kehidupan. Jika pada kayon melambangkan pohon kehidupan, maka pada karya Gunawan menghadirkan pohon kehidupan. Dua ungkapan yang akhirnya memudahkan saya membaca karya Gunawan yaitu antara symbol dan kehadiran dari symbol itu sendiri.

Beberapa karya yang kesemuanya menghadirkan pohon-pohon dan manusia kecil-kecil yang riang, bergelayut, memainkan gambelan, menari, saling berpegangan dan sebagainya oleh Gunawan dinamai seri Pohon Kehidupan (Tree of Life). Saat mulai menghubung-hubungkan setiap karya, maka seri Pohon Kehidupan seketika menarik pikiran saya pada Kalpataru, atau yang disebut juga Kalpawrksa. Kalpataru adalah sebutan pohon yang dikenal dalam mitos di India. Pohon ini juga disebut Kalpadruma atau devataru dan termasuk satu dari lima jenis pohon suci yang ada di kahyangan Dewa Indra. 

Pohon-pohon itu di antaranya pohon Mandara, parijata, Samntana, Kalpawrksa, dan Haricandana. Lantas apa korelasinya, kembali saya mengamati karya seri Pohon Kehidupan, ada kerangka pembacaan yang harus saya catat untuk menerjemahkannnya yaitu selalu ada pohon rindang, menaungi, ada manusia, binatang, keriangan, kedamaian dan kebahagian. Kemudian warna-warna karya seri ini sangat teduh, Gunawan tidak menampik pemilihan warna yang menjadi bagian penentu visualisasi karyanya  memang dipilih yang teduh, dan kalaupun ada yang kontras atau berani itu adalah sentuhan bagaimana ia mencari keseimbangan bidang karya.

Sejak pertama kali saya melihat karya Gunawan, karya seri Pohon kehidupan adalah evolusi dari karya-karya sebelumnya dan masih tetap dipengaruhi oleh gaya dan estetika seni tradisi klasik seperti yang terdapat dalam lukisan kayon. Ada pernyataan penting yang tiba-tiba muncul ketika saya harus mengatakan --apakah Gunawan benar-benar berbicara menuju titik keseimbangan kehidupan yang harmonis melalui pohon-pohon yang dihungkan dengan kayon?.

“Saya mengambil ikon kayon dari semula adalah sebuah kesadaran, saya menaruh perhatian pada keharmonisan kehidupan. Melalui pohon saya ingin meletakkan kembali pada wilayah dasar tentang esensi kehidupan menuju sebuah kebaikan dan keharonisan, “ demikian kata Gunawan. Sebuah kejujuran konsep berkarya akhirnya saya jadikan pegangan bahwa karyanya tidak bisa lepas dari kayon. Gunawan sebagai anak Bali yang tumbuh berkembang sejak kecil memang tidak lepas dari dunia wayang kulit, ayah Gunawan sendiri adalah seorang dalang. Maka tak heran bila saya harus mengejar konsep berkarya ia selalu menarik pada kayon. Di wilayah inilah ia bisa menari-nari menerjemahkan ruang imaji, bahkan ia sering menyuarakan gambelan di mulutnya dan menggerakkan tangganya separti memegang wayang. Ini adalah wajar karena Gunawan memang juga piawai memainkan wayang kulit.

***

Memang menarik menghubungkan hal pribadi seorang Gunawan, seperti halnya dalam karya yang berjudul Tarian Pohon terlihat keramaian manusia yang digambarkan secara acak mengelilingi pohon. Sebuah keriangan orang-orang kecil dengan beragam karakter, dimunculkan dalam gerak, alunan gambelan, menembang, dan tarian barong. Kesemua ini dapat muncul secara bersama-sama adalah mewakili dirinya, dimana ia tumbuh di desanya. Gunawan saya kira memiliki koleksi ingatan atas peristiwa-peristiwa yang indah dan harmonis. Ruang imaji adalah wilayah kecerdasan yang ia dapatkan secara akademis dan didukung oleh penguasaan teknis yang bagus. Ketika karakter orang-orang itu saya inginkan untuk diperankan secara gerak lengkap dengan gambelannya, maka tak ayal Gunawan seketika akan mempraktekkannya.

Lantas bagaimana Gunawan berproses?, Ia mengatakan bahwa dirinya melakukan kompromi untuk saling berkorelasi antara gagasan, pengalaman batin dan visualisasi. Kayon ia jadikan rujukan,  dimaknai kembali menjadi pengetahuan yang mengingatkan tentang pentingnya kehidupan yang harmonis. Dan apakah Kayon ini sejatinya pijakan awal sebelum menuangkan gagasan ?, ia mengatakan bahwa sumber gagasan memang bermula pada kayon yaitu sebuah pohon kehidupan (kalpataru).

Dari uraian Gunawan rabaan saya semakin jelas bahwa ada persoalan pengalaman, estetis dan filosofi yang menjadikan kayon sebagai bagian proses penting penciptaan karya. Ia menguntai realitas permasalahan kehidupan, menyadari bagaimana permasalahan itu menjadi pernyataan yang hadir mendeskripsikan kegelisahannya.

Dalam beberapa karya seri Pohon Kehidupan di dalamnya hampir tidak saya temukan sebuah konflik. Artinya Gunawan meluluhkan bahasa ungkap pada  yang indah-indah, dimana pohon yang menjadi obyek ia frame menjadi bagian penting kekuatan estetika. Melalui karya seri pohon kehidupan dapat saya baca ulang setidaknya karya ini memiliki kekuatan atas filosofi, kosmologi, akar budaya, dan realita dalam memandang kehidupan.

***

Perhatian kembali saya fokuskan pada isi karya tentang “nyata kesadaran” Elemen pendukungnya mengalir, setiap adegan diungkapkan secara naif, badan dan kostum yang melekat pada figur tidak menjadi persoalan utama, terpola dalam target gerak kegembiraan. Lantas ada pertanyaan apakah yang terjadi ketika kesadaran dibicarakan dalam ruang kontemplasi atau keheningan ?. Menurut Gunawan ini adalah permasalahan bahasa ungkap, sesungguhnya bahasa ungkap kesadaran dalam diam atau hening ia hadirkan langsung kepada penikmat yang membaca karyanya. Sehingga dialektika karya tidak dimaknai estetika semata, namun esensi sebenarnya yang akan masuk ke ranah publik, menjadi sebuah perenungan atau kontemplasi.

Daya tarik lain dari karya seri pohon kehidupan ini juga saya lihat terletak pada keberanian Gunawan dalam menempatkan elemen pendukung yang berinteraksi dengan pohon. Ia tidak ingin memindahkan atau menyamakan dengan ornamen-ornamen kayon, karena itu sebuah inspirasi. Kayon melekat sebagai ruang pemikiran dan ruang kesadaran. Jika ia menyamakan dengan isi utama dari Kayon maka ini akan mengundang resiko bahwa peranan kesadaran dari karyanya telah terselesaikan, sementara ia berperan terus mempertanyakan dengan kekuatan yang ada di dalamnya.

Gunawan sepakat bahwa melalui karyanya ia ingin mendekatkan kembali filosofi kayonan sebagai kode penting membaca keharmonisan kehidupan manusia di muka bumi ini. Begitu halnya ia juga mencoba ingin mendekatkan kembali kosmologi alam dengan pembacaan seni rupa.

***

Saya mulai menarik perhatian pada ruang baca kerusakan bumi secara global (global warming), apakah ini ada kaitannya ?. Gunawan menjawab “jelas” ini adalah berkaitan dengan pengalaman realita, bagaimana sebuah proses kehancuran alam pelan-pelan hadir di depan mata. “Saya ingin menunjukkan bahwa Bali dengan akar budayanya memiliki nilai-nilai filosofi tinggi bagi upaya penyelamatan bumi, sebagai seniman saya angkat kembali melalui bahasa seni rupa”, tambahnya.

Menurut Gunawan tradisi Bali tidak dapat ia lepaskan dalam pencitraan karyanya, bukan manakala seni rupa ingin mencari identitasnya ia lantas mencari-cari tradisi Bali. Menurutnya tradisi Bali dengan kekuatannya telah terbukti menjawab problematika sosial.

Kembali saya duduk di hadapan karya-karya seri Pohon Kehidupan. Saya sedang mengibaratkan menikmati pertunjukan wayang kulit. Manusia-manusia kecil yang mengitari pohon mulai menari penuh suka cita diiringi gamelan, mereka benar-benar seperti bergerak, sangat teatrikal, dinamis, ritmis, musical. Barong-barong diusung juga  ikut menari-nari. Pohon besar yang rindang menaungi dan memberikan keharmonisan bagi kehidupan yang ada dibawahnya.

Belajar dari karya seri Pohon Kehidupan Gunawan, mengingatkan saya pada cerita  Adam dan Hawa, dimana asal mula permasalahan manusia terjadi. Pohon telah menjadi pengingat penting, membuka halaman-halaman kitab suci, menguak tabir dan memecahkan misteri. Dan dari pohon akan terus meneduhkan mitos-mitos, menjadi pembicaraan magis, yang bila dikupas tak ada habis.

Denpasar, 24.05.2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun