DUA turis Eropa yang sering ke Bali berjemur di pantai berpasir putih. Kakinya hampir saja disentuh ombak-ombak kecil yang sedang berlarian. Purnama memang akan segera datang, Pantai Sanur terlihat mulai girang. Turis yang sedang tidak berjemur hanya duduk-duduk di restoran, meratapi Pantai Sanur yang tidak lagi indah seperti dahulu, bentangan pasir-pasir sudah mulai sempit, air laut yang tidak ramah telah menjarah wilayah daratan.
“Good morning, Sir, look my island is not beautiful likes before? Sorang gaet (guide) menyapa tamu yang duduk di restoran. Adegan percakapan yang sangat menarik dari gaet lokal itu mulai membuka pembicaraan tentang kehancuran Pantai Sanur. Terlihat wajah kesal dari raut muka Pak Ketut yang telah dua puluh tahun menjadi pemandu pariwisata di Pantai Sanur. Pak Ketut sangat kecewa atas kerusakan lingkungan yang terjadi di desanya, hidup masyarakat yang mengandalkan sektor pariwisata seolah tiada harapan. Kerusakan pantai yang diakibatkan oleh reklamasi Teluk Benoa ternyata membawa bencana bagi bumi Bali.
Pak Ketut dengan nada yang berapi-api menjelaskan kepada turis yang sedari tadi sangat tertegun dengan cerita Reklamasi Teluk Benoa. Menurut Pak Ketut segala hal yang hakiki dalam interaksi antara Reklamasi Teluk Benoa dan kerusakan lingkungan pasti akan terjadi. Sadar atau tidak, dampak secara perlahan-lahan dan cepat akibat reklamasi Teluk Benoa dengan rencana menciptakan pulau-pulau baru akan mengakibatkan proses sedimentasi atau pendangkalan yang berlangsung semakin cepat, hal ini disebabkan karena material-material sedimen yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Benoa akan terhalang oleh pulau-pulau baru itu. Reklamasi dengan pulau-pulau baru ini juga akan berakibat pada perubahan arus laut yang digerakkan oleh peristiwa pasang surut. Betapa banyak perubahan-perubahan yang akan berpengaruh pada ekosistem kehidupan pesisir yang berdampak pada kematian vegetasi kehidupan tanaman bakau dan biota lainnya yang selama ini telah terbangun dalam ekosistem kawasan perairan di sekitar Teluk Benoa.
***
Kisah di atas adalah salah satu slot dari cerita lukisan “Dewa Murka”, karya Ketut Teja Astawa, perupa Sanur yang saya kembangkan menjadi pembicaran serius dengannya ketika saya mengunjungi studionya. Saya mulai tersenyum. Bagaimana mengikuti pola pikir seorang Teja yang turut menyuarakan “Tolak Reklamasi Teluk Benoa” melalui karya seni rupanya. Teja masih seperti yang lalu-lalu menggarap isu-isu lokal maupun global dengan gaya rupa tutur yang selalu jenaka, dan dicitrakan secara estetis seperti lukisan tradisi wayang kamasan.
Banyak cerita yang saya dapat ketika ia menunjukkan karyanya yang akan dipamerkan secara bersama dengan tema Nitibumi oleh Komunitas Nitirupa, di Bentara Budaya Bali (3/6/2016). Pertama saya melihat karya Dewa Murka, saya langsung menanyakan: “Apakah karya ini menyangkut Tolak Reklamasi Teluk Benoa?” Dengan cepat Teja menjawab: “Ya.” Memang melalui adegan demi adegan tidak bisa dipungkiri ia ingin menggarap isu reklamasi Teluk Benoa. Saya menaruh gagasan Teja menjadi bacaan visual yang dapat saya silangkan dengan realita konflik yang masih hangat di Bali. Teja memang terlihat sangat fasih menangkap problematika yang sedang berkembang di sekelilingnya, ia menarik sebab dan akibat dari Tolak Reklamasi Teluk Benoa dalam adegan-adegan jenaka yang digambarkan dengan bulldozer, kapal-kapal pengangkut pasir, rumah yang tenggelam, orang yang dimakan ikan, dua orang turis yang berjemur dan ditengah-tengah sebagai pusatnya adalah sosok dewa yang sedang murka. Sebagai pendukung muatan yang konteksnya seperti tulisan huruf bali kuno, Teja membubuhkan grafiti berupa angka-angka, bidang dan kata-kata.
Lantas seperti apa Teja berutur dalam bahasa rupa? Saya mulai membagi zonasi pembacaan secara visual pada konteks judul. Menurut Teja, Dewa Murka adalah wujud ketidaksukaan dari kerusakan lingkungan. “Bukan hanya manusia yang boleh murka atas rencana reklamasi, tetapi para dewa-dewa di jagad sana pasti akan murka. Apa dikira para dewa akan diam, tidak tentunya, mereka akan menunjukkan reaksi kemurkaannya pada kita nantinya,” tutur Teja.
Menurut Teja, orang-orang yang digigit ikan-ikan raksasa itu adalah salah satu bentuk kemarahan dewa. Ikan-ikan itu adalah utusan dewa dari langit yang siap memangsa siapa saja yang akan melakukan proyek reklamasi. Eskavator akan ditenggelamkan termasuk kapal-kapal pengangkut pasir yang akan menguruk Teluk Benoa. Menarik, penuturan Teja ini dapat saya tarik pada keadaan saat ini dimana manusia sebagai manifestasi tangan Sang Maha Agung tidak rela dan akan melakukan perlawanan terhadap reklamasi yang akan dilaksanakan.
Ketika saya mulai membahas Dewa Murka yang menjadi pusat pembicaraan dari judul karya, Teja tidak ingin mengungkapkan seorang dewa yang murka, namun melalui tangan-tangan dewa yang di bumi sebagai utusan yang “murka”. Saya mulai mencermati sosok ikan dalam karya ini adalah metafora sama halnya ketika ia meletakkan sosok kera seperti pada karya yang lainnya. Teja rasanya lebih ingin membawa ke ruang pikir dari kenyataan yang dilihat bahwa masyarakat Bali sudah mulai marah.
***
Apakah yang berada di dalam kapal laut itu? Saya menanyakan salah satu adegan dua manusia di dalam kapal laut, dimana kapalnya melaju dengan tenang. Teja menjelaskan bahwa itu adalah adegan antara dua orang yaitu pria dan wanita yang sedang bermesraan. Lagi-lagi Teja seperti menjebak saya untuk terbahak-bahak mengetawai karyanya. “Benar itu adegan bermesraan?” tanyaku. Menurut Teja adegan bermesraan itu tidak lain adalah adegan dari investor dan pemerintah yang selama ini telah membuat keputusan untuk melaksanakan reklamasi Teluk Benoa. Gambaran Teja ini seperti langsung ingin memasukkan blunder persoalan atas diterbitkannya Perpres No.51 tahun 2014 adalah hasil bermesraannya Pemerintah dengan investor. Cara bercerita Teja dalam hal ini saya nilai sudah dapat meramu wilayah persoalan menjadi narasi mengalir. Ia sepertinya bukan hanya melihat persoalan namun mengkajinya lebih dalam dari sebab akibat kejadian permasalahan seperti yang telah saya katakan di awal terhadap karyanya.
Seorang perupa perlu mempunyai sikap atas apa yang ia lihat dan rasakan, dan bila perlu ia dapat pula menyuarakan keinginannya. Seorang perupa saya kira memiliki kebebasan. Ia dapat bergulat melalui gagasan-gagasannya yang mungkin dapat menaklukkan pikiran normal bahkan meramalkan kejadian yang akan terjadi. Tentu kesemuanya itu membutuhkan pemikiran, kepekaan, teknik, ketrampilan, maupun latihan agar apa yang disampaikan kepada publik khalayak luas dapat dipahami secara gamblang.
Seniman seperti Teja Astawa memang harus memikirkan dan mempunyai konsep dan persepsi dari judul yang disodorkan yaitu Nitibumi. Dengan kata lain, tak cukup hanya menghubung-hubungkan dengan melihat persoalan bumi sebagai cara pandang berkarya. Disini saya melihat Teja telah berhasil mengkonstruksi narasi Tolak Reklamasi Teluk Benoa yang sangat kompleks. Pelukis seperti Teja kiranya bukan bertugas untuk “menganilis” kompleksitas persoalan itu ke dalam kanvas. Teja dalam karyanya ini menurut saya lebih pada merepresentasikan persoalan Reklamasi Teluk Benoa dalam bentuk kejelasan, diungkapkan menurut caranya dan tetap menghibur meskipun sangat dalam apa yang ingin ia sampaikan.
***
Mengamati pola lukisan wayang kamasan atas ornamen-ornamen yang turut mengisi ruang karya, Teja meletakkan coretan-coretan yang memiliki beragam makna. Warm ia maknai sebagai global warming, Don’t sebagi jangan lakukan, Boom adalah kehancuran yang bakal terjadi serta lainnya. Lantas apa makna terhadap angka-angka itu? Angka-angka yang dikemas dengan pembagian, penjumlahan dan pengurangan menurut Teja adalah uang yang sudah beredar atau keluar. Ini adalah bentuk sensitivitas ia mengkalkulasi dari isu-isu hitung-hitunganan yang berhubungan dengan uang.
Ada yang menarik lagi ketika terdapat gambar bidang kotak-kotak dari segi empat yang dibagi seperti kolom-kolom. Dari bidang itu sepertinya Teja ingin menggambarkan kavling-kavling tanah yang sudah direncanakan dari hasil reklamasi dan tentu siapa yang memiliki. Sedangkan tulisan-tulisan seperti “Pada dasarnya pasir yang mungkin ada saat ini memang disediakan, jangan mengatakan untuk kesejahteraan”. Jelas ada pesan terselubung dari apa yang ia tuliskan. Pasir yang menjadi bahan utama pengurukan teluk menjadi pulau-pulau ia hadirkan bukan lagi sebagi perlambang, namun kalimat yang juga mampu menjelaskan.
Sementara untuk pinggiran karya Teja membubuhkan gambar contoh ornamen kakul, Teja seolah enggan untuk melukiskan seperti ornamen lukisan wayang kamsan. Inilah gaya Teja yang memang sering seperti mengajak bercanda pembaca karyanya, meletakkan hal serius pada Wilayah kejenakaan yang membutuhkan kecerdasan.
***
Dari karya Dewa Murka tampak sekali lagi bahwa Teja Astawa sangat merasakan permasalahan yang ada di sekitarnya, lebih-lebih pantai yang menjadi memori indah selama ia tumbuh, dari anak-anak sampai kini yang usianya sudah kepala empat. Bagaimana menafsirkan permasalahan Reklamasi Teluk Benoa akhirnya memang harus melihat ke pantai, belajar apa yang selama ini telah terjadi dan harus melestarikan kembali.
Teja Astawa mencoba menggambarkan skenario Reklamasi Teluk Benoa sekaligus mencoba mengukur kepekaan pembaca karyanya. Dari karya Dewa Murka ia memang sedang ingin menampilkan narasi wayang jenaka terhadap isu sexy yang ada di Bali, saat ini. (Yudha Bantono, 31 Mei 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H