Seorang perupa perlu mempunyai sikap atas apa yang ia lihat dan rasakan, dan bila perlu ia dapat pula menyuarakan keinginannya. Seorang perupa saya kira memiliki kebebasan. Ia dapat bergulat melalui gagasan-gagasannya yang mungkin dapat menaklukkan pikiran normal bahkan meramalkan kejadian yang akan terjadi. Tentu kesemuanya itu membutuhkan pemikiran, kepekaan, teknik, ketrampilan, maupun latihan agar apa yang disampaikan kepada publik khalayak luas dapat dipahami secara gamblang.
Seniman seperti Teja Astawa memang harus memikirkan dan mempunyai konsep dan persepsi dari judul yang disodorkan yaitu Nitibumi. Dengan kata lain, tak cukup hanya menghubung-hubungkan dengan melihat persoalan bumi sebagai cara pandang berkarya. Disini saya melihat Teja telah berhasil mengkonstruksi narasi Tolak Reklamasi Teluk Benoa yang sangat kompleks. Pelukis seperti Teja kiranya bukan bertugas untuk “menganilis” kompleksitas persoalan itu ke dalam kanvas. Teja dalam karyanya ini menurut saya lebih pada merepresentasikan persoalan Reklamasi Teluk Benoa dalam bentuk kejelasan, diungkapkan menurut caranya dan tetap menghibur meskipun sangat dalam apa yang ingin ia sampaikan.
***
Mengamati pola lukisan wayang kamasan atas ornamen-ornamen yang turut mengisi ruang karya, Teja meletakkan coretan-coretan yang memiliki beragam makna. Warm ia maknai sebagai global warming, Don’t sebagi jangan lakukan, Boom adalah kehancuran yang bakal terjadi serta lainnya. Lantas apa makna terhadap angka-angka itu? Angka-angka yang dikemas dengan pembagian, penjumlahan dan pengurangan menurut Teja adalah uang yang sudah beredar atau keluar. Ini adalah bentuk sensitivitas ia mengkalkulasi dari isu-isu hitung-hitunganan yang berhubungan dengan uang.
Ada yang menarik lagi ketika terdapat gambar bidang kotak-kotak dari segi empat yang dibagi seperti kolom-kolom. Dari bidang itu sepertinya Teja ingin menggambarkan kavling-kavling tanah yang sudah direncanakan dari hasil reklamasi dan tentu siapa yang memiliki. Sedangkan tulisan-tulisan seperti “Pada dasarnya pasir yang mungkin ada saat ini memang disediakan, jangan mengatakan untuk kesejahteraan”. Jelas ada pesan terselubung dari apa yang ia tuliskan. Pasir yang menjadi bahan utama pengurukan teluk menjadi pulau-pulau ia hadirkan bukan lagi sebagi perlambang, namun kalimat yang juga mampu menjelaskan.
Sementara untuk pinggiran karya Teja membubuhkan gambar contoh ornamen kakul, Teja seolah enggan untuk melukiskan seperti ornamen lukisan wayang kamsan. Inilah gaya Teja yang memang sering seperti mengajak bercanda pembaca karyanya, meletakkan hal serius pada Wilayah kejenakaan yang membutuhkan kecerdasan.
***
Dari karya Dewa Murka tampak sekali lagi bahwa Teja Astawa sangat merasakan permasalahan yang ada di sekitarnya, lebih-lebih pantai yang menjadi memori indah selama ia tumbuh, dari anak-anak sampai kini yang usianya sudah kepala empat. Bagaimana menafsirkan permasalahan Reklamasi Teluk Benoa akhirnya memang harus melihat ke pantai, belajar apa yang selama ini telah terjadi dan harus melestarikan kembali.
Teja Astawa mencoba menggambarkan skenario Reklamasi Teluk Benoa sekaligus mencoba mengukur kepekaan pembaca karyanya. Dari karya Dewa Murka ia memang sedang ingin menampilkan narasi wayang jenaka terhadap isu sexy yang ada di Bali, saat ini. (Yudha Bantono, 31 Mei 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H