ADA banyak tentara, arteleri medan berat, keadaraan tempur anti ranjau, kapal laut, dan kapal selam. Semua pada posisi siap tempur, begitulah kira-kira sepintas melihat satu focus pada karya yang berukuran 140 x 140 Cm, mixed media on canvas, Uuk Paramahita. Ada adegan ketegangan yang diperankan serta dilukiskan secara naif oleh perupanya. Karya itu berjudul “Kontemplasi”.
Senja sandikala, saya mencoba berkunjung ke studio Uuk Paramahita (38) seniman muda yang mulai menapakkan namanya dalam peta seni rupa Indonesia. Studio dua lantai terletak di samping Puri Satria Denpasar. Di studio inilah Uuk bekerja, melakukan rutinitasnya dalam laku rupa. Lampu studio yang sudah dinyalakan sebelum saya datang, ternyata menunggu saya untuk memasuki dan melihat karya-karyanya.
Layaknya pembukaan pameran senirupa, saya diajak si perupanya untuk menyaksikan karya-karya yang digantung lebih dekat dengan mata. Jajaran karya di studio Uuk Paramahita sangat jelas mewakili idealisme dari sang perupa. “ Mari mas kita bincang di lantai atas”, sautya.
Petang dengan gerimis sisa hujan yang mengguyur seharian kota Denpasar, mengantarkan suasana sejuk menaiki tangga lantai dua. Satu demi satu karya Uuk mulai mengajak mata saya berbicara. Figure-figur naif, orang-orang kecil dengan segala aktivitasnya seolah mewakili sosialita sebuah tempat dan masa dimana ia berada. Ada rumah-rumah, kebun, sawah, sungai, lautan, kota dan gunung-gunung. Lansekap sebuah gambaran sosial manusia yang lengkap, secara runut diterjemahkan dengan penuh perhitungan. Seni memang tidak bisa dilepaskan dari realita sosial, baik pada kerangka masa lalu, kini dan akan datang. Hal inilah yang membuat saya pertama kali masuk dalam membaca karya Uuk Paramahita.
Setelah mengelilingi dinding lantai dua tiba-tiba mata saya tertuju pada lukisan yang dipajang tepat di dinding utara, lukisan itu memisahkan dinding timur dan barat. Kutunjukkan jariku pada karya itu, dan Uuk menjawab itu karya berjudul “Kontemplasi”. Lebih lenjut Uuk menjelaskan karya itu pernah ia hadirkan di Beijing Bienale 2012 yang lalu. Sebuah keputusan cepat dan menarik untuk kupilih sebagai karya yang akan saya baca.
MEMPERTANYAKAN KONTEMPLASI
Kontemplasi pada apa dan untuk apa, sebuah pertanyaan mendasar yang saya tanyakan kepada Uuk begitu memulai pembicaraan. Kontemplasi adalah perenungan, Uuk memulai pembicaraan. Ketika dunia sudah menghambakan materi menjadi Tuhan maka disana tidak akan terjadi kedamaian. Perang dimana-mana memperebutkan pundi-pundi kekayaan suatu bangsa. Minyak jadi rebutan, ideology jadi persaingan, agamapun jadi kendaraan yang menghancurkan ketentraman. Minyak, emas, uang dan aneka hasil tambang menjadi incaran kejahatan kemanusiaan. Rasanya mulai padang cara memandangku saat ini kenapa para tentara siap pada posisi berperang di karya Uuk.
Uuk melanjutkan pembicaraannya. Lihatlah kemajuan teknologi dengan Hi-Technya apakah berpihak pada kemanusiaan, semua justru telah diarahkan menjadi senjata pamungkas baik secara cepat maupun pelan-pelan untuk melawan kedamaian, ketentraman dan kemanusiaan. Kembali saya mengamini dan jelas terlihat dalam gugusan peralatan canggih yang dikelola secara naif oleh Uuk dalam karyanya.
Tapi semua itu bisa diredam bila setiap orang mampu merenung, berkontemplasi untuk mencari jalan damai, berdamai dengan dirinya untuk menciptakan kehidupan yang baik dan seimbang. Teknologi boleh maju tapi kalau digunakan bagi kepentingan kemanusiaan tanpa menghancurkan kenapa tidak, Uuk menambahkan. Saya tidak mau menanyakan apakah ini ada hubungannya dengan satu figure tunggal yang lebih besar dari figure-figure yang ada, yaitu terlihat sunyi dan sangat meditative. Inikah kontemplasinya?. Uuk melanjutkan penjelasan dari karyanya, saya menampilkan sebuah pesan kesimbangan hidup utuk lebih baik, tidak lebih dari itu.
Mulai hangat rasanya perbincangan kami berdua, dan tiba pada pertanyaan saya, kenapa anda mengkritisi dunia bukan bangsa atau pulau tempat anda sendiri berada. Uuk menjawab, sebetulnya sudah ada dalam periode karya-karya saya, cuman harus melihat kembali untuk dibaca, seperti karya itu (Uuk menjelaskan satu karya di didinding yang berlawanan arah dari karya Kontemplasi). Karya itu menjelaskan bagaimana evolusi tergerusnya kebudayaan Bali.
Langsung saya alihkan kembali pembicaraan ke karya Kontemplasi, dan ternyata Uuk memang mengkritisi sosialita dimana saja. Maka pahamlah sekarang bahwa Uuk membawa karya Kontemplasi ke Beijing Bienalle 2012 mewakili pembicaraan dunia gobal sesuai dengan tema yang diusung Bienalle itu yaitu Future and Reality.
Karya Uuk memang rata-rata sarat dengan kritik sosial, baik pada keadaan di sekitarnya, negaranya sampai dunia. Maka sangatlah tepat bila karya Kontemplasi ini dipresentasikan oleh Uuk mewakili kecemasan sosial dunia. Karya kontemplasi ini sebetulnya telah lahir dua tahun sebelumnya, artinya Uuk bukan mempersiapkan tematik untuk Beijing Biennale. Karya ini ada sebelum tema event ini ditawarkan pada peserta.
Memang Uuk selama ini larut menggarap karyanya berdasarkan periode, ada narasi dari karya-karya yang ia selesaikan kesemuanya mewakili setiap periode. Memang terlihat jelas, bahwa kesemua karya yang dihasilkan adalah buah dari mengalirnya gagasan dan ditekuni dengan rasa dan dikembalikan pada rasa lagi. Bila diibaratkan dengan bagian yoga maka ini bagian dari pranayama, mengolah dan menguasai nafas. Kembali pada nafas dan nafas.
Karya Kontemplasi bagi saya adalah perluasan subyek sosial, artinya subyek atau pelaku dalam peristiwa yang mempengaruhi karya kontemplasi ini bisa diterima oleh siapa saja, dan dibelahan mana saja. Walaupun demikian kiranya susah dilepaskan dari cara pandang sang perupa dari pemaknaan yang berbeda. Ada kompromi yang bisa diletakkan untuk memahami karya kontemplasi yaitu perenungan dan kembali pada jati diri.
Uuk berpendapat bahwa keberaniannya membawa karya kontemplasi pada Beijing Bienale 2012 karena ia melihat tentang masa depan yang tidak boleh larut pada hal-hal yang serba canggih atau hi-tech. Untuk itu diperlukan sebuah upaya damai, ia membawa pesan damai yang sekiranya bisa universal.
PRESENTASI DALAM PRAKTEK SENI RUPA SOSIAL
Persoalan presentasi yang menyangkut praktik seni rupa terhadap sosialita bisa pula merujuk pada penggugatan. Karya Uuk saya rasa tidak masuk pada wilayah menggugat tapi lebih kearah berdamai dengan keadaan. Menurut Uuk ia akan amat terganggu oleh teori-teori yang memaksa dan membelenggu untuk setuju pada keadaan yang salah menurutnya. Citra karya yang dihasilkan nanti tidak akan murni, untuk itu menurutnya semua dikembalikan pada cita rasa diri. Disini ia juga tidak ingin memaksakan kehendak, tapi sebuah persuasi kesadaran sedang ia tawarkan.
Uuk hanya mengalir mengikuti kemauan hatinya, merasakan getaran maupun gesekan sosial dari apa yang dilihat. Hal kecil dari banjar sampai dunia ia pekai dengan caranya sendiri, cara berkeseniannya bukan hanya merespon tapi masuk ke dalam, menelusuri lorong-lorong yang menyentuh jiwanya.
Dari karya Kontemplasi , saya melihat Uuk telah lama membawa perspektif yang unik untuk membahas bagaimana pentingnya isu-isu sosial dunia. Uuk memperdebatkan sendiri peran dirinya sebagai seniman dalam ruang pribadi melihat realita yang ada di sekelilingnya, bahkan jauh dalam ukuran tempat dan waktu. Karya Kontemplasi adalah kritik sosial yang dibahasakan dengan cara artistik, dihasilkan dengan melihat, mengamati, menganilisis melalui imaji dari pengalaman multi maupun interdisiplinernya. Maka tak heran bila ia tidak membicarakan sebuah keliaran dari perang-perang yang terjadi. Ia menarik symbol maupun tanda-tanda bergulat dengan problematika, mengalir dalam ruang sunyi, berdamai dengan diri.
Uuk dalam berproses mengolah media karya terlihat sangat terencana. Karyanya bukan ekspresif, dan warna-warna yang ia gunakanpun seperti bersepakat di setiap levelnya. Saya merasakan Uuk telah berhasil menghubungkan imajinasi, kreatif, perspektif, eksperimentasi, maupun pengalamnnya untuk menjadikan ciri khas dari karyanya. Sejak dulu ia memang sangat konsisten, dari periode mahasiswa hingga ia menamatkan studinya dari Institut Seni Indonesia Denpasar, bahkan sampai sekarang. Sebuah keberhasilan yang saya kira akhirnya menjadi periodesasi dan ciri khas dari karyanya.
Bagi saya, melalui karya Uuk memperlihatkan betapa penting peran seniman sebagai individu melalui “mata artistik” nya terlibat dalam penyelidikan sosial yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Uuk tidak mengambil jalur provokasi membahasakan karyanya, namun perenungan ke dalam jauh lebih penting.
******
Petang sudah bergeser ke malam, namun sepertinya gelap tidak akan pernah lelap pada malam. Saya menutup perbincangan karya seni Kontemplasi dengan catatan-catatan yang kuminta dari kertas Uuk Paramahita. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar bincang seni malam itu, yaitu Uuk mengingatkan bahwa musuh terbesar diri manusia sebetulnya dirinya sendiri. Maka saya catat sebuah kalimat dari Uuk ketika terakhir menutup pembicaraan yaitu “berdamailah dengan diri kita sendiri.”
Ada banyak tentara, arteleri medan berat, keadaraan tempur anti ranjau, kapal laut, dan kapal selam. Semua pada posisi siap tempur, begitulah kira-kira sepintas melihat satu focus pada karya yang berukuran 140 x 140 Cm, mixed media on canvas, Uuk Paramahita. Ada adegan ketegangan yang diperankan serta dilukiskan secara naif oleh perupanya. Karya itu berjudul “Kontemplasi”.
Senja sandikala, saya mencoba berkunjung ke studio Uuk Paramahita (38) seniman muda yang mulai menapakkan namanya dalam peta seni rupa Indonesia. Studio dua lantai terletak di samping Puri Satria Denpasar. Di studio inilah Uuk bekerja, melakukan rutinitasnya dalam laku rupa. Lampu studio yang sudah dinyalakan sebelum saya datang, ternyata menunggu saya untuk memasuki dan melihat karya-karyanya.
Layaknya pembukaan pameran senirupa, saya diajak si perupanya untuk menyaksikan karya-karya yang digantung lebih dekat dengan mata. Jajaran karya di studio Uuk Paramahita sangat jelas mewakili idealisme dari sang perupa. “ Mari mas kita bincang di lantai atas”, sautya.
Petang dengan gerimis sisa hujan yang mengguyur seharian kota Denpasar, mengantarkan suasana sejuk menaiki tangga lantai dua. Satu demi satu karya Uuk mulai mengajak mata saya berbicara. Figure-figur naif, orang-orang kecil dengan segala aktivitasnya seolah mewakili sosialita sebuah tempat dan masa dimana ia berada. Ada rumah-rumah, kebun, sawah, sungai, lautan, kota dan gunung-gunung. Lansekap sebuah gambaran sosial manusia yang lengkap, secara runut diterjemahkan dengan penuh perhitungan. Seni memang tidak bisa dilepaskan dari realita sosial, baik pada kerangka masa lalu, kini dan akan datang. Hal inilah yang membuat saya pertama kali masuk dalam membaca karya Uuk Paramahita.
Setelah mengelilingi dinding lantai dua tiba-tiba mata saya tertuju pada lukisan yang dipajang tepat di dinding utara, lukisan itu memisahkan dinding timur dan barat. Kutunjukkan jariku pada karya itu, dan Uuk menjawab itu karya berjudul “Kontemplasi”. Lebih lenjut Uuk menjelaskan karya itu pernah ia hadirkan di Beijing Bienale 2012 yang lalu. Sebuah keputusan cepat dan menarik untuk kupilih sebagai karya yang akan saya baca.
MEMPERTANYAKAN KONTEMPLASI
Kontemplasi pada apa dan untuk apa, sebuah pertanyaan mendasar yang saya tanyakan kepada Uuk begitu memulai pembicaraan. Kontemplasi adalah perenungan, Uuk memulai pembicaraan. Ketika dunia sudah menghambakan materi menjadi Tuhan maka disana tidak akan terjadi kedamaian. Perang dimana-mana memperebutkan pundi-pundi kekayaan suatu bangsa. Minyak jadi rebutan, ideology jadi persaingan, agamapun jadi kendaraan yang menghancurkan ketentraman. Minyak, emas, uang dan aneka hasil tambang menjadi incaran kejahatan kemanusiaan. Rasanya mulai padang cara memandangku saat ini kenapa para tentara siap pada posisi berperang di karya Uuk.
Uuk melanjutkan pembicaraannya. Lihatlah kemajuan teknologi dengan Hi-Technya apakah berpihak pada kemanusiaan, semua justru telah diarahkan menjadi senjata pamungkas baik secara cepat maupun pelan-pelan untuk melawan kedamaian, ketentraman dan kemanusiaan. Kembali saya mengamini dan jelas terlihat dalam gugusan peralatan canggih yang dikelola secara naif oleh Uuk dalam karyanya.
Tapi semua itu bisa diredam bila setiap orang mampu merenung, berkontemplasi untuk mencari jalan damai, berdamai dengan dirinya untuk menciptakan kehidupan yang baik dan seimbang. Teknologi boleh maju tapi kalau digunakan bagi kepentingan kemanusiaan tanpa menghancurkan kenapa tidak, Uuk menambahkan. Saya tidak mau menanyakan apakah ini ada hubungannya dengan satu figure tunggal yang lebih besar dari figure-figure yang ada, yaitu terlihat sunyi dan sangat meditative. Inikah kontemplasinya?. Uuk melanjutkan penjelasan dari karyanya, saya menampilkan sebuah pesan kesimbangan hidup utuk lebih baik, tidak lebih dari itu.
Mulai hangat rasanya perbincangan kami berdua, dan tiba pada pertanyaan saya, kenapa anda mengkritisi dunia bukan bangsa atau pulau tempat anda sendiri berada. Uuk menjawab, sebetulnya sudah ada dalam periode karya-karya saya, cuman harus melihat kembali untuk dibaca, seperti karya itu (Uuk menjelaskan satu karya di didinding yang berlawanan arah dari karya Kontemplasi). Karya itu menjelaskan bagaimana evolusi tergerusnya kebudayaan Bali.
Langsung saya alihkan kembali pembicaraan ke karya Kontemplasi, dan ternyata Uuk memang mengkritisi sosialita dimana saja. Maka pahamlah sekarang bahwa Uuk membawa karya Kontemplasi ke Beijing Bienalle 2012 mewakili pembicaraan dunia gobal sesuai dengan tema yang diusung Bienalle itu yaitu Future and Reality.
Karya Uuk memang rata-rata sarat dengan kritik sosial, baik pada keadaan di sekitarnya, negaranya sampai dunia. Maka sangatlah tepat bila karya Kontemplasi ini dipresentasikan oleh Uuk mewakili kecemasan sosial dunia. Karya kontemplasi ini sebetulnya telah lahir dua tahun sebelumnya, artinya Uuk bukan mempersiapkan tematik untuk Beijing Biennale. Karya ini ada sebelum tema event ini ditawarkan pada peserta.
Memang Uuk selama ini larut menggarap karyanya berdasarkan periode, ada narasi dari karya-karya yang ia selesaikan kesemuanya mewakili setiap periode. Memang terlihat jelas, bahwa kesemua karya yang dihasilkan adalah buah dari mengalirnya gagasan dan ditekuni dengan rasa dan dikembalikan pada rasa lagi. Bila diibaratkan dengan bagian yoga maka ini bagian dari pranayama, mengolah dan menguasai nafas. Kembali pada nafas dan nafas.
Karya Kontemplasi bagi saya adalah perluasan subyek sosial, artinya subyek atau pelaku dalam peristiwa yang mempengaruhi karya kontemplasi ini bisa diterima oleh siapa saja, dan dibelahan mana saja. Walaupun demikian kiranya susah dilepaskan dari cara pandang sang perupa dari pemaknaan yang berbeda. Ada kompromi yang bisa diletakkan untuk memahami karya kontemplasi yaitu perenungan dan kembali pada jati diri.
Uuk berpendapat bahwa keberaniannya membawa karya kontemplasi pada Beijing Bienale 2012 karena ia melihat tentang masa depan yang tidak boleh larut pada hal-hal yang serba canggih atau hi-tech. Untuk itu diperlukan sebuah upaya damai, ia membawa pesan damai yang sekiranya bisa universal.
PRESENTASI DALAM PRAKTEK SENI RUPA SOSIAL
Persoalan presentasi yang menyangkut praktik seni rupa terhadap sosialita bisa pula merujuk pada penggugatan. Karya Uuk saya rasa tidak masuk pada wilayah menggugat tapi lebih kearah berdamai dengan keadaan. Menurut Uuk ia akan amat terganggu oleh teori-teori yang memaksa dan membelenggu untuk setuju pada keadaan yang salah menurutnya. Citra karya yang dihasilkan nanti tidak akan murni, untuk itu menurutnya semua dikembalikan pada cita rasa diri. Disini ia juga tidak ingin memaksakan kehendak, tapi sebuah persuasi kesadaran sedang ia tawarkan.
Uuk hanya mengalir mengikuti kemauan hatinya, merasakan getaran maupun gesekan sosial dari apa yang dilihat. Hal kecil dari banjar sampai dunia ia pekai dengan caranya sendiri, cara berkeseniannya bukan hanya merespon tapi masuk ke dalam, menelusuri lorong-lorong yang menyentuh jiwanya.
Dari karya Kontemplasi , saya melihat Uuk telah lama membawa perspektif yang unik untuk membahas bagaimana pentingnya isu-isu sosial dunia. Uuk memperdebatkan sendiri peran dirinya sebagai seniman dalam ruang pribadi melihat realita yang ada di sekelilingnya, bahkan jauh dalam ukuran tempat dan waktu. Karya Kontemplasi adalah kritik sosial yang dibahasakan dengan cara artistik, dihasilkan dengan melihat, mengamati, menganilisis melalui imaji dari pengalaman multi maupun interdisiplinernya. Maka tak heran bila ia tidak membicarakan sebuah keliaran dari perang-perang yang terjadi. Ia menarik symbol maupun tanda-tanda bergulat dengan problematika, mengalir dalam ruang sunyi, berdamai dengan diri.
Uuk dalam berproses mengolah media karya terlihat sangat terencana. Karyanya bukan ekspresif, dan warna-warna yang ia gunakanpun seperti bersepakat di setiap levelnya. Saya merasakan Uuk telah berhasil menghubungkan imajinasi, kreatif, perspektif, eksperimentasi, maupun pengalamnnya untuk menjadikan ciri khas dari karyanya. Sejak dulu ia memang sangat konsisten, dari periode mahasiswa hingga ia menamatkan studinya dari Institut Seni Indonesia Denpasar, bahkan sampai sekarang. Sebuah keberhasilan yang saya kira akhirnya menjadi periodesasi dan ciri khas dari karyanya.
Bagi saya, melalui karya Uuk memperlihatkan betapa penting peran seniman sebagai individu melalui “mata artistik” nya terlibat dalam penyelidikan sosial yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Uuk tidak mengambil jalur provokasi membahasakan karyanya, namun perenungan ke dalam jauh lebih penting.
******
Petang sudah bergeser ke malam, namun sepertinya gelap tidak akan pernah lelap pada malam. Saya menutup perbincangan karya seni Kontemplasi dengan catatan-catatan yang kuminta dari kertas Uuk Paramahita. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar bincang seni malam itu, yaitu Uuk mengingatkan bahwa musuh terbesar diri manusia sebetulnya dirinya sendiri. Maka saya catat sebuah kalimat dari Uuk ketika terakhir menutup pembicaraan yaitu “berdamailah dengan diri kita sendiri.” (Yudha Bantono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H