Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Borgia, Gus Toke dan Lembaran Kelam Katolik Roma

28 Mei 2016   20:20 Diperbarui: 1 Juni 2016   10:43 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah cara pandang yang hampir mirip bila saya harus membandingkan dengan lakon wayang pada wayang beber dimana intepretasinya sama-sama menempatkan tokoh dalam representasi satu squence. Dari kemiripan ini ada hal yang mengejutkan saya bila melihat ukuran karyanya. Wayang beber membeberkan ceritanya dengan bentangan panjang ber meter-meter, sedangkan karya Gus Toke Borgia ini hanya selembar kertas ukuran A4 (21.0 X 29.7 Cm).

Sekenario Gus Toke dalam karya Borgia menjadi patokan strategi bahwa karya itu sebenarnya tidak dilihat sebagai karya liar, meski keliaran karya sangat nampak. Ia ingin menghidupkan Borgia dari kematiannya meski telah ditewaskan oleh waktu. Apa yang disampaikannya dapat diartikan juga  mengajak kita membaca sejarah yang terlewatkan. Lagi-lagi saya harus mengatakan bahwa karya Borgia telah malampaui peran pembacaan sebuah karya untuk kembali pada ingatan sejarah masa lalu.

***

Berdasarkan kekuasaan rohaninya sebagai kepala gereja, Rodrigo Borgia yang telah menjadi Aleksander VI dengan kekuasaan duniawinya menjadikan dia kepala atas negara kepausan dengan wilayah di Italia Tengah, dan ia memerintah kerajaannya mirip dengan semua penguasa Renaisans lainnya. Masa pemerintahan Aleksander VI, seperti halnya para paus sebelum dan sesudah dia, ditandai dengan penyuapan, nepotisme, dan dakwaan atas lebih dari satu pembunuhan.

Tindakan keluarga Borgia yang kelewat batas menciptakan musuh dan mengundang kritik. Pada dasarnya, sang Paus mengabaikan kritik terhadap dirinya, tetapi ada satu orang yang tidak bisa diabaikan, yakni Girolamo Savonarola. Ia seorang biarawan Dominika, pengabar yang berapi-api, dan pemimpin politik Florence. 

Savonarola mengutuk kebejatan istana kepausan dan juga tindakan serta strategi politik paus sendiri, sambil menuntut agar dia disingkirkan dan diadakan reformasi dalam tubuh gereja. 

Savonarola berseru, ”Para pemimpin gereja, pada malam hari kalian pergi ke gundik-gundik kalian dan pada pagi hari ke sakramen kalian.” Ia belakangan mengatakan, ”[Para pemimpin itu] bermuka seorang sundal, kemasyhuran mereka menghancurkan Gereja. Mereka ini, aku katakan kepadamu, tidak percaya pada iman Kristen.”

Untuk membungkam Savonarola, sang paus menawarinya jabatan sebagai kardinal, yang ia tolak. Entah politik antikepausannya entah pengabarannya yang menyebabkan kejatuhannya, pada akhirnya Savonarola dikucilkan, ditangkap, disiksa agar membuat pengakuan dosa, lalu digantung dan dibakar.

***

Menyimak kisah yang jarang tersentuh ini, karya Gus Toke seperti menggoyahkan cara pandang saya melihat karya rupa, realitas menjadi permainan dan dimainkan dalam wilayah kecerdasan yang dapat membangun ruang kritik. Inilah tantangannya bahwa gagasan bukan hanya melihat ke depan, meski kadang seni rupa harus menghadirkan kekinian seperti karya kontemporer yang sangat marak di ranah pertarungan seni rupa yang ada.

Saya yakin dalam karya Borgia Gus Toke awalnya hanya mengeluarkan unek-unek untuk gagasan besarnya. Dan ia baru memulainya dari selembar kertas mesin printernya seperti drawing-drawingnya yang lain sebelum lepas dituangkan di atas kanvas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun