Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Daydreammer, as always

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

The Joy of Reading Series: Perang yang Akhirnya Kumenangkan

17 Juli 2024   13:19 Diperbarui: 17 Juli 2024   13:21 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 You can know all things you like, but that doesn't mean you believe them. 

Setelah jeda yang lumayan panjang, sibuk belok kanan sein kiri, sampailah kita ke buku ke dua di edisi literasi ini.

Judul buku kedua kita adalah : The War I Finally Won. 

Saya dan putri saya menyebutnya buku perjuangan, karena untuk mendapatkannya kami harus menunggu nyaris sebulan. Tapi begitu menerima paketnya yang terbungkus kokoh dan rapi meski harus menempuh jarak ribuan mil, semua kesabaran menanti itupun terbayar lunas. Isi buku ini benar-benar di luar ekspektasi, langsung mengobarkan semangat untuk menulis dan berbagi.

Well, dari judulnya pasti sudah ketahuan donk kalau ini adalah buku sekuel dari buku " The War That Saved My Life"  di edisi literasi sebelumnya. Buku tentang gadis kecil bernama Ada yang kaki kanannya cacat. Yang berjuang keluar dari penjara mental dan penjara fisik. Yang tak pernah menyangka bahwa perang yang mengerikan, justru menyelamatkan masa depannya yang suram. Cerita yang seharusnya dan sebaiknya  dibaca oleh generasi strawberry dan durian, dan tentu saja oleh kita semua, para orang tua.

Di buku kedua ini kita dibawa ke perjalanan Ada setelah kakinya berhasil dioperasi oleh tim dokter di London. Ditengah kecamuk perang yang mencekam dan muntahan peluru dan bom yang meluluh lantakkan beberapa bagian kota, Ada justru mendapatkan kembali kebebasannya. Setidaknya kebebasan secara fisik. Bebas dari rasa sakit dan rasa malu. Bebas untuk berjalan, melompat bahkan berlari sekencang-kencangnya. Hal-hal yang dahulu mustahil untuk dia lakukan.

Tapi benarkah dia sudah benar-benar bebas? Kejadian demi kejadian berikutnya membuat Ada sadar bahwa betapapun secara fisik dia sudah bebas, tapi ternyata dia masih terpenjara oleh perang yang berkecamuk dalam dirinya. Pertempuran di dalam dirinya itu tidak kalah hebatnya dengan pertempuran yang terngah bergolak diluar sana. Dunia saat itu memang sedang dilanda perang dunia kedua.

Kematian Ibu kandungnya, sosok yang seharusnya ia cintai tapi sekaligus sangat ia benci, lalu disusul dengan kematian Jonathan, teman yang sangat dekat di hatinya, yang mempercayainya dan membangkitkan rasa percaya dirinya, pergulatan batinnya saat berkenalan dengan "musuh" dan bahkan harus hidup serumah. Rasa insecurenya yang  menetap bahkan ketika dia sudah kembali "normal" dan membuatnya tak mampu menghadapi arogansi orang-orang yang menilainya buruk dan salah paham sedari semula.

Ada, yang sedang beranjak remaja, bergulat dengan luka-luka batin yang tidak terselesaikan ditengah gejolak hormon dan emosi yang tidak dia pahami, dan rasa insecure yang menjadi-jadi. Bisakah ia melalui semuanya itu ? Memaafkan dan berdamai dengan  keadaan, orang lain dan dirinya sendiri ? Membangun kembali hubungan dan relasi yang sudah koyak ? Menghadapi ketakutan-ketakutan yang nyata, tapi juga tidak nyata ?

Sebaris kalimat kutipan di awal tulisan ini adalah kalimat pembuka buku ini.  Kalimat yang menjadi pembuka peperangan Ada sesungguhnya melawan kecamuk pikiran dalam dirinya.

Yuk, kita kupas...
 
Fisik Bukan Segalanya

Ada sudah normal kembali secara fisik. Ia bebas bergerak. Tapi ternyata ia masih harus berjuang menghadapi jeratan mentalitas. Ia masih bergulat dengan nilai dirinya. Ia masih minder dan insecure, kata anak sekarang. Kisah Ada mengingatkan kita betapa fisik bukan segalanya dalam hidup ini.

Fenomena permak wajah supaya bisa seindah artis-artis korea bertebaran dengan sangat masif di media sosial, dikonsumsi dengan naif oleh anak-anak kita. Mereka mulai mempertanyakan bentuk wajah dan tubuh mereka, membandingkan dengan sesuatu yang sebagian besar artifisial dan menjadi depresi. Lebih berbahaya lagi ketika mereka bahkan rela melakukan apa saja demi fisik yang diidamkan seperti sang idola. Padahal ketika fisik mereka sudah dipermak sana sini, tetap saja mereka bergulat dengan nilai diri. Tetap dihajar depresi dan fatalnya, beberapa berakhir dengan bunuh diri.

Memperbaiki kondisi fisik supaya bisa lebih leluasa bergerak, beraktifitas dan produktif tentu saja tidak salah. Yang menjadi masalah adalah ketika kondisi fisik menjadi satu-satunya tumpuan dalam membangun percaya diri. Karena ternyata apa yang tidak terlihat secara fisik itulah yang jauh lebih berharga untuk terus diperbaiki dan dirawat.

Growing Pains

Siapa sih yang tidak mau mendapatkan hasil terbaik, tapi gak pakai proses yang susah apalagi panjang? Sepertinya ini impian semua orang. Tapi kisah Ada di buku ini mengingatkan kita bahwa hal semacam itu hanya ada di dunia khayal. Bahkan Cinderella pun harus melewati proses yang sulit  dan menyakitkan sebelum akhirnya dipersunting pangeran, dan kita juga tidak tahu bagaimana perjuangannya setelah tinggal di istana.

Ada harus mengalami kejadian-kejadian yang sulit dan tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan serta harus kehilangan orang-orang yang dicintai maupun dibencinya, sampai akhirnya dia bisa memenangkan perang yang berkecamuk dalam dirinya.

Bertumbuh dan di proses itu memang tidak menyenangkan bahkan menyakitkan. Sayangnya justru di era media sosial  yang membuat kita terbiasa dengan mudah men-skip apa yang tidak kita suka di layar gadget kita, kita pun menjadi tidak terbiasa menghadapi fase-fase yang tidak menyenangkan dalam hidup. Karena ini realita, yang tidak mungkin di-skip, akhirnya kita pun sibuk lari darinya.

Growing pains, proses pendewasaan yang menyakitkan. Sakit tapi perlu dan penting.

Instan itu Fatamorgana

Ada berharap beberapa jam di meja operasi, sudah cukup membuatnya menjadi sosok yang sempurna, luar dan dalam. Tapi ternyata dibutuhkan lebih dari itu, bahkan ketika secara fisik dia sudah normal, tetap dibutuhkan bertahun-tahun untuk menjadi pribadi yang utuh. Tahun-tahun yang sulit, kejadian-kejadian yang bak mimpi buruk saat itu terjadi, pergulatan untuk memaafkan diri sendiri, orang lain, dan situasi.

Tidak ada yang instan ketika kita harus berproses untuk mendapatkan hasil yang baik.

Saya suka mengamati putri saya berlatih biola. Untuk beberapa not tertentu, bahkan diperlukan berkali-kali latihan untuk menekan senar dengan tepat dan menggeseknya dengan tepat pula. Bukan proses yang mudah. Itu baru sebaris nada. Baru satu lagu. Baru belajar satu alat musik saja.

Hidup tentunya jauh lebih kompleks dari sekedar bermain biola, mustahil kita bisa mendapatkan dan memberikan yang terbaik hanya dengan instan. Instan hanyalah khayalan. Sekedar fatamorgana. Bahkan mie instan pun tidak instan-instan amat.

Cerita Ada adalah cerita kita semua, itulah kenapa buku ini sangat layak dibaca bersama oleh orang tua dan anak-anak. Semakin dini mereka menarik pelajaran dari kisah Ada dan belajar memiliki konsep diri yang benar, tidak terombang-ambing dalam jeratan kepalsuan yang disuguhkan dengan masif oleh layar gadget mereka, semakin besar kesempatan mereka untuk  tidak terjebak dalam lingkaran generasi rasa es krim - strawberry dan durian hehehe.

Pada akhirnya kita diingatkan bahwa  nilai hidup sama sekali tidak ditentukan oleh fisik, materi, tingkat sosial, inner circle  atau apapun itu, tapi oleh sang Pemberi hidup itu sendiri, sedari semula. 


Happy reading !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun