Ketika menatap sofa, kenangan pun berkelebatan mengingat saat-saat saya berbaring di sofa dan terjaga nyaris semalaman, takut ibu tiba-tiba terbangun dan berjalan ke kamar mandi sendirian. Parkinson dan dementia telah merampas kestabilan otot dan ingatannya, karena itu harus diawasi melekat.
Sofa itu juga tempat favorit ibu. Saat siang hari, beliau berbaring santai sembari mendengarkan musik keroncong atau langgam jawa, atau sembari menyimak podcast ibu Sian Hosea. Kadang sekedar ngobrol bersama.
Rasa rindu dan sesal berhimpitan, apalagi kalau ingat saya sempat mengeluh karena lelah saat merawatnya. Ingin rasanya memutar waktu kembali dan memperbaiki semuanya.
Sepeninggal ibu, kami tujuh bersaudara yang tersisa pun mulai membicarakan tentang warisan.
Bukan untuk ribut membaginya, karena warisan Ibu saya ternyata memang tidak bisa dibagi-bagi. Warisan itu hanya bisa dinikmati bersama.
Apa saja warisan beliau ?
1. Â Batu karang
Ibu saya bukan orang yang pandai berkata-kata. Tapi seperti yang dituliskan oleh seseorang "Bila tidak ada kaki yang kuat untuk berdiri, masih ada lutut untuk bertelut", itulah ibu saya.
Beliau sangat setia berdoa. Dengan bahasa lugas dan sederhana. Mempercayakan setiap pergumulan hidup ditangan pencipta hidupnya. Dengan lutut bertelut, ibu melalui badai demi badai tanpa putus asa.
Saya masih ingat ketika saya masih kecil, setiap malam ibu mengumpulkan kami berdelapan dan berdoa bergiliran sesuai dengan pokok-pokok doa yang sudah ditentukan, sesuai pergumulan hidup saat itu.
Saya ingat karena saya termasuk yang nyaris bontot, saya hanya kebagian topik yang ringan. Seperti mengucap syukur. Doa saya singkat dengan bahasa seadanya dan selebihnya saya terkantuk-kantuk mendengarkan doa kakak-kakak saya yang panjang dan khusuk. Well, namanya juga anak kecil.