Konon sampai ada joke, Â kalau ada yang memakai baju warna putih saat naik kereta api ekonomi, begitu sampai di tujuan bajunya akan berubah warna menjadi abu-abu.
Tentu saja itu hanya sekedar lelucon diantara penumpang. Tapi begitulah gambaran betapa parahnya kondisi kereta api saat itu.
Selain masalah ventilasi, penumpang juga masih penuh sesak, tumpang tindih memenuhi setiap sudut gerbong, termasuk di lorong-lorong. Mereka duduk berhimpitan, beberapa berselonjor dengan santainya sambil berbincang.
Pedagang asongan masih mondar mandir sembari berakrobat sana sini, takut menginjak tangan atau kaki yang ditaruh sembarangan oleh pemiliknya.
Pak kondektur yang memeriksa tiket, masih harus berteriak-teriak minta jalan karena tidak bisa lewat saking penuhnya.
Sampah berbagai jenis, dari tissue bekas, botol bekas, kantong plastik bekas sampai sisa-sisa makanan masih berserakan disegala sudut. Kecoak pun masih mengintip disela-selanya, bermain petak umpet dengan semut dan teman-temannya.
Toilet, wow jangan ditanya. Sangat spektakuler ketidakmanusiawiannya. Â Sungguh tidak tega saya menggambarkan kondisinya. Banyak penumpang, termasuk saya, rela menahan pipis selama empat jam perjalanan, saking joroknya toilet yang ada.
Sebelas tahun berlalu dan kondisi masih tetap sama. Kalau tidak ingin dibilang menyedihkan, ya memprihatinkan. Hanya satu bedanya, penumpang lebih membludak seiring meningkatnya jumlah populasi.
Tapi saya tidak punya pilihan lain saat itu. Kereta api adalah satu-satunya transportasi murah yang mengantarkan saya dari kampung halaman ke kota perantauan dan sebaliknya. Dibandingkan bus ekonomi apalagi bus patas AC, harga tiket kereta api ekonomi ini masih jauh lebih murah.
Seperti mahasiswa pada umumnya, saya pulang kampung nyaris selalu dalam kedaaan bokek dan hanya tiket kereta yang terjangkau kantong kempes saya. Alhasil, walau dengan terpaksa, saya pun jadi pelanggan setia.
Dari awalnya terpaksa, lama-lama terbiasa.Â