Kereta api mulai  bergerak dengan lambat meninggalkan stasiun. Saya menempelkan wajah dikaca jendela yang buram dan kotor, menatap bayangan orang-orang di stasiun yang kian mengecil.
Semakin lama pohon-pohon disepanjang jalan pun bergerak semakin cepat, tiupan angin kencang yang menerobos dari jendela bagian atas yang terbuka, semakin terasa.
Saya tetap berdiri didekat jendela, dengan muka menempel di kaca dan rambut bagian atas berliuk-liuk dalam terpaan angin.
Saya tidak mau duduk, bukan karena bangkunya keras dan ada bekas tumpahan entah apa yang tidak bisa hilang, juga bukan karena penuh sesaknya penumpang yang tumpang tindih memenuhi gerbong kereta.
Ada yang berdiri bersandar di bangku. Ada yang selonjoran di tengah lorong, tidak peduli ketika para pedagang asongan melewatinya bahkan melompatinya. Bahkan ada yang bergelantungan didekat pintu keluar yang agak terbuka, sebagai bagian dari uji nyali.
Tapi bukan itu semua yang menjadi alasan saya memilih tetap berdiri di dekat jendela ketika kereta melaju. Saya hanya ingin bisa melihat dengan takjub segala sesuatu yang bergerak diluar sana. Dibalik jendela yang buram dan kotor.
Itulah pengalaman pertama saya naik kereta api ekonomi antar kota dalam provinsi. Puluhan tahun yang lalu, saat masih kelas 1 SD. Â Masih belajar "Ini Budi" dan belum belajar tentang gerak relatif, sehingga belum terlalu paham bahwa bukan pohon-pohon itu yang berlari, keretalah yang sedang melaju kencang.
Sebelas tahun kemudian, saya naik kereta api yang sama, dengan kota tujuan yang sama. Tragisnya, dengan kondisi yang sama pula, bahkan lebih parah.
Ventilasi masih tetap mengandalkan bagian atas kaca jendela yang terbuka.
Bukan hanya angin, tapi juga debu dan entah apa lagi ikutan menerobos masuk dan dengan cueknya menempel di kulit wajah yang berkeringat karena kegerahan, membuat tissu putih yang diusapkan untuk mengelap keringat, seketika menjadi legam.
Konon sampai ada joke, Â kalau ada yang memakai baju warna putih saat naik kereta api ekonomi, begitu sampai di tujuan bajunya akan berubah warna menjadi abu-abu.
Tentu saja itu hanya sekedar lelucon diantara penumpang. Tapi begitulah gambaran betapa parahnya kondisi kereta api saat itu.
Selain masalah ventilasi, penumpang juga masih penuh sesak, tumpang tindih memenuhi setiap sudut gerbong, termasuk di lorong-lorong. Mereka duduk berhimpitan, beberapa berselonjor dengan santainya sambil berbincang.
Pedagang asongan masih mondar mandir sembari berakrobat sana sini, takut menginjak tangan atau kaki yang ditaruh sembarangan oleh pemiliknya.
Pak kondektur yang memeriksa tiket, masih harus berteriak-teriak minta jalan karena tidak bisa lewat saking penuhnya.
Sampah berbagai jenis, dari tissue bekas, botol bekas, kantong plastik bekas sampai sisa-sisa makanan masih berserakan disegala sudut. Kecoak pun masih mengintip disela-selanya, bermain petak umpet dengan semut dan teman-temannya.
Toilet, wow jangan ditanya. Sangat spektakuler ketidakmanusiawiannya. Â Sungguh tidak tega saya menggambarkan kondisinya. Banyak penumpang, termasuk saya, rela menahan pipis selama empat jam perjalanan, saking joroknya toilet yang ada.
Sebelas tahun berlalu dan kondisi masih tetap sama. Kalau tidak ingin dibilang menyedihkan, ya memprihatinkan. Hanya satu bedanya, penumpang lebih membludak seiring meningkatnya jumlah populasi.
Tapi saya tidak punya pilihan lain saat itu. Kereta api adalah satu-satunya transportasi murah yang mengantarkan saya dari kampung halaman ke kota perantauan dan sebaliknya. Dibandingkan bus ekonomi apalagi bus patas AC, harga tiket kereta api ekonomi ini masih jauh lebih murah.
Seperti mahasiswa pada umumnya, saya pulang kampung nyaris selalu dalam kedaaan bokek dan hanya tiket kereta yang terjangkau kantong kempes saya. Alhasil, walau dengan terpaksa, saya pun jadi pelanggan setia.
Dari awalnya terpaksa, lama-lama terbiasa.Â
Apalagi kalau ada teman seperjalanan yang seru atau mudik berombongan dengan teman kuliah sekota asal. Sampah, bau, deru debu, toilet jorok terabaikan dengan keseruan kami bercanda tawa.
Meskipun tetap saja tissue di tangan memekat tiap kali dipakai menyeka keringat. Dan tetap saja, saya lebih suka menahan pipis meski sambil meringis.
Untuk meminimalisasi ketidaknyamanan, biasanya saya memilih jadwal keberangkatan yang paling awal. Jam 5 pagi. Relatif masih sepi dan longgar.
Tapi ya itu, seringkali teman segerbong adalah para pedagang, termasuk pedagang ayam dengan ayam-ayam hidup yang diikat kakinya. Kotek..kotek...kotek...
Lalu tibalah era-nya pak Jonan. Gebrakan pertama beliau adalah memperbaiki kondisi toilet di stasiun kereta api dan tentu saja di gerbong kereta.
Saya curiga, diam-diam sebenarnya pak Jonan tahu kalau ada yang suka nahan pipis di kereta, makanya hal pertama yang beliau perbaiki adalah kondisi toilet.
Untung tidak berhenti di toilet, perbaikannya merambah ke berbagai lini. Kebersihan gerbong, pengaturan tiket yang tersistem dengan baik sehingga penumpang tidak tumpang tindih memenuhi lorong dan dipastikan mendapat tempat duduk, tidak ketinggalan penertiban pedagang asongan.
Yang lebih penting lagi, sekarang ada AC. Wajah tak lagi legam, bedak tak lagi luntur oleh keringat, rambut tak lagi mengembang berantakan diterpa angin jendela, dan tshirt putih pun tak lagi jadi abu-abu.
Tentu saja ada banyak hal lain lagi yang di reformasi di tubuh kereta api, sehingga kereta api Indonesia bisa senyaman dan semanusiawi sekarang.
Tapi justru gara-gara gebrakan reformasi Pak Jonan inilah putri saya meragukan kejujuran saya.Â
Jadi, waktu saya cerita kondisi kereta api jaman saya muda dulu, ia tidak percaya sama sekali. Mungkin dia tidak bisa membayangkan ada kereta api yang bisa sebrutal itu kondisinya.
Jadi Pak Jonan, kalau anda membaca tulisan ini, inilah kesalahan terbesar Bapak saat mereformasi Kereta Api Indonesia: Bapak tidak mempertimbangkan kenangan yang hilang dan kini diragukan kebenarannya, karena jejaknya sama sekali tidak ada. Sudah Bapak sapu habis.
Bapak tidak mempertimbangkan kesulitan orang tua seperti saya untuk meyakinkan anak sekarang bahwa cerita tentang kondisi kereta api kita jaman dulu, sebelum era Bapak itu, Â tidak mengada-ada. Bukan fiktif, juga bukan bagian dari skrip cerita horor.
Generasi jaman now susah membayangkannya, Pak. Mereka tahunya wajah kereta api kita saat ini, yang bersih, teratur dan manusiawi.
Tetapi meskipun bapak punya andil dalam masalah kenangan yang hilang itu, saya tetap harus berterimakasih pada Bapak, Â karena sekarang saya gak perlu nahan pipis lagi selama 4 jam.
Terimakasih, Pak Jonan.
Terimakasih, KAI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H