Gara-gara terlalu menikmati JOMO alias Joy Of Missing Out, saya sampai kelewatan isu yang menghangat di Mandalika, dari mbak Rara yang fenomenal sampai masalah sampah di tribun yang diunggah petugas kebersihan.
Nha, perbincangan masalah sampah ini lah yang saya dengarkan di salah satu stasiun radio beberapa hari lalu dan menggelitik kerinduan untuk menulis yang sudah sekian purnama terpendam.
Bukan hanya masalah jumlah sampah yang hingga berton-ton, tapi lebih kepada perilaku para penonton yang membuang sampah sembarangan di tribun. Dari beberapa komentar yang saya baca pasca petugas kebersihan mengeluhkan masalah sampah di tribun dan mempostingnya di media sosial, ada sebagian yang menyalahkan penonton, sebagian lagi menyalahkan tidak adanya tempat sampah yang terjangkau.
Jadi ini salah siapa? Mari kita kuliti satu per satu, lapis demi lapis faktor-faktor yang menjadi pemicu masalah sampah ini.
Faktor pertama, masalah perilaku dan kebiasaan.
Beberapa orang berpendapat bahwa penonton yang membuang sampah itu tidak sepenuhnya keliru, lha wong memang tidak disediakan tempat sampah di tribun. Pendapat itu membuat saya teringat salah satu peristiwa yang membuat saya percaya ada korelasi erat antara perilaku masyarakat dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang diterapkan dalam rumah.
Jadi waktu saya merantau dulu, saya pernah jalan berdua dengan seorang oma, tetangga yang juga penduduk asli negri tempat saya merantau yang terkenal disiplin. Kami lagi on the way ke stasiun kereta. Ditengah jalan, oma itu berbagi permen dengan saya. Sepanjang jalan yang kami lalui kebetulan memang tidak ada tempat sampah. Alih-alih membuang bungkus permen sembarangan, beliau melipat bungkus permen dan memasukannya ke saku. Begitu kami ketemu tong sampah didekat pintu masuk stasiun, beliau mengeluarkan bungkus permen tadi dari saku dan membuangnya ke situ.
Peristiwa itu berkesan sekali bagi saya. Karena jujur saja, saya juga sempat tergoda membuang bungkus permen mungil itu ke balik semak-semak yang rimbun di sepanjang jalan yang kami lalui. Bukankah itu hal yang wajar di negri kita ?
Saya percaya perilaku disiplin si oma tetangga ini bukan sesuatu yang didapat dengan instan. Pasti sudah menjadi kebiasaan yang diterapkan sejak dini, sejak di dalam rumah, gak perlu menunggu anak-anak mendapat pelajaran PPKN dulu disekolah.
Budaya malu membuang sampah dengan sembarangan memang masih menjadi tantangan di negeri kita. Kadang-kadang justru yang menertibkan lah yang dipermalukan dan dibuat repot bahkan bisa jadi "public enemy" karena banyak yang enggan ditertibkan. Padahal kalau lingkungan bersih, semua juga ikut menikmati dampak positifnya. Iya atau iya ? Â Eh, jadinya kok malah curhat :)
Jadi, masalah sampah tidak akan pernah selesai menghiasi cerita negeri ini, kalau perilaku dan kebiasaan kita tidak di reformasi. Mengenai pendapat yang seakan membenarkan perilaku penonton di tribun itu dan menyalahkan tidak adanya tempat sampah yang ada dalam jangkauan, baiklah kita berkaca pada si oma tetangga saya diperantauan tadi. Tidak ada alasan apapun yang membenarkan kita membuang sampah sembarangan, apalagi alasan karena tidak ada tempat sampah didekat kita.
Bawa pulang sampah kita, buang pada tempatnya. Kalau tidak mau, ya jangan menyampah. Iya, sesederhana itu.
Faktor kedua, antisipasi yang terlupa.
Mengacu pada faktor pertama, sebenarnya sudah bisa ditebak kalau akan ada sampah di tribun, karena tidak adanya  tempat sampah dipasang di tempat itu.
Alasan penyelenggara kenapa tidak ada tempat sampah di tribun adalah karena masalah estetika. Mungkin alasannya memang benar, tapi seharusnya mereka juga paham dengan faktor sosial budaya masyarakat kita yang super manja.
Kalau memang tidak memungkinkan untuk menempatkan tempat sampah di tribun, seharusnya dibuat sistem sedemikian rupa sehingga  penonton "dipaksa" untuk bertanggung jawab atas sampahnya masing-masing. Mungkin dengan memberi kantong sampah dipintu masuk, memberi nomor dan memintanya kembali dipintu keluar.
Memang extra effort, tapi harus di akui bahwa masyarakat kita ternyata memang harus di "paksa" untuk disiplin. Kita belum bisa mandiri untuk disiplin. Jangankan tidak ada tempat sampah, lha wong ada tempat sampah saja masih banyak yang lebih suka melemparkan sampah dengan sembarangan.
Faktor ketiga, pendidikan sekedar slogan
Konon yang menjadi pemicu bergolaknya isu sampah ini hingga viral bukan hanya masalah sampah yang dibuang sembarangan tapi lebih kepada para pelakunya yang notabene berduit, berkelas dan seharusnya juga berpendidikan, karena harga tiket yang tidak murah. Intinya, para penonton itu bukan dari kalangan biasa, apalagi rakyat jelata seperti saya, yang jangankan untuk membeli tiket yang super mahal, untuk membeli minyak goreng saja harus mengorbankan budget untuk membeli mie instan.
Inilah yang mencengangkan sekaligus menampar wajah dunia pendidikan kita. Sejak play group, kita sudah belajar tentang tata tertib membuang sampah ke tempatnya. Ibu guru juga dengan telaten mengingatkan. Bahkan anak-anak hapal diluar kepala. Lalu kenapa perilaku kita bisa sedemikian tidak bertanggungjawabnya?
Jawabannya sebenarnya sederhana, karena pendidikan telah lama menjadi sekedar slogan. Pelajaran harus dihafalkan, demi nilai-nilai rapor yang membanggakan dan bisa dipamerkan para orang tua di sosial media. Padahal pendidikan bukan masalah menghafalkan, bukan juga masalah nilai-nilai rapor yang membanggakan.
Keberhasilan pendidikan bisa dilihat dari perilaku anak didik, tapi kalau ditarik lebih ke belakang lagi ya perilaku para orang tua yang justru memiliki waktu lebih panjang dalam mendidik anak dan mempengaruhi perilaku anak. Karena pendidikan bukan hanya notabene tanggungjawab sekolah, pendidikan anak yang sebenarnya adalah tanggung jawab orang tua. Idealnya memang antara orang tua dan sekolah terjalin sinergi.
Kalau sebagai orang tua kita membuang sampah sembarangan, apakah kita bisa berharap  anak-anak kita akan berperilaku tertib dan membuang sampah ke tempatnya ?
Kalau sekolah hanya mengedepankan penggelontoran materi dan memuja nilai-nilai yang terpampang di rapor, sementara itu  melupakan nilai-nilai yang seharusnya dipahami dan ditanamkan kepada anak didik, apakah kita bisa berharap generasi ke depan cukup mandiri dan berperilaku penuh tanggung jawab?Â
Jadi, salah siapakah hingga sampah bergolak di sirkuit bergengsi Mandalika ? Yang jelas bukan salah mbak Rara yang hanya bertanggung jawab terhadap hujan bukan sampah, tapi salah kita semua.
Selamat hari selasa, semoga hari ini tiupan angin kencang tidak menerbangkan sampah-sampah kita, karena kita sudah membuang pada tempatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H