Lansia memang rentan mengalami patah tulang, karena kondisi tulangnya memang kebanyakan sudah rapuh dan keropos. Jadi terbentur sedikit saja  bisa menimbulkan risiko patah tulang.
Apalagi lansia rawan mengalami "kecelakaan"seperti terbentur, oleng saat berdiri lalu jatuh, terpeleset dan kecelakan-kecelakaan yang lain. Dari yang ringan sampai berat. Dari yang ada penyebabnya, sampai tidak sengaja.
Begitu juga yang terjadi pada ibu saya beberapa bulan yang lalu. Mendadak jatuh pada saat berjalan pelan dari kamar mandi ke ruang tengah.
Saya tidak tahu seberapa keras jatuhnya, tapi menurut kakak saya yang menjadi saksi mata waktu itu, jatuhnya pelan, hanya saja posisi jatuhnya yang membuat sampai terjadi patah tulang.
Ibu saya memang sudah lanjut usia, bahkan tergolong lansia senior, sudah di atas 80 tahun. Posisi jatuh dengan lengan tertindih tubuh, membuat tulang lengan bagian atas patah. Tiga patahan terlihat di rontgen. Patah tak beraturan.
Kejadiannya berbarengan dengan saat gelombang covid varian delta mencapai puncaknya dan hampir semua rumah sakit penuh. Alhasil, kami sempat menunda membawa ibu ke rumah sakit, takut risiko tertular. Apalagi ibu saya tidak divaksin. Bukan karena tidak mau, tapi karena tidak memenuhi syarat.
Tapi mempertimbangkan ibu saya yang kesakitan luar biasa dan mobilitasnya sangat terganggu karena berjalan saja tidak bisa, kami pun akhirnya membawa beliau ke rumah sakit.
Ada beberapa hal yang ingin saya bagikan mengenai apa saja yang perlu kita perhatikan dan persiapkan saat Lansia mengalami patah tulang.
Ini berdasarkan pengalaman pribadi ya, jadi kalau ada kurang sana sini atau ada hal yang terlewati, silahkan diingatkan dalam kolom komentar supaya kita bisa saling mengisi.
Pertama, mencari second opinion dan dokter yang kompeten
Kami sempat tiga kali ganti dokter. Dokter pertama menyarankan operasi, dan mengatakan kalau tidak memungkinkan untuk diberi gips, karena kondisi patahannya yang tidak beraturan.Â
Biayanya ratusan juta, tingkat keberhasilannya tidak berani menjamin. Ini dokter ahli tulang di  sebuah rumah sakit yang terkenal baik kompetensinya.
Kami berdiskusi, tanya sana sini, akhirnya dicarilah second opinion. Ingat ya mencari second opinion itu tidak tabu, justru itu menolong kita untuk membuat keputusan yang lebih cermat dan tepat. Karena kalau ada tindakan pada pasien, kan persetujuan dari keluarga juga mandatory.
Dokter kedua memberi saran sebaliknya. Operasi justru tidak disarankan karena faktor usia membuat risikonya sangat tinggi dan bahkan bisa meninggal di meja operasi. Satu-satunya opsi adalah diberi  gips. Tidak akan menjamin pulih menyambung 100 persen, tapi paling tidak akan mengurangi rasa nyeri. Sebagai catatan, rasa nyerinya  memang luar biasa.Â
Setelah keluarga besar berdiskusi, akhirnya diputuskan mengikuti saran dokter kedua, yang jauh lebih masuk akal.
Sayang sekali, satu hari sebelum jadwal appointment untuk tindakan, dokter kedua jatuh sakit dan harus dirawat di RS.
Akhirnya seorang teman menyarankan kami ke dokter ketiga, dokter spesialis tulang  senior yang tentu saja jadwalnya luar biasa padat. Pak dokter ini punya klinik pribadi, sehingga relatif lebih aman daripada di rumah sakit.
Sempat khawatir pas mau kontak, takut harus ngantri lama, tapi ternyata pak dokternya sangat responsif dan ibu saya pun langsung ditangani tanpa harus ngantri.Â
Seperti halnya dokter kedua, pak dokter senior ini juga menyarankan untuk diberi gips bukan operasi. Gips tidak akan segera mengembalikannya seperti semula karena faktor usia, perlu waktu. Tetapi paling tidak, akan mengurangi nyeri dan membantu ibu saya untuk bisa melakukan mobilisasi super terbatas.
Itulah lika liku saya dan keluarga besar mencari pengobatan patah tulang untuk ibu saya.
Second opinion selalu diperlukan. Saya tidak bisa membayangkan kalau kami menuruti begitu saja saran dari dokter pertama. Bukan hanya soal biaya, tapi terlebih soal risiko yang sangat tinggi.
Kedua, mempersiapkan mental dan fisik/tenaga
Kondisi patah tulang pada lansia bisa membuatnya sama sekali tidak berdaya dan bergantung seratus persen pada bantuan dan perawatan orang lain.
Begitu pula yang terjadi pada Ibu saya. Siang dan malam tergantung sepenuhnya pada perawatan.
Karena saat itu kondisi puncak gelombang dua varian delta yang mencekam dan memang sedang PPKM juga, opsi untuk meng-hire suster untuk merawat ibu saya terlalu berisiko. Sementara, kami sekeluarga besar juga menerapkan aturan ketat untuk tidak saling berkunjung.
Alhasil, perawatan ibu saya tergantung sepenuhnya pada kakak dan keponakan saya, di mana ibu saya tinggal bersama.Â
Mereka berjibaku merawat ibu saya, sambil masih harus bekerja walaupun WFH (Work From Home).
Lelah fisik dan mental yang luar biasa, siang dan malam harus siap siaga.
Jadi, mempersiapkan mental dan fisik sangat penting dalam merawat lansia yang mengalami patah tulang. Tentu tergantung juga pada lokasi dan kondisi patahannya.
Kalau memungkinkan dan aman, sebaiknya memang menggunakan tenaga bantuan seperti suster atau semacamnya.
Perlu diingat bahwa situasi ini sangat tidak nyaman bagi pasien, sehingga yang merawat pun harus punya kesabaran super duper ekstra.
Ketiga, mempersiapkan biaya-biaya tak terduga di luar biaya dokter, obat dan rumah sakit
Biaya yang dikeluarkan ternyata bukan hanya biaya dokter, rumah sakit dan obat-obatan saja, tapi ada banyak biaya lain-lain.
Untuk biaya dokter dan tindakan, memang tidak semahal biaya operasi, hanya sepersekiannya, bahkan. Apalagi dokter ketiga  yang menangani sangat baik, beliau tidak merujuk ibu saya ke klinik pribadinya yang mahal, tapi ke RS tempat beliau praktek yang cukup aman dan relatif terjangkau biayanya.
Pada kasus ibu saya, yang memiliki riwayat sakit punggung dan susah payah kalau bangun dari tempat tidur, ketika harus ditambahi dengan patah tulang dan akhirnya diberi gips, jelas meningkatkan kesulitan dan kesakitannya berlipat ganda.
Untuk mengurangi derita beliau, maka dibutuhkan ranjang medis, yang bisa naik turun dan ditekuk. Tentu saja ranjang ini cukup memakan biaya, tapi sangat diperlukan.
Itu salah satu contoh biaya tambahan tak terduga.
Biaya tak terduga lainnya adalah vitamin tulang khusus yang per butirnya 250 ribu rupiah dan harus rutin diminum setiap minggu selama sekitar lima bulanan. Â Ini diluar obat-obatan ya.
Kemudian ada biaya pampers, karena mobilitas masih sangat terbatas. Dalam sehari bisa 3- 4 pampers yang dibutuhkan, di hari lain bisa lebih dari itu. Karena organ pencernaan lansia memang cenderung sering bermasalah.
Itu tiga hal yang harus di persiapkan apabila terjadi kejadian patah tulang pada lansia.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, karena berdasarkan pengalaman pribadi, mungkin tidak bisa di generalisasi. Tapi setidaknya bisa memberi gambaran bagi yang sedang mengalami atau sekedar untuk antisipasi.
Ibu saya dilepas gipsnya setelah satu bulan. Saat ini sudah menginjak bulan ketiga semenjak kejadian, dan kondisi beliaupun sudah berangsur baik, meskipun tidak bisa pulih seratus persen seperti sedia kala.
Lengan kanan yang patah sudah bisa digerakkan lagi dan sudah bisa melakukan aktivitas ringan. Ibu saya juga sudah jauh lebih mandiri, bisa berjalan lagi dan wira wiri ke kamar mandi sendiri. Tapi tentu saja, dalam beberapa hal masih tetap harus dibantu.
Syukurnya lagi gelombang kedua covid sudah mereda, sehingga kami putra putrinya bisa bergantian datang merawat beliau.Â
Kalau tidak, kakak dan keponakan saya yang selama ini super siaga tanpa jeda, bakal mengalami  mentally and physically breakdown.
Memang, mengobati patah tulang pada lansia tidak mudah dan tidak murah, karena itu selalu lebih baik mencegah daripada mengobati.
Apabila memiliki orangtua, kerabat atau teman yang masuk kategori lansia, memang harus ekstra dalam menjaga dan mengawasi, terutama mencegah dari hal-hal yang bisa memicu risiko terjadinya patah tulang.Â
Tapi apabila ada kejadian yang tak dapat dihindari sehingga mengakibatkan patah tulang, semoga sharing saya diatas bisa membantu dan bermanfaat.
Salam semangat. Sehat selalu.
Catatan Kaki :
- In case kalian semua baca, anggota  KTB tercinta. Thank you utk supportnya ya. Tangible dan Intangible.
- Terima kasih juga untuk bu dokter dan pak dokter yang luar biasa. Â Responsif, helpful, dan profesional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H