Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Daydreammer, as always

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cerita Musim Semi, antara Greta, Pippi Si Stoking Panjang, dan Net-Zero Emissions

16 Oktober 2021   17:30 Diperbarui: 16 Oktober 2021   17:32 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Musim Semi"  - Illustration by si Cantik

Ini true story, suatu hari di musim semi.

Harum udara musim semi yang sejuk dan wangi menyambutku begitu aku membuka jendela kamar pagi itu.  Di ujung taman, kuncup tulip merah dan kuning mulai bermekaran. Tetangga yang juga pemilik rumah tempat kami tinggal, melambaikan tangan dari kebun belakang dengan masih mengenakan piyama dan secangkir kopi yang mengepul di tangan kiri. Sementara didekat kakinya  mini pug hitam legam yang lucu ikut menengok kearahku sembari  menggoyangkan ekor mungilnya. Aku melambaikan tanganku dan bertukar sapa seperti biasa. 

Moin...Moin...

Bercakap-cakap sebentar tentang cuaca, juga seperti biasanya. 

Bagus sekali cuaca hari ini ya.  

Sepertinya nanti sore akan lebih hangat. 

Dibudaya mereka, cuaca memang selalu menjadi topik utama dalam perbincangan sehari-hari maupun hanya untuk basa basi.

Musim semi adalah musim favorit kami. Tidak hangat, tidak juga dingin. Lebih penting lagi, musim ini menggambarkan harapan yang menggeliat, merekah dan  tumbuh setelah dunia serasa tertidur dalam malam- malam yang panjang di musim dingin. 

Musim penuh pengharapan. 

Ini juga musim yang hemat energi, karena heater atau pemanas tidak diperlukan lagi. Musimnya bisa mandi dengan air dingin lagi, walaupun harus sembari menahan gemertak gigi :)

Setelah mengantarkan sekolah si cantik - putriku, aku pun sibuk dengan tetek bengek urusan sehari-hari. Setiap hari Jumat jadwal kami memang lumayan padat merayap, terutama sore hari. Hari ketika ketahanan otot kakiku dipertaruhkan, karena jadwal yang nyaris bertabrakan. 

Jumat sore adalah jadwal les balet-nya si cantik dan jadwalku membantu putra salah seorang teman untuk belajar matematika, dan keduanya hanya terpaut 15 menit saja dimulainya. 

Jadi, setelah mengayuh sepeda menemani si cantik ke tempat les balet yang perlu waktu sekitar 10 menitan, harus buru-buru ngebut mengayuh sepeda kembali ke rumah sebelum si Edmund (sebut saja begitu, karena tidak elok rasanya menyebut nama asli tanpa permisi) datang. Satu jam kemudian, harus buru-buru mengayuh sepeda lagi menjemput si cantik yang sudah menunggu  sepuluh menit  lebih lama dari teman-teman lainnya.

Kalau jalannya landai, tentu tidak masalah. Yang menjadi masalah, kota tempat kami tinggal waktu itu mirip daerah perbukitan dengan jalan yang naik turun cukup ekstrim. Masalah lainnya, sepedaku adalah sepeda tua yang dibeli dari pasar loak. Walaupun berfungsi dengan baik, tapi teknologinya sudah ketinggalan jaman sehingga tidak mampu mengakomodasi kenyamanan berkendara di jalanan yang naik turun seperti ini. Apa boleh buat, akupun sepenuhnya bergantung kepada ketahanan otot kakiku. 

Jadi kalau sekarang betisku terlihat atletis (baca: berotot), itu bukan hasil dari nge-gym seperti para selebgram kekinian, tapi hasil alami dari latihan sehari-hari karena tuntutan hidup saat itu. 

Siang itu, ketika baru selesai mematikan kompor sehabis memasak untuk makan siang dan bersiap-siap menjemput si cantik, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan masuk. 

Dari Edmund. 

Memberitahu kalau hari ini dia akan datang terlambat, karena ikut kegiatan sekolah di kota sebelah. 

Pfuiiiih, aku menarik nafas lega. Bersyukur karena hari ini otot kakiku akan sedikit lebih relaks, maksudnya aku tidak perlu terlalu terburu-buru seperti biasa. 

Jam empat sore lebih sepuluh menit, saat aku baru saja menghempaskan pantatku di sofa sehabis mengayuh sepeda menjemput si cantik dari tempat les balet, bel pintu berbunyi. 

"Edmund datang!" Teriak si cantik dan langsung berlari menuruni tangga pendek yang menghubungkan pintu rumah kami dengan pintu utama,  membukakan pintu untuk si Edmund.  

Edmund muncul didepan pintu, dengan wajah lelah dan rambut pirang ikal yang acak-acakan. Tapi, matanya berbinar-binar, cocok dengan pipinya yang memerah saat tersenyum. Ia tak sempat pulang kerumah, jadi masih menenteng ransel sekolah.

Edmund adalah remaja berusia tiga belas tahun, yang pernah menjadi murid sekolah minggu-ku. Sekarang dia sudah lulus dari sekolah minggu, dan masuk dalam dunia remaja. 

Orang tuanya memintaku membantunya belajar matematika bukan karena dia kurang pintar matematika, justru sebaliknya. Ia brilian dalam matematika sedari kecil, bahkan langganan ikut olimpiade matematika mewakili sekolahnya. Tapi begitu menginjak remaja, orang tuanya kewalahan dengan fase remajanya. Nilai matematikanya menurun drastis bukan karena tidak bisa, tapi karena tak pernah mau menyentuh bukunya. Mereka sudah lelah berdiskusi dengan putra remaja mereka ini dan akhirnya mengibarkan bendera putih. Give up. 

Sebenarnya bisa dibilang aku bukan membantunya belajar matematika, karena seringkali dia lebih cepat menyelesaikan soal matematika daripada aku, lebih tepat dikatakan menemaninya belajar matematika. Ya, sembari memotivasinya. 

Pada awalnya ketika orang tuanya meminta kesediaanku membantunya belajar matematika, aku bukan hanya grogi tapi lebih pada perasaan was-was kalau mereka sedang khilaf. Takut kalau mereka mendadak sadar dari kekhilafannya :)

Selain karena merasa belum sepenuhnya menguasai bahasa mereka dan takut tidak bisa menjelaskan dengan baik, juga karena gentar dengan latar belakang orang tuanya. Bapaknya doktor di bidang elektronika, yang pastinya brilian soal matematika.  Kalau aku salah menjelaskan, dia pasti tahu, dan habislah reputasiku. Mau kutaruh dimana rasa malu-ku ? 

Tapi entah bagaimana kekhilafan mereka tak kunjung reda dan percaya sekali denganku, maka setiap hari Jumat jam tiga sore datanglah Edmund ke rumahku. Kami tidak hanya  belajar matematika, tapi juga berbincang tentang sekolahnya, teman-temannya bahkan game kesukaannya. Dan berkat itu semua nilai matematikanya pun kembali ke yang seharusnya, sesuai dengan kemampuannya yang memang diatas rata-rata.

Pada dasarnya, remaja hanya butuh tempat berbicara tanpa ada prasangka dan sepasang telinga yang aktif mendengarkan bukan sambil lalu saja.  Tentu saja orang tuanya pasti sudah berusaha melakukan apa saja demi bisa bicara dengannya, tapi dalam hal tertentu, kadang memang diperlukan figur pihak ketiga. 

Ok, kembali ke sore itu.

Demi melihatnya tampak kelelahan, akupun mengurungkan niatku untuk membuka map berisi soal-soal matematika yang baru aku print sehari sebelumnya. Hari ini skip saja belajarnya, toh tidak ada jadwal ulangan juga dalam waktu dekat. Sebagai gantinya, secangkir coklat hangat dan sepiring muffin yang baru tadi pagi kubuat terhidang di meja makan, tempat kami biasanya belajar. 

Kamipun berbincang. 

Ia bercerita dengan semangat tentang kegiatan sekolah yang dilakukannya tadi siang, yang membuatnya terlambat datang. Tadinya kupikir, semangatnya bercerita karena efek muffin dan coklat hangat. Atau karena efek skip belajar. Tapi demi melihat binar matanya saat bercerita, aku tahu ada alasan yang lebih esensi sehingga ia begitu berapi-api. On fire!

Sore itulah aku berkenalan dengan Greta, lewat ceritanya si Edmund. 

Greta Thunberg, gadis remaja swedia yang berpenampilan khas skandinavia dengan rambut pirang terang yang dikepang satu. Tidak ada yang istimewa dalam penampilan fisik Greta, yang berbeda adalah pemikiran, tekad dan semangatnya. Ketika remaja-remaja seusianya masih bergulat dengan masalah jati diri, Greta berpikir tentang hal yang jauh lebih besar dari sekedar dirinya sendiri. Ia berpikir untuk generasinya. Dan pemikiran itu tidak hanya berhenti pada pemikiran semata, tapi muncul dalam bentuk ide nyata, lalu dengan berani menyuarakannya dan berani membayar harganya.

Greta menyoroti mengenai krisis iklim yang semakin parah didunia, dan merasa tidak ada seorangpun yang secara serius menanggapi atau mempedulikannya. Padahal kalau tidak segera di ambil tindakan serius, akan berpengaruh pada masa depan generasi berikutnya. Dia merasa para pengambil kebijakan di dunia harus diingatkan untuk memperhatikan hal ini dengan serius, karena itu berdemo-lah dia didepan gedung parlemen swedia. 

Ternyata tindakannya itu menginspirasi pelajar-pelajar lainnya, karena apa yang disampaikan Greta sebenarnya adalah masalah mereka juga.  Masa depan lingkungan dan bumi ini, masa depan mereka juga. Karena khan mereka juga akan tinggal di bumi ini, gak mungkin pindah ke planet lain. Makanya, dalam demo para pelajar itu seringkali ada ada plakat bertuliskan : "TIDAK ADA PLANET B". Maksudnya, mau tidak mau ya kita harus selamatkan bumi ini, karena ini satu-satunya planet tempat kita tinggal. Begitu loh kira-kira. 

Nha, kesadaran itu merambah sampai ke pelajar-pelajar se-antero eropa dan akhirnya dunia. Akhirnya mereka pun membuat gerakan yang dinamai "Fridays For Future". Setiap hari jumat, mereka berkumpul di tempat masing-masing, dan meneriakkan hal yang sama seperti Greta. 

Demo itulah yang di ikuti Edmund, sampai harus telat datang belajar matematika di rumahku sore itu.  

Mendengar cerita tentang Greta dari Edmund, akupun  langsung jatuh cinta. 

Yang membuat Greta semakin istimewa, bukan hanya karena keberanian dan kepandaiannya berorasi, tapi dia juga membuktikannya lewat tindakannya. Saat di undang PBB sebagai pembicara untuk acara UN Climate Action Summit pada tahun 2019, dia menolak untuk menggunakan pesawat terbang sebagai alat transportasi, tapi memilih naik kereta api ke Inggris lalu berlayar dengan kapal Yacht sepanjang 18 meter ke New York karena lebih ramah lingkungan. 

Net-zero Emissions ala Greta. 

Di event itulah dia menyampaikan pidatonya yang sangat terkenal, berjudul "How Dare You". Dalam pidato berdurasi hanya sekitar empat menit lebih itu dia memarahi para pemimpin dunia berkaitan dengan isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang disuarakannya. Gadis enam belas tahun yang bernyali luar biasa. 

Tidak hanya bernyali, dia juga "mahal". Karena talk is cheap, tapi "walk the talk" itu mahal dan tidak semua orang punya nyali dan tekad untuk melakukan apa yang disuarakannya.  

Terlepas dari pro dan kontra diluar sana, gadis pemberani ini mengingatkan aku pada Pippi Longstocking alias Pippi Si Kaos Kaki Panjang.  Tokoh dalam cerita anak-anak yang terkenal, yang juga berasal dari Swedia dan secara kebetulan juga salah satu tokoh cerita favorit si Cantik. Pippi adalah juga gambaran keberanian untuk berpikir dan bertindak out of the box. Tidak ikut arus hanya untuk diterima lingkungannya, tapi punya pendirian sendiri yang kuat dan tahu apa yang dia perjuangkan.  Demi tujuan yang baik, tentunya. 

Greta adalah contoh remaja yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. 

Semoga begitu selalu ya, Greta. Jangan seperti aku, yang ketika seusiamu terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan maunya teman-temanku, hanya supaya diterima. Tidak berani bersuara, apalagi menyuarakan yang sesuatu yang out of the box.  Kepikiran pun enggak. Kalaupun kepikiran, takut ditertawakan, dianggap aneh lalu ditinggalkan teman-teman. Aduh si cantik, jangan kamu tiru mama-mu ini  kelak kalau kamu remaja. Tiru saja si Greta :)

Sore itu, aku lega karena telah membuat keputusan yang tepat. Skip belajar matematika untuk mendengar tentang Greta yang luar biasa. 

Lebih lega lagi, karena Edmund telah menemukan inspirasi yang tepat diusia remajanya yang masih dini. Terutama karena ia sangat cerdas dan tipe remaja yang deep-thinker. Salah tokoh panutan, bahayanya bisa berkali lipat dibanding yang kapasitas berpikirnya biasa-biasa saja. 

Itulah sebabnya, ada ungkapan : semakin cerdas anak kita, semakin was-was kita.

Ketika diakhir perbincangan, Edmund berhenti untuk meneguk sisa coklat hangatnya yang sudah tidak hangat lagi, aku menoleh  ke arah si cantik  yang duduk disampingku dan sedari tadi ikut nimbrung dalam pembicaraan kami sambil mencorat coret buku gambarnya. 

Ah Cantik, masih ada harapan untukmu. Untuk generasimu. 

Ditengah deru kegilaan sosial media yang membuat para remaja terbiasa berpikir dan bersikap dangkal, sibuk dengan dirinya sendiri, melakukan apa saja bahkan di luar norma, hanya untuk merasa diterima, padahal belum tentu juga. Masih ada remaja seperti Greta. Juga Edmund. Dan mereka yang lainnya. 

Edmund pun berpamitan karena sudah satu jam lebih kami berbincang, memakai kembali jaket musim semi-nya lalu berjalan kaki pulang ke rumahnya, yang berjarak dua kilometer dari rumah kami. Net-Zero Emissions ala Edmund. 

Cerita ini seharusnya tentang Net-Zero-Emissions, tapi gara-gara pesona Greta malah berbelok pesannya justru untuk para remaja.  

Ah, suara hati memang tak bisa dipaksa :) 

Lain waktu saja kutuliskan ide-ku tentang Net-Zero Emissions yang lebih bermanfaat dan paripurna, karena aku harus segera bersiap-siap menyambut malam mingguku  yang istimewa.

Oh iya, hari ini kami  mengambil rapor  si cantik  yang dengan metode drive-thru dengan bersepeda bersama, bukan bermobil seperti biasanya. Mencoba meniru Greta, yang tak sekedar bicara, tapi juga melakukan apa yang disuarakannya. Walaupun hanya lewat hal kecil nan sederhana. 

Selamat menikmati malam minggu yang seru bersama siapapun yang memang seharusnya dekat dihatimu, sambil menikmati cerita musim semiku.  

 

Catatan penulis : Seperti biasa, ilustrasi untuk tulisan ini adalah hasil karya si cantik. Tentu saja bukan hasil coretannya sore itu, tapi khusus dia buat hari ini, untuk tulisan ini.  Terimakasih, cantik.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun