Edmund muncul didepan pintu, dengan wajah lelah dan rambut pirang ikal yang acak-acakan. Tapi, matanya berbinar-binar, cocok dengan pipinya yang memerah saat tersenyum. Ia tak sempat pulang kerumah, jadi masih menenteng ransel sekolah.
Edmund adalah remaja berusia tiga belas tahun, yang pernah menjadi murid sekolah minggu-ku. Sekarang dia sudah lulus dari sekolah minggu, dan masuk dalam dunia remaja.Â
Orang tuanya memintaku membantunya belajar matematika bukan karena dia kurang pintar matematika, justru sebaliknya. Ia brilian dalam matematika sedari kecil, bahkan langganan ikut olimpiade matematika mewakili sekolahnya. Tapi begitu menginjak remaja, orang tuanya kewalahan dengan fase remajanya. Nilai matematikanya menurun drastis bukan karena tidak bisa, tapi karena tak pernah mau menyentuh bukunya. Mereka sudah lelah berdiskusi dengan putra remaja mereka ini dan akhirnya mengibarkan bendera putih. Give up.Â
Sebenarnya bisa dibilang aku bukan membantunya belajar matematika, karena seringkali dia lebih cepat menyelesaikan soal matematika daripada aku, lebih tepat dikatakan menemaninya belajar matematika. Ya, sembari memotivasinya.Â
Pada awalnya ketika orang tuanya meminta kesediaanku membantunya belajar matematika, aku bukan hanya grogi tapi lebih pada perasaan was-was kalau mereka sedang khilaf. Takut kalau mereka mendadak sadar dari kekhilafannya :)
Selain karena merasa belum sepenuhnya menguasai bahasa mereka dan takut tidak bisa menjelaskan dengan baik, juga karena gentar dengan latar belakang orang tuanya. Bapaknya doktor di bidang elektronika, yang pastinya brilian soal matematika. Â Kalau aku salah menjelaskan, dia pasti tahu, dan habislah reputasiku. Mau kutaruh dimana rasa malu-ku ?Â
Tapi entah bagaimana kekhilafan mereka tak kunjung reda dan percaya sekali denganku, maka setiap hari Jumat jam tiga sore datanglah Edmund ke rumahku. Kami tidak hanya  belajar matematika, tapi juga berbincang tentang sekolahnya, teman-temannya bahkan game kesukaannya. Dan berkat itu semua nilai matematikanya pun kembali ke yang seharusnya, sesuai dengan kemampuannya yang memang diatas rata-rata.
Pada dasarnya, remaja hanya butuh tempat berbicara tanpa ada prasangka dan sepasang telinga yang aktif mendengarkan bukan sambil lalu saja. Â Tentu saja orang tuanya pasti sudah berusaha melakukan apa saja demi bisa bicara dengannya, tapi dalam hal tertentu, kadang memang diperlukan figur pihak ketiga.Â
Ok, kembali ke sore itu.
Demi melihatnya tampak kelelahan, akupun mengurungkan niatku untuk membuka map berisi soal-soal matematika yang baru aku print sehari sebelumnya. Hari ini skip saja belajarnya, toh tidak ada jadwal ulangan juga dalam waktu dekat. Sebagai gantinya, secangkir coklat hangat dan sepiring muffin yang baru tadi pagi kubuat terhidang di meja makan, tempat kami biasanya belajar.Â
Kamipun berbincang.Â