Setelah mengantarkan sekolah si cantik - putriku, aku pun sibuk dengan tetek bengek urusan sehari-hari. Setiap hari Jumat jadwal kami memang lumayan padat merayap, terutama sore hari. Hari ketika ketahanan otot kakiku dipertaruhkan, karena jadwal yang nyaris bertabrakan.Â
Jumat sore adalah jadwal les balet-nya si cantik dan jadwalku membantu putra salah seorang teman untuk belajar matematika, dan keduanya hanya terpaut 15 menit saja dimulainya.Â
Jadi, setelah mengayuh sepeda menemani si cantik ke tempat les balet yang perlu waktu sekitar 10 menitan, harus buru-buru ngebut mengayuh sepeda kembali ke rumah sebelum si Edmund (sebut saja begitu, karena tidak elok rasanya menyebut nama asli tanpa permisi) datang. Satu jam kemudian, harus buru-buru mengayuh sepeda lagi menjemput si cantik yang sudah menunggu  sepuluh menit  lebih lama dari teman-teman lainnya.
Kalau jalannya landai, tentu tidak masalah. Yang menjadi masalah, kota tempat kami tinggal waktu itu mirip daerah perbukitan dengan jalan yang naik turun cukup ekstrim. Masalah lainnya, sepedaku adalah sepeda tua yang dibeli dari pasar loak. Walaupun berfungsi dengan baik, tapi teknologinya sudah ketinggalan jaman sehingga tidak mampu mengakomodasi kenyamanan berkendara di jalanan yang naik turun seperti ini. Apa boleh buat, akupun sepenuhnya bergantung kepada ketahanan otot kakiku.Â
Jadi kalau sekarang betisku terlihat atletis (baca: berotot), itu bukan hasil dari nge-gym seperti para selebgram kekinian, tapi hasil alami dari latihan sehari-hari karena tuntutan hidup saat itu.Â
Siang itu, ketika baru selesai mematikan kompor sehabis memasak untuk makan siang dan bersiap-siap menjemput si cantik, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan masuk.Â
Dari Edmund.Â
Memberitahu kalau hari ini dia akan datang terlambat, karena ikut kegiatan sekolah di kota sebelah.Â
Pfuiiiih, aku menarik nafas lega. Bersyukur karena hari ini otot kakiku akan sedikit lebih relaks, maksudnya aku tidak perlu terlalu terburu-buru seperti biasa.Â
Jam empat sore lebih sepuluh menit, saat aku baru saja menghempaskan pantatku di sofa sehabis mengayuh sepeda menjemput si cantik dari tempat les balet, bel pintu berbunyi.Â
"Edmund datang!" Teriak si cantik dan langsung berlari menuruni tangga pendek yang menghubungkan pintu rumah kami dengan pintu utama, Â membukakan pintu untuk si Edmund. Â