Mohon tunggu...
Yusinta Oktavia
Yusinta Oktavia Mohon Tunggu... -

Ecology-stud. IG : ystokt

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penghiburan dan Motivasi, Lampu Kecil Pertahanan Optimisme

15 Agustus 2018   04:05 Diperbarui: 15 Agustus 2018   04:39 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu hari di tahun lalu saat musim liburan semester, saya dan kawan lama tidak sengaja bertemu di suatu pusat perbelanjaan. Setelah sekian lama tidak bertemu, tentunya kami tidak menyia-nyiakan momen tak disangka-sangka ini untuk saling merekatkan silaturahmi. Jadilah setelah heboh bertegur sapa, kami memutuskan untuk menepi sambil bertukar kabar. Saya mengenalnya karena sama-sama ikut dalam organisasi sekolah. Dari hasil peninjauan saya, aura kawan saya ini cukup berubah. Berubah dalam hal yang baik, jelas. Tapi tentulah saya tidak menggunakan basa-basi "hei, kamu kok berubah yaaa" seperti kebanyakan orang yang umumnya berpendapat kalau kita mestinya menunjuk sesuatu yang drastis dari orang yang lama tidak kita temui.

Oke. Mari saya deskripsikan kawan saya ini sedikit lebih detail. Kawan lama saya ini merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya merupakan kontraktor dan saat ini beliau masih bekerja. Ia saat ini tercatat sebagai mahasiswa kedokteran di sebuah universitas ternama di Indonesia. Saat masih bersekolah dulu, ia cukup menonjol di beberapa mata pelajaran. Ia juga cukup aktif dalam organisasi sekolah. Selama berorganisasi bersama, saya merasa dia adalah anak yang perhatian dan peka. Rasa-rasanya saya juga tidak pernah mendengar ada teman yang berbicara buruk tentangnya.

Setelah bertukar cerita cukup panjang diselingi nostalgia dan anekdot semasa sekolah, entah mengapa saya memilih kalimat basa-basi yang langka di tengah-tengah percakapan. Saya sendiri, jujur, juga cukup kaget ketika kalimat itu meluncur dari mulut saya. Tapi saya rasa, ini menggambarkan auranya saat ini.

"Kamu kelihatan bahagia ya, sekarang!"

Kawan saya ini kemudian mengernyit, tertawa dan lalu berkilah kemungkinan ia kelihatan bahagia karena ia kebetulan bertemu saya yang sudah lama tidak ditemuinya. Ia kemudian menanyakan bagaimana kemajuan studi saya. Kala itu sebenarnya saya sedang mengalami 'slump' karena leletnya perkembangan tugas akhir. Jadilah setengah sadar saya berkisah cukup panjang dengannya mengenai hal tersebut. Toh saya pikir saya juga jarang-jarang bertemu dengannya, maka tidak akan jadi suatu masalah jika ia mendengarkan keluh kesah saya kali ini. Kawan saya ini (dalam pengamatan dan penerjemahan otak saya) mendengarkan secara perhatian dan memberikan pernyataan simpati dan motivasi untuk saya. Yah, saya pikir semua manusia memang membutuhkan penghiburan sepele macam itu. Ia melakukannya pun juga sebagai bentuk sopan santun adab sebagai kawan lama.

"Sebenarnya, saya sekitar satu semester lalu pergi ke psikiater loh..."

"Hah?"

'Hah' saja sebenarnya tidak cukup menggambarkan keterkejutan saya dalam suatu ekspresi kalimat atau kata. Kawan saya ini, ditilik rekam jejaknya dari semasa sekolah, punya 'specs' yang bagus. Apakah gerangan alasannya sehingga pergi ke psikiater? Iapun mulai bercerita.

Tahun-tahun belakangan, yang kami sebut sebagai sebuah perubahan besar bagi seorang siswa menuju mahasiswa, datang sebagai kesempatan emas untuk mengembangkan diri menjadi dewasa : merantau. Jauh dari keluarga. Lingkungan baru. Tanggungjawab baru. Kesempatan baru. Kebanyakan orang pun pasti pernah merasakannya, ya?

Tahun pertama berjalan cepat dengan penyesuaian, ujarnya. Tahun kedua ia sudah terbiasa. Jadwal kelas, teman-teman, organisasi, tugas, semua oke. Tahun ketiga, mulai muncul tantangan. Ia merasa kinerjanya dalam belajar menurun karena ia cukup kesulitan mengatur waktu berorganisasi dan belajar. Nilainya turun sampai-sampai ia mesti mengulang satu blok wajib di tahun tersebut. Ujarnya, setelah satu blok yang harus diulang tersebut ia memilih stop berorganisasi demi mendapat waktu belajar yang lebih intensif. Namun, ia bilang hal ini menjadi pemicu tantangan lainnya. Karena ia tertinggal blok dengan teman-teman seangkatannya, ia harus rela punya 'topik pembicaran yang berbeda' dengan mereka. Mereka masih membantunya meminjamkan bahan materi dan lain-lain, namun karena jadwal yang berbeda, ia dan teman-temannya jadi jarang bertemu.

Lalu, ia bilang ia punya perasaan aneh ini. Perasaan gelisah yang (tentu saja) tidak baik. Perasaan bahwa ia tidak berusaha cukup keras dalam belajar. Perasaan bahwa ia berada dibawah teman-temannya. Perasaan cemas tentang masa depannya. Perasaan kalau ia telah mengecewakan orangtua, ditambah karena ia anak sulung sehingga ia punya kesadaran untuk melakukan yang terbaik agar dicontoh adik-adiknya. Hal ini menyebabkan ia lebih sering menyendiri (ia merasa jantungnya suka berdebar keras secara tiba-tiba ketika berhadapan dengan orang lain atau tempat ramai), makan dan tidur tidak teratur, menolak ajakan teman-temannya untuk keluar, dan berbohong pada orangtua kalau ia baik-baik saja. Sudah jelas, secara mental, perasaan inferior macam ini mengarah kepada hal yang kurang baik. Perasaan suka membandingkan diri dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dan cemas akan menyusahkan orang lain, adalah kombinasi menuju penurunan tingkat kebahagiaan diri.

Sampai akhirnya suatu saat, ia berada dalam puncak keputusasaan. Ayahnya jatuh sakit, sakitnya pun cukup berat. Perasaan-perasaan yang selama ini ia pendam berubah menjadikannya mulai berpikiran untuk melukai diri sendiri. Ia tahu hal ini buruk, namun dia juga tidak berdaya. Sehingga, jika ia mulai merasakan pikiran-pikiran buruk datang, ia akan pergi jalan-jalan menghirup udara luar sebentar. Melihat-lihat keadaan sekitar. Setelah perasaannya menjadi lebih baik, ia pulang dan tidur. Hari-hari selanjutnya kurang lebih sama saja, ujarnya. Tentang ayahnya, setelah beliau dirawat beberapa hari, sudah kembali beraktifitas seperti biasa meski terbatas. Namun, kawan saya ini masih bisa merasakan sesak jika mulai menghadapi stress atau berada dibawah tekanan. Kadang pula pikiran-pikiran ingin melukai diri sendiri itu datang, tukasnya. Karenanya, ia mencari distraksi semua itu dengan melakukan hobinya : berjalan kaki, melukis dan berselancar di internet.

Ketika itu, ia bilang bahwa ia tengah berselancar di salah satu platform sosial media. Kawan saya ini menemukan suatu thread dimana seseorang mengalami apa yang ia rasakan. Di tulisan yang ia temukan tersebut, si penulis mengutip dari seorang artis K-Pop (yang juga mengalami perasaan cemas dan depresi) bahwa perasaan cemas dan depresi tersebut seperti bayangan. Si penulis juga mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah normal. Dalam tulisannya, si penulis tidak akan menyebut dirinya telah mengatasi perasaan cemas dan depresi, namun tampaknya semua manusia memang akan mengalami kegelapan yang tak terelakkan. Dan karenanya manusia perlu tempat beristirahat sementara sebagai pengalihan. Pengalihan tersebut akan membawanya melupakan pikiran-pikiran buruk.

Pengalihan yang dimaksud si penulis adalah mendengarkan musik. Si penulis tidak sengaja mendengarkan lagu salah satu grup K-Pop yang liriknya menyuarakan kegelisahan dan kecemasan di usia 20-an. Selain itu, si penulis thread juga mengatakan kalau musik mereka bagus. Si penulis kemudian dengan penasaran mulai membuka video dan mendengarkan karya-karya lain grup yang dimaksudnya tersebut. Lirik lagu-lagu grup tersebut ternyata mengena di hatinya. Mendengarkan dan menghayati lagu-lagu grup K-Pop tersebut tentu saja tidak langsung dapat menyembuhkannya dari kecemasan dan perasaan inferior tadi. Si penulis juga memang awalnya merasa heran dengan dirinya sendiri, sangsi bagaimana bisa hal kecil semacam mendengarkan musik dan menghayati lirik bisa menjadi suatu penghiburan untuknya. Namun, seiring ia mendalami grup K-Pop tersebut, karena suatu kesamaan mengenai depresi dan kecemasan, ia jadi mengenal banyak teman baru dan berinteraksi dengan orang-orang (via sosial media), yang juga menikmati musik grup K-Pop yang bersangkutan. Memang sepele, dan memang kami tak pernah bertemu, ujar si penulis. Namun, anehnya ia merasa nyaman secara terbuka bertukar pikiran dan saling mendukung satu sama lain ketika sedang 'down'. Ia jadi merasa kepercayaan dirinya naik sedikit seiring adanya dukungan dari sesama penikmat grup K-Pop yang ia sebutkan.

Kawan saya menyadari, apa yang dialami si penulis ini adalah bahwa si penulis menemukan optimisme baru. Kawan saya ini mendapati bahwa kadang, hal-hal untuk meningkatkan kebahagiaan diri kita pun jua sepele. Manusia mungkin telah diprogram untuk memiliki kecenderungan memikirkan dirinya bahagia/sukses/baik jika diterima atau divalidasi orang lain. Manusia juga cenderung punya pemikiran pesimis. Sebenarnya kita tinggal memilih saja, apakah kita mesti tetap tenggelam dalam perasaan pesimis atau pergi mencari solusi untuk mengalihkan perasaan inferior dan kecemasan kita. Consolation/condolence/comfort; alias penghiburan bisa jadi hal sepele untuk menyokong optimisme. Kadang kita lupa kalau pujian kecil, atau yang semacam ucapan terimakasih, senyum, atau mengatakan good job, bisa menjadi energi positif bagi orang lain.

Si penulis mungkin merasa 'nervous' jika harus bercerita pada orang terdekatnya mengenai perasaan seperti rendah diri dan cemas. Karena kita cenderung bersikap 'taken for granted' dengan lingkungan yang telah akrab dengan kita. Penghiburan dari orang asing (dalam hal ini si penulis terhadap grup K-Pop dan fans grup K-Pop yang mengalami hal sama) meski kecil, kadang lebih berimbas daripada yang telah lama kita kenal. Tapi tentu saja tidak semuanya benar. Bisa jadi, karena kita kurang terbuka terhadap orang-orang yang dekat dengan kita, menjadikan kita berasumsi kalau mereka tidak akan memahami perasaan kita.

Dari cerita si penulis tadi, kawan saya tersadar bahwa selama ini ia semestinya bisa lebih mencintai dirinya sendiri, jujur dan terbuka mengenai keadaannya dengan orang-orang terdekat. Iapun akhirnya bercerita kepada orangtuanya kalau ia mengalami gangguan kecemasan. Ia juga bercerita pada teman-temannya apa yang ia rasakan. Jelas kesalahpahaman ini membuahkan hubungan yang lebih erat untuk kawan saya dan orang-orang terdekatnya. Atas anjuran orangtuanya, ia pergi ke psikiater. Setelah konseling beberapa kali, ia juga merasa ia kembali ceria sedikit demi sedikit. Bahkan mungkin sedikit lebih happy dari sebelumnya. Saya yang mendengarkan kisah kawan saya tersebut, jadi yakin bahwa memang ada sebagian orang yang 'meminjamkan' bahu dan memberikan perhatiannya untuk menghibur orang-orang. Mungkin ada yang beranggapan itu bukanlah masalah besar, terkesan hanya sebagai bentuk sopan santun atau basa-basi. Namun ucapan penyemangat dan apresiasi kecil terhadap orang lain bisa sedikit memberikan 'penerangan' demi tetap berpikiran positif. Orang-orang itu mungkin merasa yang mereka lakukan itu sepele sekali, tapi penghiburan, motivasi dan energi positif yang mereka berikan menjadikan dunia adalah tempat penuh harapan (optimisme).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun