Sampai akhirnya suatu saat, ia berada dalam puncak keputusasaan. Ayahnya jatuh sakit, sakitnya pun cukup berat. Perasaan-perasaan yang selama ini ia pendam berubah menjadikannya mulai berpikiran untuk melukai diri sendiri. Ia tahu hal ini buruk, namun dia juga tidak berdaya. Sehingga, jika ia mulai merasakan pikiran-pikiran buruk datang, ia akan pergi jalan-jalan menghirup udara luar sebentar. Melihat-lihat keadaan sekitar. Setelah perasaannya menjadi lebih baik, ia pulang dan tidur. Hari-hari selanjutnya kurang lebih sama saja, ujarnya. Tentang ayahnya, setelah beliau dirawat beberapa hari, sudah kembali beraktifitas seperti biasa meski terbatas. Namun, kawan saya ini masih bisa merasakan sesak jika mulai menghadapi stress atau berada dibawah tekanan. Kadang pula pikiran-pikiran ingin melukai diri sendiri itu datang, tukasnya. Karenanya, ia mencari distraksi semua itu dengan melakukan hobinya : berjalan kaki, melukis dan berselancar di internet.
Ketika itu, ia bilang bahwa ia tengah berselancar di salah satu platform sosial media. Kawan saya ini menemukan suatu thread dimana seseorang mengalami apa yang ia rasakan. Di tulisan yang ia temukan tersebut, si penulis mengutip dari seorang artis K-Pop (yang juga mengalami perasaan cemas dan depresi) bahwa perasaan cemas dan depresi tersebut seperti bayangan. Si penulis juga mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah normal. Dalam tulisannya, si penulis tidak akan menyebut dirinya telah mengatasi perasaan cemas dan depresi, namun tampaknya semua manusia memang akan mengalami kegelapan yang tak terelakkan. Dan karenanya manusia perlu tempat beristirahat sementara sebagai pengalihan. Pengalihan tersebut akan membawanya melupakan pikiran-pikiran buruk.
Pengalihan yang dimaksud si penulis adalah mendengarkan musik. Si penulis tidak sengaja mendengarkan lagu salah satu grup K-Pop yang liriknya menyuarakan kegelisahan dan kecemasan di usia 20-an. Selain itu, si penulis thread juga mengatakan kalau musik mereka bagus. Si penulis kemudian dengan penasaran mulai membuka video dan mendengarkan karya-karya lain grup yang dimaksudnya tersebut. Lirik lagu-lagu grup tersebut ternyata mengena di hatinya. Mendengarkan dan menghayati lagu-lagu grup K-Pop tersebut tentu saja tidak langsung dapat menyembuhkannya dari kecemasan dan perasaan inferior tadi. Si penulis juga memang awalnya merasa heran dengan dirinya sendiri, sangsi bagaimana bisa hal kecil semacam mendengarkan musik dan menghayati lirik bisa menjadi suatu penghiburan untuknya. Namun, seiring ia mendalami grup K-Pop tersebut, karena suatu kesamaan mengenai depresi dan kecemasan, ia jadi mengenal banyak teman baru dan berinteraksi dengan orang-orang (via sosial media), yang juga menikmati musik grup K-Pop yang bersangkutan. Memang sepele, dan memang kami tak pernah bertemu, ujar si penulis. Namun, anehnya ia merasa nyaman secara terbuka bertukar pikiran dan saling mendukung satu sama lain ketika sedang 'down'. Ia jadi merasa kepercayaan dirinya naik sedikit seiring adanya dukungan dari sesama penikmat grup K-Pop yang ia sebutkan.
Kawan saya menyadari, apa yang dialami si penulis ini adalah bahwa si penulis menemukan optimisme baru. Kawan saya ini mendapati bahwa kadang, hal-hal untuk meningkatkan kebahagiaan diri kita pun jua sepele. Manusia mungkin telah diprogram untuk memiliki kecenderungan memikirkan dirinya bahagia/sukses/baik jika diterima atau divalidasi orang lain. Manusia juga cenderung punya pemikiran pesimis. Sebenarnya kita tinggal memilih saja, apakah kita mesti tetap tenggelam dalam perasaan pesimis atau pergi mencari solusi untuk mengalihkan perasaan inferior dan kecemasan kita. Consolation/condolence/comfort; alias penghiburan bisa jadi hal sepele untuk menyokong optimisme. Kadang kita lupa kalau pujian kecil, atau yang semacam ucapan terimakasih, senyum, atau mengatakan good job, bisa menjadi energi positif bagi orang lain.
Si penulis mungkin merasa 'nervous' jika harus bercerita pada orang terdekatnya mengenai perasaan seperti rendah diri dan cemas. Karena kita cenderung bersikap 'taken for granted' dengan lingkungan yang telah akrab dengan kita. Penghiburan dari orang asing (dalam hal ini si penulis terhadap grup K-Pop dan fans grup K-Pop yang mengalami hal sama) meski kecil, kadang lebih berimbas daripada yang telah lama kita kenal. Tapi tentu saja tidak semuanya benar. Bisa jadi, karena kita kurang terbuka terhadap orang-orang yang dekat dengan kita, menjadikan kita berasumsi kalau mereka tidak akan memahami perasaan kita.
Dari cerita si penulis tadi, kawan saya tersadar bahwa selama ini ia semestinya bisa lebih mencintai dirinya sendiri, jujur dan terbuka mengenai keadaannya dengan orang-orang terdekat. Iapun akhirnya bercerita kepada orangtuanya kalau ia mengalami gangguan kecemasan. Ia juga bercerita pada teman-temannya apa yang ia rasakan. Jelas kesalahpahaman ini membuahkan hubungan yang lebih erat untuk kawan saya dan orang-orang terdekatnya. Atas anjuran orangtuanya, ia pergi ke psikiater. Setelah konseling beberapa kali, ia juga merasa ia kembali ceria sedikit demi sedikit. Bahkan mungkin sedikit lebih happy dari sebelumnya. Saya yang mendengarkan kisah kawan saya tersebut, jadi yakin bahwa memang ada sebagian orang yang 'meminjamkan' bahu dan memberikan perhatiannya untuk menghibur orang-orang. Mungkin ada yang beranggapan itu bukanlah masalah besar, terkesan hanya sebagai bentuk sopan santun atau basa-basi. Namun ucapan penyemangat dan apresiasi kecil terhadap orang lain bisa sedikit memberikan 'penerangan' demi tetap berpikiran positif. Orang-orang itu mungkin merasa yang mereka lakukan itu sepele sekali, tapi penghiburan, motivasi dan energi positif yang mereka berikan menjadikan dunia adalah tempat penuh harapan (optimisme).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H