Mohon tunggu...
Yeni Sahnaz
Yeni Sahnaz Mohon Tunggu... Penulis - Junior

Seorang lansia yang senang bertualang di belantara kata-kata dan tidak suka pakai kacamata kuda dalam menyelami makna kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sang Altruis

7 Desember 2023   23:52 Diperbarui: 8 Desember 2023   07:45 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berjalan di terik kota Jakarta menumbuhkan sensasi rasa tersendiri bagiku. Aku memilih berjalan kaki dari stasiun Cikini menuju Galeri Nasional untuk melihat pameran lukisan para maestro dunia. Saat kaki terasa penat aku menyeberang jalan berbelok menuju Taman Ismail Marzuki untuk istirahat sejenak sambil melihat-lihat buku di Galeri Buku Bengkel Deklamasi. yang terletak di ujung kanan gedung Graha Bhakti Budaya sejajar dengan Bioskop XXI. Toko buku tersebut didirikan oleh seniman Jose Rizal Manua dan WS Rendra sepulang mereka dari Amerika Serikat pada tahun 1996.

Usai melihat-lihat tumpukan buku yang didisplay sampai membludak ke teritisan, aku merunduk ke bawah pohon rindang di depan toko buku . Tak lama seorang Bapak berambut putih dengan perawakan kurus dan mungil juga turut berteduh. Bapak tersebut tersenyum dan mengangguk ke arahku. Beliau menurunkan ransel yang disandangnya sambil tangan kirinya tetap menggenggam segulung karton putih.

"Bapak bawa apa itu?" Aku menunjuk karton yang dibawa Beliau.

"Oh...ini lukisan iseng...saya buat pakai pulpen karena ga kebeli cat dan kanvas."

Beliau memperlihatkan lukisan surealis dengan goresan unik.

 "Waduh ini sih bukan iseng...pastinya Bapak sudah prof...rencananya  lukisan ini mau dibawa kemana?" Naluri kepoku mulai bangkit dan menduga-duga jika Bapak tersebut akan menjual lukisannya ke suatu tempat.

" Lukisan ini selalu ikut saya ke mana-mana...karena saya memang gelandangan.." Beliau mengakhiri kalimatnya dengan tawa lebar memperlihatkan gusinya yang tak lagi bergigi..

" Ah Bapak becanda...harusnya lukisan sekelas itu sudah bisa mensejahterakan pelukisnya. Pernah ada pameran sketsa dari tokoh ternama, dalam sekejap lukisannya habis diborong kolektor meski harga satuannya lumayan tinggi..."

 "Pelukis itu seorang Romo ya...saya juga pernah menggelar pameran karena ada yang mensponsori tapi lukisannya ga saya jual ."

"Lho...maksudnya?"

 "Saya ini pengecut mba...takut kaya. Ketika kaya maka kita sulit mengontrol hati nurani karena pikiran kita akan dipenuhi bermacam syahwat..."

 "Kadang ironis memang...banyak maestro yang hidupnya menderita hingga kematian menjemputnya. Setelah itu para kolektor justru bersuka cita karena bisa mempermainkan harga lukisannya dengan fantastis," ujarku prihatin.

 "Begitu juga baik...artinya si pelukis sudah memberi kehidupan kepada banyak orang...bermanfaat toh?" Kembali tawa Beliau mengembang."Masriadi pelukis Bali sudah melakukannya, lukisannya di kisaran 12 M."

 "Selain melukis kegiatan Bapak apa saja?"

 "Saya mengajak siapa saja yang mau berteater."

 "Saya boleh ikut meski sudah tua gini?"

 "Ga ada batasan usia untuk berteater yang penting konsistensi tidak main-main...Mba tau siapa aktor pertama di dunia? Dia lahir 500 tahun sebelum masehi di Yunani."

Aku tertegun, bila berteater saja harus serius...bagaimana seharusnya menjalani kehidupan ini? Aku kemudian curhat kalau putraku begitu kuat jiwa seninya tapi banyak dirundung masalah terutama di sekolah.

"Ya di situlah ajaibnya sistem pendidikan kita. Ketika seorang murid tidak memenuhi standar yang ditetapkan maka ia dianggap abnormal. Saya kira anak Mba istimewa karena ia independen tidak berusaha mengikuti standar orang lain. Dan kebanyakan orang istimewa itu tidak  lahir di istana dan bermahkota, mereka sering dianggap gila dan bermasalah karena pemikirannya melampaui jamannya."

"Bangsa kita ini mulai kehilangan orientasi dan identitas karena tidak menghargai seni dan budaya. Bandingkan dengan di Barat, sejak balita kepekaan estetika anak sudah diasah hingga naluri kemanusiaan pun muncul alamiah. Seniman Barat bisa mendunia karena mereka di sekolah diberi ruang untuk berpikir kreatif. Mereka mengaplikasikan logika, estetika dan etika menjadi sebuah karya."

"Saya sangat sedih melihat para pelajar kita yg melulu dicekoki pelajaran minim pemahaman seni, akibatnya mereka ini tumbuh penuh luka batin hingga lepas kendali. Bayangkan beberapa tahun ke depan jika mereka menjadi pemuka masyarakat apa yg akan terjadi?"

Aku  manggut-manggut sambil menguap melepas ketegangan di kepala yang mulai berat, lalu menyetop Ibu penjual kue yang lewat. Beberapa gemblong, combro dan kue cucur akhirnya menemani obrolan kami. Tak terasa waktu dua jam kami habiskan untuk berbincang. Aku pun berpamitan kepada Beliau.

" Mau kemana mbak?"

" Saya mau menggelandang Pak.."

Langkahku kembali berayun...masih 6.250 langkah lagi untuk mencapai tempat yang kutuju yakni Galeri Nasional, sebuah gedung megah berarsitektur kolonial yang tengah memamerkan lukisan para maestro dunia.

Sepanjang jalan hatiku berbicara dan menduga-duga, mungkinkah Bapak tadi seorang  penganut altruism yang cenderung terlempar dari cinta diri demi lebih mencintai orang lain tanpa pamrih?

Istilah altruism ini digagas oleh filsuf Perancis bernama Auguste Comte, merujuk pada individu yang memiliki kepedulian tinggi terhadap orang lain tanpa mementingkan dirinya sendiri.

Eric Fromm, seorang filsuf Jerman mendefinisikan altruism dalam bukunya The Art of Loving, tentang cinta yang altruistic yakni cinta yang aktif bukan pasif. Menurutnya kalau kita mencintai sesuatu, harus diikuti dengan tindakan yang menyiratkan 4 unsur cinta yang altruistic yakni cinta yang mengandung unsur kepedulian, tanggung jawab, respek dan pengenalan.

Jujur kuakui, wawasan Bapak tadi amat luas, obrolan kami melebar kemana-mana  dan yang kutulis di sini hanya secuil penggalan perbincangan kami. Beliau begitu fasih mengulas berbagai hal. Yang mengesankan adalah pesan beliau tentang cara mendidik anak, menurutnya: " Anak cerdas itu pemberontak dan ga suka didikte, lebih baik Mba ikuti passionnya saja."# 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun