Demikian halnya sejarah peradaban Islam yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan literasi. Dapatkah kita membayangkan bagaimana ajaran-ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan al-Hadis sampai ke hadapan kita sekarang ini tanpa adanya budaya literasi? Sejak awal kehadirannya, Islam memberikan perhatian besar pada budaya literasi.Â
Ibnu Saud pernah menceritakan bahwa Rasulullah SAW dalam perang badar pernah menawan 60 orang dari kalangan musuh. Mereka kemudian dibebaskan antara lain dengan kegiatan literasi, yakni mereka mengajari baca dan tulis. Apabila murid-muridnya berhasil bisa membaca dan menulis, maka hal itu dapat menjadi semacam tebusan bagi para tawanan yang disandera.
Sejarah perkembangan Islam juga menunjukkan bahwa berkat kemajuan budaya literasi, Islam mengalami perkembangan cukup pesat dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, kedokteran, sejarah, sosiologi, seni, dan disiplin ilmu lainnya. Sejumlah ilmuwan muslim seperti Al-Ghazali, Al-Farabi, Al-Kindi, Ibu Rush, Ibnu Khaldun, Ibnu Haitam, misalnya menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah gemilangnya budaya literasi yang dimiliki kaum muslimin.Â
Sementara itu, kemajuan pesat perpustakaan Islam seperti Bait al-Hikmah di Baghdad, Bait al-Hikmah di Kairo, Darul Ilmi atau perpustakaan buku "Sabur" dan Great Library di Alexandria menjadi bukti dari masa kejayaan budaya literasi dalam sejarah Islam. Tentu perlu disadari bahwa kejayaan itu hanya akan terulang manakala umat Islam kembali mencintai dunia literasi.
Dalam konteks inilah semangat Ramadan sebagai "bulan literasi" dapat menjadi momentum strategis untuk menjawab tantangan tersebut. Fenomena munculnya "Rumah Tahfidz" al-Qur'an di banyak tempat tentu menjadi angin segar tersendiri bahwa upaya-upaya untuk menggiatkan literasi al-Qur'an memberikan pengharapan yang melegakan.Â
Rumah Tahfiz al-Qur'an menjadi persemaian baru untuk menggairahkan aktivitas membaca al-Qur'an (tadarrus), meningkatkan kualitas bacaan (tahsin), serta menelaah, mendiskusikan, dan menghafal (tahfidz) al-Qur'an. Kehadiran Rumah Tahfidz tentu menjadi semacam jawaban untuk memperbaiki situasi dan kondisi literasi al-Qur'an yang selama ini dirisaukan.
Hal serupa juga perlu diupayakan untuk mendongkrak budaya literasi dalam konteks yang lebih luas. Selain menjadi keprihatinan bersama, rendahnya budaya literasi harus mampu melahirkan kesadaran bersama untuk mengantisipasinya secara massif.Â
Situasi dan kondisi seperti ini antara lain yang mendorong kami Yayasan Ruang Baca Komunitas (YRBK) secara rutin mengagendakan kegiatan "Literasi Ramadan" (LitRa) dengan tajuk "Mengisi Bulan Suci dengan Giat Literasi". Kegiatan ini sudah kami mulai sejak tahun 2016, tepatnya pada Ramadan 1437 Hijriyah.
Masih lekat di ingatan saya bagaimana waktu itu kami memulai kegiatan Litra 1437 H hanya bermodalkan keberanian semata. Meski harus "bersaing" dengan banyak kegiatan Ramadan lainnya yang dilaksanakan banyak pihak di berbagai tempat, LitRa YRBK dapat dilaksanakan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya.Â
Pada pelaksanaan Litra YRBK yang pertama kami mengadakan sejumlah kegiatan seperti: Ngabuburit Rasa Literasi, Safari Literasi Ramadan, Diskusi Komunitas, dan beragam perlombaan, terutama lomba Islamic Storytelling dengan tema Ramadan. Catatan menarik yang penting dikemukakan sebagai bagian dari ibrah pelaksanaan Giat LitRa YRBK adalah tumbuh-kembangnya peran masyarakat dalam mendukung kegiatan ini secara cukup positif.Â
Di luar dugaan, banyak kalangan yang peduli dan memberikan dukungan dari berbagai pihak, terutama Kang Duddy RS, Pemimpin Redaksi Harian Kabar Priangan yang telah membantu banyak hal. Mulai dari ide dan gagasan, penyediaan Piala untuk hadiah berbagai lomba hingga kesediannya untuk datang langsung ke YRBK memberikan kuliah Jurnalistik secara sukarela.