Mohon tunggu...
Yoza Setya
Yoza Setya Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Antusias dalam mempelajari hal baru, pengamat yang baik, dan seseorang yang ambisius

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Peran Strategis ICT dalam Meningkatkan Inklusi di Tempat Kerja

22 September 2024   11:11 Diperbarui: 22 September 2024   11:19 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran Strategis ICT dalam Meningkatkan Inklusi di Tempat Kerja 


Inklusi di tempat kerja telah menjadi salah satu perhatian strategis utama bagi banyak organisasi di seluruh dunia, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi dan diversifikasi tenaga kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Monideepa Tarafdar, Irina Rets, dan Yang Hu (2023) dalam jurnal Journal of Strategic Information Systems menyoroti peran Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) dalam memperkuat inklusi di tempat kerja. 

Menariknya, mereka menemukan bahwa organisasi yang inklusif 44% lebih mungkin untuk mencapai pertumbuhan pendapatan di atas rata-rata industri dibandingkan organisasi yang tidak inklusif (Hastwell, 2020). Namun, meskipun manfaat ini sangat jelas, kenyataan bahwa inklusi di tempat kerja sulit untuk dicapai menunjukkan adanya tantangan yang perlu diselesaikan. Berdasarkan data kualitatif dari perusahaan besar di Inggris, penulis menemukan bahwa ICT tidak hanya menjadi alat yang memfasilitasi inklusi, tetapi juga memungkinkan untuk melacak dan mengevaluasi efektivitasnya secara lebih efisien. 

Misalnya, aplikasi ICT yang digunakan untuk mendeteksi bias gender dalam teks dan wawancara digital membantu memastikan bahwa kandidat dari berbagai latar belakang merasa lebih nyaman dalam proses perekrutan. Pada tahun 2021, survei dari HireVue menunjukkan bahwa 100% pemimpin perekrutan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menganggap inklusi sebagai prioritas utama, dengan 33% di antaranya menganggapnya sebagai prioritas langsung. 

Namun, angka ini mencerminkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk memperluas penelitian dan pemahaman tentang bagaimana ICT dapat lebih lanjut mengatasi tantangan-tantangan struktural yang menghambat terciptanya tempat kerja yang lebih inklusif. Dengan demikian, pertanyaan yang perlu dijawab adalah sejauh mana ICT mampu menciptakan perubahan nyata dalam budaya inklusi di lingkungan kerja.

***

Dalam penelitian Tarafdar et al. (2023), empat praktik inklusi yang didukung oleh ICT diidentifikasi, yaitu Expanding, Orienting, Enculturating, dan Reflecting. Praktik-praktik ini mencakup berbagai aspek yang berbeda dari inklusi di tempat kerja, dan setiap praktik memiliki dampak spesifik dalam mengurangi hambatan-hambatan yang sering ditemui dalam upaya inklusi.

Praktik Expanding bertujuan untuk memperluas basis kandidat yang lebih beragam dalam proses perekrutan. Dengan menggunakan alat seperti Totaljobs Gender Bias Decoder, organisasi dapat mendeteksi bias gender dalam teks iklan pekerjaan, yang secara tidak langsung mendorong lebih banyak kandidat perempuan atau minoritas untuk melamar. Alat lain seperti sistem pelacakan aplikasi (Application Tracking System) dan chatbot memungkinkan para kandidat dari latar belakang berbeda untuk mendapatkan kesempatan yang setara dalam proses seleksi. Sistem ini memungkinkan perusahaan untuk menjaring lebih dari 2.000 aplikasi untuk mendapatkan 60 posisi, sehingga dapat menarik tenaga kerja yang lebih beragam (Tarafdar et al., 2023).

Sementara itu, praktik Orienting lebih terfokus pada kepemimpinan perusahaan dalam mendorong inklusi. Penggunaan media sosial internal seperti Yammer memungkinkan dialog terbuka antara manajemen puncak dan karyawan tentang berbagai kebijakan inklusi. Ini memberikan transparansi dan mengurangi segregasi, dengan membuka jalur komunikasi dua arah yang sebelumnya terhambat oleh hierarki formal.

Enculturating adalah praktik yang lebih informal, di mana karyawan didorong untuk terlibat dalam percakapan terkait inklusi di media sosial internal perusahaan. Penelitian ini menemukan bahwa percakapan di platform Yammer membantu karyawan saling memahami perspektif satu sama lain, termasuk pengalaman pribadi terkait diskriminasi atau stereotip. Hal ini penting dalam mengurangi stereotip yang sering muncul dalam interaksi sehari-hari di tempat kerja.

Yang paling signifikan adalah praktik Reflecting, yang memungkinkan organisasi untuk terus menganalisis dan mengevaluasi efektivitas upaya inklusi mereka. Sebagai contoh, perusahaan yang diteliti dalam penelitian ini melakukan pertemuan lunch-and-learn tiga kali seminggu melalui platform Microsoft Teams, dengan topik-topik seperti Bulan Sejarah Hitam dan Hari Perempuan Internasional. Partisipasi dalam sesi ini mencapai 100-150 orang per minggu, menunjukkan minat tinggi dalam topik inklusi (Tarafdar et al., 2023). Selain itu, data dari aplikasi pelacakan digunakan untuk memonitor keberagaman kandidat yang direkrut dan memberikan umpan balik anonim dari pelamar, yang membantu perusahaan dalam terus memperbaiki proses perekrutan mereka.

Dengan demikian, ICT memainkan peran penting dalam mengurangi hambatan inklusi di tempat kerja, baik dari segi perekrutan maupun interaksi internal antar karyawan. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan ICT bukan tanpa tantangan. Misalnya, aplikasi pelacakan mungkin gagal menangkap nuansa pengalaman kandidat atau karyawan tertentu, terutama mereka yang mungkin enggan mengungkapkan informasi pribadi seperti orientasi seksual atau identitas gender mereka.

***

Penelitian oleh Tarafdar et al. (2023) menunjukkan bahwa penggunaan ICT memberikan peluang besar bagi organisasi untuk meningkatkan inklusi di tempat kerja. Praktik-praktik seperti Expanding, Orienting, Enculturating, dan Reflecting membantu mengatasi hambatan struktural seperti stereotip, segregasi, dan klasifikasi yang menghalangi terciptanya lingkungan kerja yang inklusif. Namun, meskipun ICT terbukti bermanfaat, penting bagi organisasi untuk secara terus-menerus mengevaluasi dan memperbaiki strategi mereka agar tidak terjebak dalam kesenjangan antara kebijakan dan praktik nyata.

Implikasi utama dari temuan ini adalah bahwa teknologi harus diintegrasikan dengan kebijakan inklusi yang kuat dan berkelanjutan. Mengandalkan teknologi tanpa adanya pemahaman yang mendalam tentang budaya organisasi dan hambatan sosial hanya akan menghasilkan perubahan yang dangkal. Oleh karena itu, organisasi perlu menggabungkan pendekatan berbasis data dengan keterlibatan manusia yang lebih personal. Sebagai contoh, sesi pelatihan digital harus dilengkapi dengan diskusi tatap muka yang lebih mendalam, di mana para karyawan merasa aman untuk berbagi pengalaman mereka.

Di masa depan, adopsi ICT untuk inklusi di tempat kerja diprediksi akan terus berkembang, seiring dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya diversitas dalam mendorong inovasi dan performa organisasi. Organisasi yang berhasil menggabungkan teknologi dengan pendekatan humanis akan lebih mampu menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, di mana setiap individu merasa dihargai dan dapat berkontribusi secara maksimal.

Referensi

Tarafdar, M., Rets, I., & Hu, Y. (2023). Can ICT enhance workplace inclusion? ICT-enabled workplace inclusion practices and a new agenda for inclusion research in Information Systems. Journal of Strategic Information Systems, 32(2023), 101773. https://doi.org/10.1016/j.jsis.2023.101773

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun