Teman aku, Turiman namanya, lebih bandel dariku.Saat menonton bisa lebih dekat ke orang-orang itu. Mama melarangku, ikut-ikutan seperti itu. Tapi sama orangtuanya tidak dimarah-marahi, heran juga aku. Kenapa orang dewasa mempunyai cara berbeda-beda menghadapi anak kecil seumuran aku? Tapi, keheranan aku terjawab sudah siang ini, saat Turiman jatuh di sawah,kakinya berdarah, dan tangannya terkilir. Sontak, mamaku lebih semangat marah-marahnya, melarangku menonton orang yang bekerja itu, berbahaya!
Rupanya, kemarahan mamaku masih berlanjut. Tak berhenti seperti biasanya. Saat mengantar aku sekolah, mama terlihat bincang-bincang memakai bahasa Jawa halus dengan bu guru, aku tidak paham. Ternyata, setelah masuk kelas, bu guru menjelaskan bahaya listrik, termasuk menonton orang yang bekerja mendirikan tiang listrik kalau terlalu dekat.
Entah mengapa, telinga aku kok lebih menerima pelajaran yang berisi nasihat bahaya itu daripada nasihat serupa yang terucap dari mama sendiri. Apa karena mama sering marah-marah? Tapi, walau bagaimanapun, aku sangat sayang sama mama. Sepulang sekolah, aku lebih memilih diam di dalam rumah bermain bersama undur-undur.
Binatang yang jalannya mundur, perutnya gendut, kepala sangat kecil dan rumahnya lucu. Kalau terlihat tanah berlubang-lubang mirip corong, berarti di bawahnya ada binatang undur-undur ini. Biasanya sering terlihat di bawah bilik rumah, dipojokkan. Rumah aku dan tetangga semua rumah kayu dengan temboknya terbuat dari bilik atau kayu.
Aku sedang kalut atau bahasa anak milenial sekarang, "galau". Nasihat bu guru bisa aku terima, tapi kok seperti mengikuti kata-kata mama? Bingung dengan cara berpikir orang dewasa. Hatiku kesal dengan mama, tapi karena aku sayang mama, maka diamlah pilihanku.
Tak biasanya, bapak hari ini pulang kerja lebih awal. Ada bungkusan terlihat tergantung di stang sepeda kumbangnya. Hore...bapak bawa jajan! Hatiku sontak bahagia. Hilang sudah gundah-gulana entah ke mana. Cepat kutinggalkan undur-undur di tanah, kusambut bapak dengan cium tangan mesraku. Bapak membalas dengan mencium pipiku.
"Ada jajan buat anak tersayang, asal nurut sama bapak ya?"  Lembut bapak mengajakku  bicara sambil mengelus rambut kepalaku yang kemerah-merahan karena tiap hari bermain panas-panasan.
Aku curahkan perasaan dengan sedikit terisak, betapa tidak, mama melarang bermain melihat orang-orang itu dengan marah-marah. Â Apalagi setelah kecelakaan Turiman itu. Bapak rupanya paham dengan kegundahanku. Beliau bijaksana, tidak pakai marah tapi bisa menjawab permasalahan hatiku.
Sebagai hadiah aku menurut sama bapak, hari Minggu beliau mengajak rekreasi ke tempat favorit warga desaku, pantai Widara Payung, masuk wilayah Nusawungu, Cilacap.
Perjalanan yang harus ditempuh sepeda bapak yang seharusnya cukup satu setengah jam, kini terasa sangat lama. Aku dibonceng dengan alat boncengan yang dipasang di stang sepeda. Mama duduk di boncengan belakang dengan memegang tas bekal penuh makanan.
Matahari sudah meninggi saat kami sampai di tujuan. Terik matahari tidak terasa dengan adanya hembusan angin pantai yang cukup kencang. Kusapukan pandangan ke depan, ombak  besar bergulung-gulung dan pecah di bibir pantai landai berpasir hitam. Hatiku lega, plong. Keresahanku hilang tertiup angin pantai baru saja.