Mohon tunggu...
Yoyo Setiawan
Yoyo Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Melengkapi hidup dengan membaca dan menulis; membaca untuk menghayati betapa ruginya hidup tanpa ilmu, menulis untuk meninggalkan jejak bahwa kehidupan ini begitu berwarna.

Tenaga pendidik dunia difabel yang sunyi di pedalaman kabupaten Malang. Tempat bersahaja masih di tengah kemewahan wilayah lain. Tengok penulis kala sibuk dengan anak istimewa, selanjutnya kamu bisa menikmati pantai Ngliyep nan memesona! Temani penulis di IG: @yoyo_setiawan_79

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gara-gara Bandel

29 November 2021   19:50 Diperbarui: 29 November 2021   19:52 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.hariansemarangeducation.blogspot.com

Cerpen Yoyo Goyol ( @yoyo_setiawan_79)

Siang hari yang terik dan perutku mulai terasa perih. Pagi tadi hanya sempat sarapan sedikit karena bangun tidur kesiangan. Aku percepat langkah kaki agar lebih cepat sampai rumah. Tapi sesampai di rumah, kulihat di meja makan tidak ada satu hidanganpun.

Tak kulihat mama di rumah, juga bapak. Rumah sebesar ini kosong dengan semua pintu terbuka. Ke mana semua orang? Kucari di kamar tidak ada, lalu aku ke dapur juga sepi. Lalu aku ke rumah Edi, tetangga yang juga teman sekolah.

Sepi, hanya ada Edi yang sedang makan siang dengan lahapnya. Aku hampiri dia, duduk di sebelah kanannya.

"Edi, kamu lihat mamaku, nggak?" tanyaku. Kulihat Edi tak acuh dengan pertanyaanku. Malah tambah asyik memenuhi mulutnya dengan nasi dan tempe mendoan. Aku geleng-geleng. Coba kalau aku sedang tidak butuh jawaban, pasti kutinggal dia.

"Nggak tahu, Yol. Ibuku cuma pesan kalau lapar makan siangnya ambil sendiri" kata Edi menggodaku. Eh, masih sibuk makan, sempat-sempatnya bercanda. Aku tunjukkan kepalan tangan kananku, gregetan. Nggak tahu apa, ada anak sedang lapar!

Oh, iya. Teman bermainku memberi nama Goyol padaku. Entah baik atau buruk artinya, aku tak peduli dengan itu, yang penting semua temanku asyik. Masih untung aku dipanggil seperti itu dibanding teman yang lain, ada yang dipanggil Toples, Abu, Gentong, Ucil dan Gundul.

Daripada aku menderita kelaparan dan tidak mendapat jawaban, aku tanpa pamit pergi meninggalkan Edi. Sayup terdengar Edi tertawa cekikikan melihat tingkahku. Sebenarnya hatiku dongkol, sudah lapar, ditertawakan lagi! Tapi sudahlah, nanti atau besok pasti aku balas.

Tiba di rumah, bapak sudah ada di halaman sedang menikmati kopi hitam manisnya. Aku kaget, kapan bapak datang? Menghilangkan lelahku, aku duduk di sebelah bapak.

"Darimana ini, nak? Kok pulang sekolah belum ganti baju. Ayo ganti bajunya, terus makan siang di dapur. Bapak beli bakmi tadi. Cepat makan selagi hangat!" kata bapak melihat aku baru pulang.

"Ya, pak" jawabku lugas. Bukan apa, sudah kelewat lapar jadi malas menjawab panjang-panjang.

Cepat ku melangkah ke kamar. Kuganti baju dengan baju untuk bermain. Perut semakin ramai memberontak, minta diberi asupan. Tapi hilang sudah sedihku karena sudah ada hidangan favorit di meja makan.

Bismillah, aku buka bungkusan makanan di depanku. Hem, aroma sedap khas bakmi nyemek segera memenuhi indra penciumanku. Kutambah sedikit nasi di atasnya biar kenyang. Kunikmati perlahan suap demi suap makan siang ini, tak rela kebahagiaan ini cepat berlalu.

Hampir setengah jam acara makanku karena betul-betul kunikmati. Biasanya teman-teman juga begitu, kalau pas waktu makan dapat menu kesukaannya, pasti dilama-lamakan!  Tapi, deg! Hatiku tiba-tiba merasa ada yang aneh, hilang, kosong.

Oh, iya. Kenapa baru ingat, mama ke mana? Hati ini mulai gusar, aku harus tanya bapak, ke mana mama kok tidak ada di rumah?

Kulihat bapak masih duduk di bangku halaman dengan terdiam. Seperti ada yang sedang dipikirkan. Apa sedang memikirkan mama? Sepertinya mama tadi pagi baik-baik saja. Tak sabar ingin tahu jawaban bapak, aku cepat berlari menghampiri.

"Pak, bapak. Mama kok nggak ada di rumah. Ke mana mama?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Pikiranku sudah dipenuhi prasangka beraneka ragam, jangan-jangan....Tapi aku tak boleh menangis, seperti pesan bapak, anak laki-laki tak boleh cengeng. Cepat kuseka kedua mataku.

"Sini, Nak" kata bapak dengan senyumnya, seperti dipaksakan. Ada beban berat di pikiran bapak tampaknya. Bapak mengusap rambut kemerahanku yang kebanyakan berpanas-panas bermain.

"Mama sekarang di rumah sakit, Nak. Sudah waktunya mama melahirkan. Ayo berdoa bersama agar mama melahirkan dengan lancar. Ambil air wudu dan salat bersama, ya?" kata bapak pelan. Tapi bagiku, ini petir menggelegar di siang terik! Aku benci adik. Kenapa mama harus hamil, terus melahirkan? Nantinya aku tidak disayang lagi, sama seperti Edi yang punya adik sebulan lalu.

Dengan terpaksa, aku ikuti ajakan bapak. Kudoakan mama selamat. Tapi tidak adikku! Hatiku tidak terima. Dia akan merebut sayang mama padaku, seperti Edi yang sekarang tidak disayang ibunya. Kata dia, sekarang semua orang di rumahnya hanya sayang dengan adiknya.

Selesai salat, aku tak begitu fokus berdoa. Hanya mengaminkan doa apa yang diucapkan bapak. Entah ke mana pikiranku, kacau. Hatiku memberontak, tak mau menerima keadaan seperti ini. Terlintas di pikiranku, aku harus ngobrol mencurahkan kekesalanku pada bapak dan mama ke temanku, Edi.

Bapak berbalik badan menghadapku. Ia tampak lebih riang raut mukanya dibanding sebelumnya. Aku cepat meraih tangan kanan bapak, kucium pungung tangannya. Aku pamitan mau main ke rumah Edi.

"Jangan lama-lama mainnya, nak. Nanti bapak mau berangkat lagi ke rumah sakit, bergantian dengan pakde. Yoyo bantu bapak ya, nanti kalau Edi mau juga boleh bantu. Itu kayu di ladang belakang rumah, dirapikan, diikat terus dimasukan kandang.Bisa ya, Nak?" pinta bapak. Aku mengangguk tanda mengerti.

Aku bergegas keluar musala, bergegas ke rumah Edi. Karena terburu-buru lari, sampai lupa kaki ini tidak memakai sandal. Tapi itu sudah biasa bagiku, maklum anak kampung, telapak kakinya sudah tebal!

Asyiknya berkumpul bersama teman main. Dari bermain gundu, petak umpet, bermain ketapel dan akhirnya tanpa terasa geng anak bolang ini sudah jauh dari kampung sendiri. Menyusuri pematang sawah dan pinggir ladang orang sudah biasa, juga hari ini. Sampai kemudian, aku tersadar, telah lupa janjiku dengan bapak selepas salat tadi!

Rencanaku mau mencurahkan isi hatiku lupa sudah dengan asyik bermain. Juga aku lalai dengan janjiku sendiri. Aduh, malangnya aku. Entah apa hukumannya nanti dari bapak yang mendidikku disiplin sejak kecil.

Aku bilang ke Edi juga semua teman geng, kalau sebenarnya aku lupa ada acara. Pamitan mau pulang duluan, eh ternyata, semua anak ikut pulang. Hatiku sedikit terhibur. Terbayang nanti semua teman bisa membantuku mengumpulkan kayu bakar.

Tapi, rencana tinggal rencana. Ketika sudah dekat rumah, cuaca yang tadinya hanya mendung tipis, tiba-tiba berganti hujan deras! Spontan, aku dan semua teman berteduh di bawah pohon pisang, manga dan jati. Seadanya, siapa yang paling dekat dengan pohon tersebut.

Karena hujan cukup deras, dan kami berteduh seadanya, maka tak ayal baju dan celana basah. Beruntung, hujan hanya sebentar. Menyisakan rasa sesal telah ingkar dengan bapak. Hari memang telah beranjak sore, namun setidaknya aku masih bisa membantu bapak mengumpulkan kayu bakar di sisa waktu.

Benar saja, saat aku sampai di ladang belakang, semua kayu dan rantingnya telah basah kembali dari yang semula kering. Ya Allah, hukuman apa yang akan aku dapat dari bapak nantinya? Bapak selalu memberi hadiah kalau aku berhasil melaksanakan tugas, tapi juga akan memberi hukuman saat aku gagal melaksanakannya.

Gayung di tempat mandi telah pecah gegara dipakai memukul pantatku saat bandel mandi berlama-lama. Itu seminggu yang lalu. Nah, sekarang apa kira-kira hukuman itu?

Teman-teman yang tahu kalau kayu bakar di ladang telah basah, hanya terdiam kaget. Tapi beberapa detik kemudian, sontak Edi tertawa terbahak-bahak dan menunjuk ke aku. Sialan, aku ditertawakan lagi, pasti dia sedang membayangkan aku dihukum bapak...

----&&&----

Pagak-Malang, 28-11-2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun