Mohon tunggu...
Yoyo Setiawan
Yoyo Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Melengkapi hidup dengan membaca dan menulis; membaca untuk menghayati betapa ruginya hidup tanpa ilmu, menulis untuk meninggalkan jejak bahwa kehidupan ini begitu berwarna.

Tenaga pendidik dunia difabel yang sunyi di pedalaman kabupaten Malang. Tempat bersahaja masih di tengah kemewahan wilayah lain. Tengok penulis kala sibuk dengan anak istimewa, selanjutnya kamu bisa menikmati pantai Ngliyep nan memesona! Temani penulis di IG: @yoyo_setiawan_79

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Tak Sengaja Tersesat" (Bagian 2-Selesai)

21 November 2021   20:10 Diperbarui: 21 November 2021   20:12 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Yoyo Goyol (@yoyo_setiawan_79)

Aku berusaha menikmati waktu yang harus dihabiskan di sini sampai setidaknya pukul 1 siang nanti. Hemm, sepertinya membosankan ya? Sudah tempatnya sepi, tidak ada pemandangan bagus untuk berfoto dan pastinya, deretan toko-toko makanan semua tutup. Tidak ada pilihan, hanya warung pojok depan parkiran inilah warung makan yang bertahan buka.

Memang sudah menjadi jalan rezekinya, warung yang nekad buka sendirian inilah hari ini kebanjiran order dari rombongan kami. Para bapak otomatis pesan minum kopi hitam panas, katanya untuk teman ngobrol di suasana adem. Terus ibu-ibunya tak mau kalah, ada yang pesan teh hangat, ada yang pesan susu, wedang jahe dan sejenisnya, seru, banyak maunya!

Dan, tentunya obrolan ibu-ibu tak akan seru tanpa bakso atau sejenisnya. Ada yang pesan bakso juga, giliran sudah terhidang, bu Ahmad yang pesan makanan itu mencicipi, enak! Tanpa banyak Tanya, pasukan emak bahagia ini kompak psan makanan yang sama, bakso. Siapa yang membayar, Bu?  Bayar sendiri-sendiri dong, kan lapar dari perut masing-masing, kata bu Ahmad.

Semua tenggelam dalam tawa, hilang sudah rasa bosan yang tadi sempat terbayang menunggu lamanya nanti acara resepsi. Bapak Kepala Sekolah juga akhirnya minta dipesankan bakso, tak tahan lapar nunggu makan nanti di tempat resepsi, kata beliau.

"Pak Yoyo, minta tolong pesankan bakso buat saya, campur!" kata pak Anton, Kepala Sekolah baru di sekolah kami. Beliau sebelumnya juga seorang kelapa sekolah di sekolah lur biasa di kota Malang. Karena alasan beliau ingin dekat ibunya yang telah lanjut usia sendirian, -- setelah ayah beliau meninggal dua bulan lalu---pak Anton mengajukan pindah ke sekolah luar biasa di Malang Selatan. Akhirnya sekolah kami mendapat seorang Kepala Sekolah senior.

"Siap, pak!", jawabku singkat. Cuma bakso, ah, gampang, tidak perlu tanya pakai ini, pakai itu, tinggal tunggu lima menit, jadilah semangkuk bakso. Aku bawa dengan hati-hati, tanpa nampan, hanya darurat dialas piring besar. Sesampai di hadapah pak Anton, aku dikomentari.

"Lho, kok pesan cuma satu?" tanya pak Anton, tampak air mukanya heran, kaget saya bawa satu mangkuk bakso. Aku tersenyum saja, ah, bapak Kepsek pasti bercanda nih, beliau kan suka bercanda?

"Maaf, bukannya tadi bapak pesan ke saya semangkuk bakso?"  jawabku hati-hati.

"Ya, iya lah. Saya cuma makan bakso semangkuk saja. Tapi semua bapak-bapak ini juga sekalian dipesankan, masa tidak mau. Coba tanya, siapa saja yang tidak suka bakso?", pak Anton balik bertanya padaku. Jadi pusing, bingung aku! Ah, ini pak Anton pasti sedang bercanda.

Aku manggut-manggut, bingung tapi ya, merasa dibercandai saja. Aku penasaran pernyataan terakhir pak Kepsek itu, siapa saja yang tidak suka bakso. Ku ambil buku saku dan pulpen, berkeliling di kalangan bapak-bapak, sambil tetap tersenyum jaga kepercayaan diri, menanyai satu-per-satu, sesiapa yang tidak suka bakso.

Ternyata, pak Anton benar! Semua suka bakso. Jadi dengan setengah rasa malu di depan beliau, aku bilang akan pesan 10 mangkuk lagi bakso yang sama.

"Benar, pak. Semua suka bakso. Jadi saya pesan lagi 10 mangkuk, pak!" jawabku sambil tersenyum.  "Jangan lupa, kamu sudah dihitung termasuk yang 10 mangkuk itu, belum?" tanya beliau lagi.

"Sudah, pak" jawabku singkat. Cepat ku bergegas ke warung pojok yang kini telah ramai dengan antrian ibu-ibu yang sudah selesai makan, sedang mengembalikan mangkuk kosong.

"Bu Ahmad, ini saya diminta pak Anton, pesan lagi 10 mangkuk buat bapak-bapaknya" kataku ketika kulihat bu Ahmad, bendahara sekolah sedang membayar bakso yang telah dipesan ibu-ibu. Yang diajak bicara, tersenyum, mengangguk tanda paham.

"Ya, sudah. Nanti dihitung, pak. Kalau sudah selesai, pak Yoyo kasih tahu saya, nanti semua masuk hitungan sekolah", jelas bu Ahmad.

"Terimakasih, bu. Sepertinya bapak-bapak merasa iri melihat ibu-ibu makan bakso, lapar itu menular!" kataku sekenanya. Tak kuduga, kata-kataku mengundang tawa, sehingga bu Ahmad dan beberapa ibu yang masih di depan warung serentak tertawa. Ah, bisa saja ibu-ibu ini.

Pemilik warung lumayan sigap meracik 10 mangkuk dengan berbagai bahan dari bakso bulat, atau orang Malang menyebutnya 'penthol', siomay, tahu putih, tahu kulit, pangsit/goreng, dan mie kuning, terus atasnya ditabur bawang goreng. Baru setelahnya disiram kuah panas, hmm, aroma sedap kuah bakso...membuat perut mendadak lapar.

Dibantu anaknya, bapak warung dan aku membawa 10 mangkuk bakso panas ke tempat bapak-bapak berada. Tempat parkir kosong yang besar dengan beralas tikar pedagang bakso, disulap menjadi tempat makan bersama. Ada suasana hangat berkumpul bersama yang tak bisa dijumpai setiap waktu. Rupanya pak Anton orangnya supel, mudah mencair pembicaraannya dengan siapa saja. Penuh canda tawa dan senyum sumringah.

"Silakan, bapak-bapak. Baksonya enak, sayang kalau didiamkan dingin, ayo cepat dinikmati, pak!" kata pak Anton begitu melihat semua sudah mendapat semangkuk bakso panas. Tanpa banyak bertanya, otomatis semua melahap dengan suka cita.

Hanya butuh lima belas menit untuk mengosongkan sepuluh mangkuk bakso di hadapan bapak-bapak ini. Jadi jangan ditanya, kalau bapak-bapak di sini suka bakso, tak mau kalah dengan anaknya!

Melihat semua hidangan telah ludes, aku dibantu beberapa bapak wali murid mengumpulkan mangkuk, membawanya kembali ke warung. Kemudian aku lapor ke bu Ahmad kalau acara makan bakso telah selesai. Ia paham, tugasnya sekarang membayar semua makanan yang baru saja dihabiskan.

Pak Anton terlihat menghampiri bu Ahmad, berdiskusi sebentar, keduanya tampak manggut-manggut dan tersenyum, kemudian kembali ke tempat masing-masing. Entah apa yang dibicarakan. Malu lah, nimbrung, tanya-tanya. Aku ikuti pak kepsek ke tempat bapak-bapak dari belakang. Apa yang mau disampaikan, ya?

"Bapak-bapak, nanti kita berangkat ke rumah mas Wahyu dari sini sekitar pukul setengah dua, jadi masih ada waktu buat santai di sini. Silakan bapak-bapak mau berfoto selfi atau foto bersama, atur saja. Yang mau salat Duhur itu di belakang warung ada musala, boleh salat di situ" kata pak Anton menjelaskan rencana selanjutnya.

Semua mengerti penjelasan pak kepsek, begitu selesai, satu-per-satu bapak guru dan wali murid meninggalkan tempat parkir dan bersantai sesuka hatinya masing-masing.

Aku memilih bincang santai dengan cak Ipin, namanya Saripin, sang supir yang juga ternyata pemilik kendaraan pariwisata ini. Ia dengan santai menceritakan pengalaman hidupnya dari nol hingga kini memiliki dua armada bis pariwisata dan sekarang sedang mengembangkan usaha pembuatan mebel atau furniture.

Masyaallah, aku kagum dengan tekad gigihnya usaha beliau. Dengan santai juga, aku bagi pengalaman suka-duka perjalanan hidupku. Dari seorang anak kampung di Jawa Tengah, merantau di ibukota, terus pulang lagi ke kampung, hanya bukan kampung sendiri, tetapi tempat kelahiran istri. Ya, di sini, aku lebih nyaman membesarkan anak semata wayang yang istimewa dengan diberi kepercayaan mengajar di sekolah luar biasa ini.

Semua kagum, aku kagum dengan semangat hidup cak Ipin, sebaliknya, dia juga salut dengan lika-liku kehidupanku. Entah bapak-bapak yang lain, apa yang dibicarakan, kadang terdengar tawa bersahutan. Kadang sepi, terdengar suara 'gareng' serangga pohon dan jangkerik di hutan di bawah tempat kami berkumpul.

Udara semakin terasa adem dengan angin semilir menjelang siang ini. Terdengar sayup azan dari masjid yang sepertinya dekat dengan lokasi ini, aku berpamitan menyudahi obrolan, untuk kemudian menuju musala yang tadi disebutkan pak Anton.

Seperti dikomando, semua bapak-ibu perlahan bergerak ke belakang warung, antri mengambil air wudu dan melaksanakan salat berjemaah. Karena musalanya kecil, jadi kami antri beberapa kali untuk melaksanakan salat jemaah bergantian.

Hati ini terasa lebih tenang begitu keluar dari musala, tuntas sudah perintah Tuhan ditunaikan, sekarang tinggal urusan muamalah, urusan dengan sesama manusia. Dan acara selanjutnya, meninggalkan lokasi, menuju tempat resepsi seorang rekan guru yang hendak melepas masa lajang menuju ke kehidupan berumah tangga.

Semoga pernikahan mas Wahyu menjadi keluarga sakinah mawadah warohmah, amin!

----&&&-----

Pagak-Malang, 16-10-2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun