Mbak Titi melakukan penelitian terhadap sekelompok penghayat kepercayaan, karena perbedaan yang menimpa mereka, seperti layanan dan kebijakan. Untuk menunjukkan identitas mereka saja takut. Mbak Titi berusaha memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka. Beliau ingin agar kelompok ini sama dengan kelompok lain yang tidak takut akan identitas dan menyuarakan haknya.
Kelompok penghayat kepercayaan terpinggirkan dan menarik diri dari lingkungan, karena dianggap tidak beragama. Adanya perbedaan, membuat kelompok penghayat kepercayaan tidak menampakkan identitasnya. Mbak Titi berhasil membantu kelompok penghayat kepercayaan dalam memperoleh pendidikan penghayat kepercayaan.
Sebelum disahkan pemerintah, kelompok penghayat kepercayaan mengikuti pendidikan agama Islam, Kristen, Katolik dll. Tantangannya, tidak semua sekolah terbuka dengan pendidikan kepercayaan, karena menurut sekolah, bukan bagian dari agama, tapi bagian kebudayaan. Guru-guru tidak paham dengan perbedaan tersebut.
Dengan adanya kesalahpahaman, diadakan sosialisasi ke sekolah, agar penghayat kepercayaan ikut pendidikan kepercayaan. Pernah suatu sekolah mengatakan belum ada guru yang mendidik kepercayaan. Diakui oleh Mbak Titi bahwa bukan guru, tapi penyuluh. Jika sekolah susah membantu penghayat kepercayaan mendapat pendidikan, ada bantuan dari Direktorat untuk memberikan informasi.
Sudah ada program studi pendidikan kepercayaan di UnTag. Pemerintah Yogyakarta juga mendukung pendidikan kepercayaan. Salah satu penyuluh di Yogyakarta telah mendapat NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan mendapat insentif dari Danais (Dana Keistimewaan) yang diusahakan oleh Dinas Pendidikan DIY.
Ada penyuluh kepercayaan di sebuah SMK, Beliau akrab dengan guru, seperti arisan, ikut koperasi dan diupayakan mendapat NUPTK atau sertifikasi, bahkan menjadi PNS. Dalam satu sekolah hanya ada satu atau dua murid penghayat kepercayaan, bisa di tahun berikutnya tak ada yang mendaftar.
Salah satu penghayat kepercayaan di Kulon Progo, awalnya tertutup, tidak mau menemui kelompok pendamping, karena akan terganggu dan akan dipaksa masuk agama lain, tetapi sekarang mereka terbuka. Hari besar mereka di bulan Suro. Apabila ada pertemuan atau diskusi, penghayat kepercayaan juga diundang, tak hanya hadir, tapi dipersilakan untuk mengeluarkan pendapat.
Pernah kaum penghayat di Gunung Kidul mengadakan acara besar bulan Suro, banyak tamu datang, terutama yang bukan penghayat diajak mengikuti acara mereka. Mbak Titi berharap, kaum penghayat ini mendapat dukungan dari banyak pihak, walaupun ada pihak yang meragukan regenerasi kaum penghayat.
Semoga kaum penghayat lebih percaya diri dan lebih yakin jika mereka menunjukkan jati diri sebagai penghayat kepercayaan, layanan tetap dilanjutkan. Mbak Titi dulu cukup sulit bertemu teman-teman penghayat. Teman Beliau ditolak masuk dan mereka sangat cuek.Â
Mbak Titi punya strategi untuk mengajak penghayat lain di luar organisasi mereka. Sudah sampai lokasi tidak mendapat apa pun, hanya kenal saja tapi mereka takut jika ada maksud lain. Tak menyerah, Mbak Titi berkunjung lagi dan diterima. Mbak Titi mendapat jawaban atas beberapa pertanyaan dan diizinkan ikut aktivitas mereka.
Hingga tim Mbak Titi diikutkan lagi di tahun 2019 dalam acara Nyadran Agung, serta bersedia diajak diskusi hingga mereka percaya dengan Mbak Titi. Sampai sekarang, tim Mbak Titi dilibatkan dalam acara sarasehan dan diberikan makan hasil masak sendiri, serta hasil bumi yang ditanam mereka. Bahagia sekali, Mbak Titi sudah dianggap sebagai keluarga.