"Mengapa kami berbeda?" Kalimat yang mungkin dilontarkan manusia tidak biasa, disebut "penghayat kepercayaan". Manusia diciptakan tidak semua sama, wajar jika ada perbedaan. Kita harus menghargai perbedaan, bukan membenci. Mereka tidak salah, memiliki hak sama, termasuk memiliki Tuhan sama, walau cara kita berbeda dalam berdoa. Apa pun caranya, semua ada risikonya, tidak apa-apa, tak perlu takut, tak perlu berhenti, tetaplah berdoa sesuai cara kita masing-masing.
Tidak usah menyalahkan cara yang berbeda, tetap fokus dengan apa yang kita yakini, walau di mata orang cara kita aneh, lanjut, atau kita akan terbawa pada cara pandang orang lain yang malah membuat kita meninggalkan apa yang kita percayai. Bukan kita yang harus diperbaiki, tapi mereka, orang-orang yang membenci kita dan menganggap kita asing atau aneh lah yang patut diperbaiki.
Kita tak bisa memaksa, begitu juga mereka tak bisa memaksa kita. Yang sudah terjadi biarlah mengalir apa adanya, tidak dibuat-buat. Yang ada di pikiran mereka jangan membuat kita rendah diri atau malu atau hal negatif lain yang akan membuat kita terjerumus dalam dosa.
Kita ini sudah berdosa, jangan sampai menambah dosa, walau hanya satu, dosa tetaplah dosa. Hargai, bukan marahi! Percaya, apa yang kita lakukan demi kebaikan orang lain akan kembali kepada kita, kebaikan itu akan menular pada kita. Sebaliknya, jika kebencian atau kejahatan yang kita berikan pada orang lain, karma akan selalu ada untuk kita, hanya menunggu waktu.
Tidak ada agama yang paling benar dan baik. "Sekarang kita memahami bahwa Allah melihat hati. Hidup keagamaan dengan tata caranya, semestinya bermula dari hati yang tulus dan murni" (Iswadi Prayidno, 2018 : 31). Manusia memilih jalan hidup sendiri. "Ini hidupku sendiri dan aku berhak melakukan segalanya tanpa ada yang melarangnya" (Iswadi Prayidno, 2018 : 40).
Waktu Eyang masih hidup, saya sebagai cucu Beliau merasa aneh dengan apa yang dilakukan Beliau. Eyang yang menurut KTP menganut Muslim, tapi belum pernah sholat. Setiap ada yang mau mengajari, Beliau menghindar dan beralasan bahwa percaya dengan Tuhan, tapi tidak harus dengan sholat.
Jika bertemu dengan orang, biasanya memakai kerudung, itu pun harus diminta oleh sang menantu. Tiap kali ada pengajian, Eyang diajak, walau tak tahu harus berbuat apa. Kadang Eyang membuat bubur warna dan beberapa minuman untuk leluhur, saya juga tak tanya untuk apa dan di saat kapan. Tapi kakak Eyang juga berbuat demikian.
Mereka tak pernah cerita. Sehabis bubur disajikan, saya tak tahu apa yang mereka lakukan. Kakak dari eyangku sudah meninggal dan eyangku sudah jarang melanjutkan tradisi itu. Setelah sekian lama, tradisi itu hilang. Ibu dan saya juga tak pernah melanjutkan tradisi itu. Saat pelatihan menulis, saya mengenal sebuah isu yaitu penghayat kepercayaan.
Saya sempat bertanya, apakah Eyang putri adalah penghayat kepercayaan? Mbak Titi Alfin adalah salah satu pendamping isu penghayat kepercayaan, Beliau tertantang mengenalkan penghayat kepercayaan pada masyarakat. Pendamping bukan berarti ikut ke komunitas penghayat itu.Â
Mbak Titi tertarik menjadi pendamping karena Beliau bercerita di desa tempat tinggalnya, beberapa orang menganut kepercayaan, kemungkinan Eyang Beliau juga menganut, karena kebanyakan penganut berasal dari desa.
Mbak Titi melakukan penelitian terhadap sekelompok penghayat kepercayaan, karena perbedaan yang menimpa mereka, seperti layanan dan kebijakan. Untuk menunjukkan identitas mereka saja takut. Mbak Titi berusaha memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka. Beliau ingin agar kelompok ini sama dengan kelompok lain yang tidak takut akan identitas dan menyuarakan haknya.
Kelompok penghayat kepercayaan terpinggirkan dan menarik diri dari lingkungan, karena dianggap tidak beragama. Adanya perbedaan, membuat kelompok penghayat kepercayaan tidak menampakkan identitasnya. Mbak Titi berhasil membantu kelompok penghayat kepercayaan dalam memperoleh pendidikan penghayat kepercayaan.
Sebelum disahkan pemerintah, kelompok penghayat kepercayaan mengikuti pendidikan agama Islam, Kristen, Katolik dll. Tantangannya, tidak semua sekolah terbuka dengan pendidikan kepercayaan, karena menurut sekolah, bukan bagian dari agama, tapi bagian kebudayaan. Guru-guru tidak paham dengan perbedaan tersebut.
Dengan adanya kesalahpahaman, diadakan sosialisasi ke sekolah, agar penghayat kepercayaan ikut pendidikan kepercayaan. Pernah suatu sekolah mengatakan belum ada guru yang mendidik kepercayaan. Diakui oleh Mbak Titi bahwa bukan guru, tapi penyuluh. Jika sekolah susah membantu penghayat kepercayaan mendapat pendidikan, ada bantuan dari Direktorat untuk memberikan informasi.
Sudah ada program studi pendidikan kepercayaan di UnTag. Pemerintah Yogyakarta juga mendukung pendidikan kepercayaan. Salah satu penyuluh di Yogyakarta telah mendapat NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan mendapat insentif dari Danais (Dana Keistimewaan) yang diusahakan oleh Dinas Pendidikan DIY.
Ada penyuluh kepercayaan di sebuah SMK, Beliau akrab dengan guru, seperti arisan, ikut koperasi dan diupayakan mendapat NUPTK atau sertifikasi, bahkan menjadi PNS. Dalam satu sekolah hanya ada satu atau dua murid penghayat kepercayaan, bisa di tahun berikutnya tak ada yang mendaftar.
Salah satu penghayat kepercayaan di Kulon Progo, awalnya tertutup, tidak mau menemui kelompok pendamping, karena akan terganggu dan akan dipaksa masuk agama lain, tetapi sekarang mereka terbuka. Hari besar mereka di bulan Suro. Apabila ada pertemuan atau diskusi, penghayat kepercayaan juga diundang, tak hanya hadir, tapi dipersilakan untuk mengeluarkan pendapat.
Pernah kaum penghayat di Gunung Kidul mengadakan acara besar bulan Suro, banyak tamu datang, terutama yang bukan penghayat diajak mengikuti acara mereka. Mbak Titi berharap, kaum penghayat ini mendapat dukungan dari banyak pihak, walaupun ada pihak yang meragukan regenerasi kaum penghayat.
Semoga kaum penghayat lebih percaya diri dan lebih yakin jika mereka menunjukkan jati diri sebagai penghayat kepercayaan, layanan tetap dilanjutkan. Mbak Titi dulu cukup sulit bertemu teman-teman penghayat. Teman Beliau ditolak masuk dan mereka sangat cuek.Â
Mbak Titi punya strategi untuk mengajak penghayat lain di luar organisasi mereka. Sudah sampai lokasi tidak mendapat apa pun, hanya kenal saja tapi mereka takut jika ada maksud lain. Tak menyerah, Mbak Titi berkunjung lagi dan diterima. Mbak Titi mendapat jawaban atas beberapa pertanyaan dan diizinkan ikut aktivitas mereka.
Hingga tim Mbak Titi diikutkan lagi di tahun 2019 dalam acara Nyadran Agung, serta bersedia diajak diskusi hingga mereka percaya dengan Mbak Titi. Sampai sekarang, tim Mbak Titi dilibatkan dalam acara sarasehan dan diberikan makan hasil masak sendiri, serta hasil bumi yang ditanam mereka. Bahagia sekali, Mbak Titi sudah dianggap sebagai keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H