Aku terbangun dari lamunku. "Maaf, tadi bicara apa? Aku sepertinya melamun tadi," kataku pada mereka. "Bukan sepertinya, tapi udah pasti melamun," sahut Anna sambil tertawa. Aku melirik Anna kesal, dari tadi menyahut kalimatku, tapi aku tahu Anna bercanda, meski aku baru kenal. "Tolong sampaikan Bagas! Aku minta maaf, dan aku sudah memaafkannya," perintahnya padaku kedua kalinya. Aku mengangguk tanda setuju.
"Mas, Anna minta tolong menyampaikan pesan padamu. Ia minta maaf dan memaafkan kesalahan Mas Bagas, Anna akan tenang jika Mas mengiyakan," kataku pada Mas Bagas. "Iya, aku maafkan, terima kasih sudah memaafkanku," kata Mas Bagas. "Terima kasih Clara, semoga kalian berjodoh, aku pamit ya, sepatu itu untukmu. Bagas pria yang baik," kata Anna melambaikan tangan sambil tersenyum padaku.
Anna menyentuh pipi Mas Bagas dan melirikku. "Aduh, Anna, aku kaget," kata Mas Bagas sambil memegang pipinya. Anna melambaikan tangan padaku dan Mas Bagas, tapi Mas Bagas tak mungkin melihatnya. "Mas, itu Anna melambaikan tangan dan pergi," kataku sambil berlari ke Mas Bagas. Beliau melambaikan tangan juga tapi salah arah, lalu aku memegang tangannya untuk membantu mengarahkan ke arah yang tepat. Â Â Â Â
Setelah Anna pergi, Mas Bagas melihatku dan tangan kami yang sedang saling sentuh. Aku malu lalu melepaskan tangan itu, tapi Mas Bagas melarang melepaskan tanganku. Ia semakin menatapku, semakin dekat. Entah kenapa malah aku semakin mundur. Aku menelan ludah. Aku ingin menghindar, tapi kenapa tidak bisa, malah aku menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba pintu ada yang mengetuk dan memecah suasana itu, "Permisi Mas, maaf mengganggu." Kami saling melepas tangan, lalu Mas Bagas keluar menemui karyawannya, "Tidak apa, ada perlu apa Sugi?" Mereka keluar ruangan, aku tidak tahu apa yang dibahas, aku hanya melihat dari balik pintu, Mas Bagas bertemu seorang wanita, sendirian. Apa itu kekasihnya? Aku takut kalau mereka pasangan kekasih. Apa aku cemburu? Atau hanya iri?
Duh, aku berjalan tanpa tujuan, hanya berputar di ruangan itu, sunyi, menunggu Mas Bagas bertemu dengan wanita itu, wanita cantik tepatnya, pantas sekali mereka jika memang pasangan, aku jadi merasa tidak pantas dengan Mas Bagas. Tiba-tiba Mas Bagas membuka pintu dan menemuiku, "Maaf lama Clara, ada tamu tak diundang, menganggu kita saja." "Tidak, aku malah yang mengganggu kalian Mas," jawabku dengan perasaan tidak enak.
"Kamu kenapa Clara? Kok menunduk gitu? Terlihat sedih juga. Cerita saja!" pinta Mas Bagas saat melihat muka sedihku. Terlihat ternyata. "Itu tadi pacar Mas Bagas ya? Cantik," tanyaku sambil tak kuasa melihat wajahnya. Beliau tersenyum sambil mengajakku duduk, "Kenapa? Cemburu?" Aku memalingkan muka, karena malu dan tak bisa menjawab. Aku takut mendengar jawabnya.
"Clara, kamu kenapa? Seperti ketakutan gitu? Aku bukan hantu. Sama hantu Anna kamu nggak takut, kok sama aku takut? Aku manusia Clara, hadap sini!" Aku semakin takut dan masih terdiam, belum bersedia menatapnya. Tiba-tiba Mas Bagas menyentuh pipiku, membuat wajah kami saling pandang. Perasaanku semakin tak karuan. Ia menatapku tajam. Aku menelan ludah. Aku nggak bisa mengeluarkan kata-kata. Aku terpesona pada matanya. Aku terhanyut dalam keindahan matanya, sungguh menyejukkan jiwa.
"Clara, Kau mendengarku?" tanya Mas Bagas sambil melambaikan tangannya. "Iya Mas, aku dengar, maaf aku sedang tidak fokus," jawabku malu. "Ada apa? Wanita itu sepupuku, Namanya Tania. Ia ingin memberikan undangan pernikahan padaku, tapi calon suaminya tidak bisa menemani, jadinya sendirian. Ada masalah?" tambahnya. "Oh, sepupu Mas? Mau nikah? Ehm, tidak ada masalah kok," jawabku sambil tersenyum lebar.
"Lho, sekarang bisa tersenyum gitu, sedihnya langsung hilang, ada apa?" tanya Mas Bagas. Aku tetap tak bisa berkata sejenak, bingung mau menjawab apa, menjawab bahagia, bukan kesedihan lagi. "Mas, aku kagum padamu. Boleh nggak Mas, aku jujur? Aku ingin dekat denganmu. Bisa?" tanyaku dengan penuh harap. Mas Bagas tersenyum, "Pantas bahagia sekali sekarang. Jadi ini jawabannya? Kita bertemu karena Anna. Kalau kita bersatu, bukan karena Anna, tapi karena takdir, yaitu Tuhan. Anna hanya perantara, kita perlu berterima kasih padanya, tapi yang utama, kita harus berterima kasih pada Sang Pencipta, Tuhan kita," begitu penjelasan Mas Bagas.
"Jadi? Kita sekarang gimana? Eh, maksudku, jadi apa? Eh, jadian? Aduh," kataku yang terlontar saat salah tingkah. "Tuh kan malah salah tingkah. Jadi kita maunya gimana? Gini aja? Atau lebih? Kalau aku ya lebih. Kamu gimana?" tanyanya sambil menatapku tak berkedip. Aku mengangguk tanda setuju, "Iya. Setuju. Kita lebih dekat dan harapannya berjodoh kan ya? Aku ingin berkelana menggunakan sepatu ini bersamamu, mulai hari ini hingga seumur hidupku Mas." "Aku pun begitu Clara, mulai hari ini, aku ingin berkelana ke hatimu dan keliling dunia bersamamu," pinta Mas Bagas padaku. Akhirnya luka itu sedikit demi sedikit hilang, dan aku sudah menggapai bahagia, bersama Mas Bagas.