Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lilitan Penghapus Anganku

13 November 2024   08:29 Diperbarui: 13 November 2024   08:57 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ular sedang melilit (sumber gambar : dwarffortresswiki.org)

Aku berusaha mendapat apa yang aku cari. Apakah itu? Sebuah janji, ya, janji apakah itu? Ikutlah aku! Aku dan kekasihku berniat untuk menikah tahun depan, tapi kami ada kendala, Kakek kekasihku tak setuju dengan hubungan kami, karena aku adalah seorang yang kurang mampu dan Kakek curiga aku hanya cinta harta calon suamiku. Tidak, tidak sama sekali. Bukan itu tujuanku.

Aku memang memilihnya karena rasa sayangku padanya, seorang dokter kandungan muda yang kukenal sejak SMA. Ia sangat pekerja keras untuk mendapat gelarnya itu, makanya aku kagum padanya dan akhirnya rasa itu ada. 

Dulu, aku rela tak kencan dengannya saat Ia memilih kerja kelompok atau apapun yang berhubungan dengan cita-citanya. Begitu juga dengan kekasihku, Roman, yang sangat menyayangiku. Ia juga tergila-gila padaku karena satu hal, mimpiku menjadi seorang polisi, namun gagal saat tes.

Akhirnya aku hanya menjadi pelukis yang tidak bisa menggantungkan harapanku pada karyaku. Apakah karyaku jelek? Kata kekasihku tidak, tapi aku tak tahu apakah itu jujur atau karena tak enak jika menyakitiku, jikalau karyaku memang jelek. Ah, aku harus tanyakan lagi. Apakah aku tak percaya? Mungkin, karena aku masih penasaran. Atau aku pergi ke orang pintar saja dengan cara tak halal ya?

Siapa tahu berhasil, seperti para pedagang makanan yang tiap hari laris walaupun rasanya sangat tidak enak, bahkan ada yang harganya juga mahal, tapi pembeli rela mengantri lho. Aku masih berpikir. 

Hari berikutnya aku masih berpikir, tapi berpikir sendiri, bukan bersama kekasih atau minta pendapat yang lain. Akhirnya aku menemukan jawabannya, sesuai isi hatiku dan kekasihku tak pernah tahu, semoga tak tahu.

Jangan, tidak boleh tahu. Aku malu dan takut karena berbuat seperti itu. Aku ke orang pintar di sebuah tempat, di daerah terpencil, di daerah pegunungan. Suasana sunyi, aku sendiri. 

Aku melewati hutan dan jalanan sepi. Sebenarnya aku takut, tapi aku harus berani demi apa yang aku inginkan. Akhirnya, aku sampai di rumah dukun yang katanya sakti. Aku sampai pintu, kulihat seekor ular melata di sampingku.

Ular betulan? Atau jadi-jadian? Ia menatapku. Aku sungguh takut sambil mundur perlahan. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku mengintip dari luar, tak ada orang yang membuka. Aku maju sambil melihat ular itu. "Masuk saja! Jangan takut! Ular itu tak akan membunuhmu," kata seseorang di dalam rumah itu. Aku mencubit pipiku sambil melihat sekeliling, sakit, tandanya aku tak mimpi.

Aku masuk, tak ada siapapun. Tiba-tiba seorang Kakek memegang bahuku dari  belakang. Aku kaget menatap Kakek dan ular yang ada di bawahnya. "Kau yakin mau minta bantuanku?" tanya Kakek padaku. Aku diam sambil mencari ular yang tiba-tiba hilang. Kakek terjatuh di depanku dan ular itu ternyata menggigit sang Kakek.

Aku tak tahu, apakah Kakek masih hidup atau tidak. Ular itu berubah menjadi seorang laki-laki yang sangat tampan dengan mahkota di kepalanya. Raja siluman ular? Ia tersenyum padaku. Aku menjadi tidak takut sekarang. 

Aku keluar dan berdiri di depan siluman itu. "Jangan takut! Aku memang raja siluman ular seperti yang Kaupikirkan. Pulanglah! Aku tidak mau Kaumeminta bantuan pada dukun itu!

Kalau mau minta sesuatu, mintalah pada Tuhan! Aku menyamar jadi ular biasa, karena aku tahu, Kau akan ke sini. Kekasihmu sangat mencintaimu, Ia akan menerimamu apa adanya. Kau juga mencintainya bukan karena harta. Aku tahu. Semoga kalian bahagia. Aku akan melindungimu sampai pulang," jelasnya.

 "Mengapa Kaulindungi aku? Aku hanya manusia biasa," tanyaku. Ia tersenyum. "Kau pernah menolongku. Satu bulan lalu Kau dan kekasihmu ada di puncak. Aku dalam wujud ular berada di pohon tempat kalian mengadakan acara. 

Salah seorang pengunjung mengambilku dan ingin membunuhku, padahal aku hanya di pohon, tak pernah berniat membunuh manusia. Kaumelarang pengunjung untuk melepasku. Ingat?" tanyanya padaku.  

Aku mengangguk. "Terima kasih," kataku. "Aku juga terima kasih padamu. Pejamkan mata! Kuantar Kau pulang," perintahnya. Aku ragu awalnya, tapi aku percaya padanya. Aku pejamkan mata. Tak sampai satu menit, aku kembali ke rumahku. Siluman itu menghilang. Kekasihku berada di teras rumahku.

"Maaf Mas, aku membuatmu menunggu. Tak ada sinyal. Maaf ya aku lama," kataku dengan permintaan maaf. Ia mengangguk. Raut mukanya sedih. "Ada apa Mas? Kok sedih?" tanyaku. Ia memelukku sambil menangis, "Sayang, aku... aku... dipecat dari pekerjaan, kukena fitnah, dituduh sebagai pembunuh karena kelalaianku saat bertugas. Aku masuk daftar hitam dan tak bisa kerja di bagian yang berhubungan dengan kesehatan. Padahal aku tak salah, tega sekali orang yang melakukan fitnah.

Apa salahku?" Aku terkejut dan diam. Apakah aku tetap menikah dengannya di saat kondisi sedang seperti ini? Aku pun juga belum mendapat pekerjaan yang layak. Lalu gimana dengan kehidupan selanjutnya? Apakah aku harus meminta tolong pada siluman itu? Oh tidak, Ia pernah berkata aku harus meminta tolong pada Tuhan.

Aku masih berpikir. Kekasihku menepuk bahuku, "Sayang, ada apa? Kok melamun? Apa yang sedang Kaupikirkan?" Aku menggeleng. Apakah aku harus cerita pertemuanku dengan siluman itu? Aku takut. 

Tidak semua orang bisa percaya dengan hal ini. Tidak, jangan, kataku dalam hati. Aku ingat kalimat yang diucapkan siluman itu, harus meminta pada Tuhan dan aku anggap tak bertemu dengan siluman itu.

"Mas, aku tak apa-apa, hanya sedih saja, mengapa ada yang jahat sama Mas? Semoga Ia mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatannya ya Mas." Aku meneteskan air mata dan memeluk kekasihku. 

Saat aku memeluknya, ada yang aneh pada dirinya, mengapa tubuhnya berbeda, ada sisik padanya. Lalu aku melihatnya. Tidak tidak. Ia bukan kekasihku, Ia manusia ular.

Aku hendak masuk rumah, tapi rumah yang aku tempati berubah menjadi sebuah rumah tua dan sekelilingku berubah menjadi hutan. Ada apa ini? Manusia ular itu menatapku tajam. Ia menjulurkan lidah ularnya. 

Aku takut lalu aku lari ke arah berlawanan. Tapi ekornya melilit tubuhku. Aku tak bisa pergi, rasanya sesak sekali dan sulit untuk bernapas. Apakah Ia akan membunuhku? Apa salahku? Siapa Ia? Aku tak sadarkan diri. Apa yang terjadi? Aku dibawa ke mana? Aku terbangun dan bingung.

Tempat ini berubah. Aku melihat sekeliling, ular itu tak ada. Semilir angin tiba-tiba menghampiri. Dingin ini tiba-tiba menjadi hangat lalu panas. Panas yang akan membakar tubuh ini. Mengapa jadi begini? Ulah siapa ini? "Aku, ulahku. Selamat datang di masa lalu. Masa di mana Kau belum bertemu kekasihmu, agar Kau jadi milikku," kata seorang pria padaku.

Pria itu manusia, tapi lama-kelamaan menjadi manusia setengah ular. Ia mendekat, ingin melilitku lagi. Aku lari dan raja siluman ular menangkapku. "Jangan Kau sakiti Dia! Pergi! Dia milikku!" katanya pada manusia setengah ular. Aku semakin takut dan menunduk. Manusia setengah ular itu pergi. Aku masih menunduk. Raja siluman ular memegang bahuku dan menenangkan aku, "Tenang! Ada aku. Akan kukembalikan Kau ke rumah, ke masa seharusnya.

Ia tak kan berani macam-macam. Aku akan selalu melindungimu." Aku telah ditolongnya dan kali ini aku percaya padanya. Tiba-tiba ular sebelumnya datang lalu menyerang siluman ular yang menolongku. Aku melihat mereka bertarung. Lalu aku masuk dan tak sengaja memencet sebuah tombol dan dinding di belakangku terbuka. Aku masuk tempat di balik di dinding itu. Ada cahaya yang sangat redup di ruangan itu. Aku masuk lebih dalam.

Aku tiba di rumahku, ternyata dinding itu seperti pintu mesin waktu. Akhirnya kukembali. Aku tak percaya, lalu kucubit lagi pipiku dan sakit. Aku kembali ke masaku, ke rumahku. Aku bebas. Oh tidak, ular itu di depanku, entah dari mana. Aku lari, tapi terlambat, ekornya melilitku kencang hingga aku tak mampu lagi bernapas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun