Aku berusaha mendapat apa yang aku cari. Apakah itu? Sebuah janji, ya, janji apakah itu? Ikutlah aku! Aku dan kekasihku berniat untuk menikah tahun depan, tapi kami ada kendala, Kakek kekasihku tak setuju dengan hubungan kami, karena aku adalah seorang yang kurang mampu dan Kakek curiga aku hanya cinta harta calon suamiku. Tidak, tidak sama sekali. Bukan itu tujuanku.
Aku memang memilihnya karena rasa sayangku padanya, seorang dokter kandungan muda yang kukenal sejak SMA. Ia sangat pekerja keras untuk mendapat gelarnya itu, makanya aku kagum padanya dan akhirnya rasa itu ada.Â
Dulu, aku rela tak kencan dengannya saat Ia memilih kerja kelompok atau apapun yang berhubungan dengan cita-citanya. Begitu juga dengan kekasihku, Roman, yang sangat menyayangiku. Ia juga tergila-gila padaku karena satu hal, mimpiku menjadi seorang polisi, namun gagal saat tes.
Akhirnya aku hanya menjadi pelukis yang tidak bisa menggantungkan harapanku pada karyaku. Apakah karyaku jelek? Kata kekasihku tidak, tapi aku tak tahu apakah itu jujur atau karena tak enak jika menyakitiku, jikalau karyaku memang jelek. Ah, aku harus tanyakan lagi. Apakah aku tak percaya? Mungkin, karena aku masih penasaran. Atau aku pergi ke orang pintar saja dengan cara tak halal ya?
Siapa tahu berhasil, seperti para pedagang makanan yang tiap hari laris walaupun rasanya sangat tidak enak, bahkan ada yang harganya juga mahal, tapi pembeli rela mengantri lho. Aku masih berpikir.Â
Hari berikutnya aku masih berpikir, tapi berpikir sendiri, bukan bersama kekasih atau minta pendapat yang lain. Akhirnya aku menemukan jawabannya, sesuai isi hatiku dan kekasihku tak pernah tahu, semoga tak tahu.
Jangan, tidak boleh tahu. Aku malu dan takut karena berbuat seperti itu. Aku ke orang pintar di sebuah tempat, di daerah terpencil, di daerah pegunungan. Suasana sunyi, aku sendiri.Â
Aku melewati hutan dan jalanan sepi. Sebenarnya aku takut, tapi aku harus berani demi apa yang aku inginkan. Akhirnya, aku sampai di rumah dukun yang katanya sakti. Aku sampai pintu, kulihat seekor ular melata di sampingku.
Ular betulan? Atau jadi-jadian? Ia menatapku. Aku sungguh takut sambil mundur perlahan. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku mengintip dari luar, tak ada orang yang membuka. Aku maju sambil melihat ular itu. "Masuk saja! Jangan takut! Ular itu tak akan membunuhmu," kata seseorang di dalam rumah itu. Aku mencubit pipiku sambil melihat sekeliling, sakit, tandanya aku tak mimpi.
Aku masuk, tak ada siapapun. Tiba-tiba seorang Kakek memegang bahuku dari  belakang. Aku kaget menatap Kakek dan ular yang ada di bawahnya. "Kau yakin mau minta bantuanku?" tanya Kakek padaku. Aku diam sambil mencari ular yang tiba-tiba hilang. Kakek terjatuh di depanku dan ular itu ternyata menggigit sang Kakek.