Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menanti Kebebasan di Lemari

27 Agustus 2024   16:54 Diperbarui: 27 Agustus 2024   17:00 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah seorang wanita aneh, banyak teman yang menjauhiku, aku tak tahu kenapa. Begitu teman-teman memperlakukanku, aku juga belum tanya mengapa. Aku Shifa, karyawan sebuah bank ternama di Surabaya. Aku asli Surakarta, dan tinggal di kos, sekitar dua kilometer dari tempat kerjaku dan aku bekerja sekitar tiga bulan.

Aku sudah punya teman dekat, walau baru satu orang, tapi Beliau baik hati. Beliau seorang laki-laki, tapi teman lain cuek padanya, tak ada yang mendekat. Makanya sampai sekarang kalau main sama aku. Aku penasaran. Aku tanya ke security yang sudah bertugas selama lima tahun, "Mas, mengapa teman-teman menjauhi Rafael?" 

"Maaf Mbak, Rafael siapa ya? Memang ada nama itu di sini?" jawabnya dengan pertanyaan. Gimana sih security ini. "Mas ini gimana? Rafael kan hanya satu. Itu yang sering ngobrol bareng sama saya. Kadang makan siang bareng di cafe sebelah. Masa nggak tahu? Rafael kan kerja di sini udah sepuluh tahunan," tambahku. Security tak menjawab, malah melarikan diri, "Maaf Mbak, saya permisi dulu." Kayak lihat hantu aja.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku berbalik. "Ya ampun Rafael, bikin kaget saja. Aku kira hantu." Dia tertawa. "Kamu ini ngapain? Ayo pulang! Udah hampir malam." Aku mengangguk. Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Aku diam di tempat, tak bergerak, apakah ada hantu di sini? Tempat ini angker?

"Ayo! Kenapa?" ajak Rafael. "A... aku takut. Apakah tempat ini angker? Apakah ada hantu? Security lari seperti dikejar hantu saat aku tanya. Lalu, bulu kudukku berdiri. Rafael, ada cerita apa? Aku penasaran," jelasku. Rafael menatapku dan memandang sekeliling. Pos satpam sepi. Tak ada siapapun kecuali kami berdua.

"Ikut aku! Kau akan tahu. Aku menelan ludah. Aku mengikutinya, masuk sebuah ruangan di belakang gedung. Ruangan apa itu? Aku takut, malam akan datang, hanya kami berdua. Ruangan itu masih bagus dari luar, tapi dalamnya aku tak tahu. Kosong atau ada orang? Aku terdiam, di belakang Rafael. Ada apa di dalam rumah itu?

"Buka pintu itu! Kau akan tahu isinya. Jangan ragu dan jangan takut! Aku di sampingmu," pinta Rafael. Aku berjalan perlahan, siap-siap melihat isi rumah itu. Jantungku berdegup kencang. Aku membuka pintu sambil melirik Rafael. Tak ada siapa pun, hanya sebuah lemari. Aku menatap Rafael. "Buka lemari itu! Aman, aku tetap menjagamu. Percaya padaku!" perintah Rafael.

Aku membuka lemari itu, perlahan. Aku jatuh ke sebuah lubang dalam lemari itu. Aku takut. Rafael menggenggam tanganku erat. Aku menutup mata, tak ada cahaya, sungguh gelap. Aku tak tahu lubang ini menuju ke mana. Tak sampai satu menit, aku dan Rafael sudah sampai di dasar. Gelap sekali.

"Di sudut ruang itu ada lampu rahasia, hidupkan saja tombolnya!" pinta Rafael. Aku masih bingung, ada apa di sini? Aku hidupkan tombol dan lampu menyala. Aku ingin menjerit tapi tak bisa. Ada tulang manusia di ruang ini. Siapa dia? Aku menatapnya. Pakaian yang ada di tulang itu persis dengan pakaian Rafael. Aku perhatikan Rafael. Iya, sama.

"Raf, pakaian kalian sama? Aku tak mengerti. Siapa Kamu?" tanyaku sambil ketakutan. Jawab Rafael, "Aku Rafael, pria yang sama dengan tulang di ruang ini. Aku mau minta tolong padamu, karena hanya Kamu yang bisa melihatku di tempat kerja kita. Aku bukanlah manusia lagi." Aku semakin takut, lalu mundur. Aku tidak tahu bahwa aku bisa melihat hantu.

"Jangan takut! Aku ingin Kau membantu. Itu saja," pinta Rafael sambil mendekat. "Aku tak pernah tahu kalau aku indigo. Aku nggak mau melihat hantu. Aku takut," kataku. "Tapi sejak kapan? Aku tak sadar atau memang barusan banget aku bisa lihat?" tanyaku. "Kau tidak pernah sadar, karena Kau mendapatkannya sudah dewasa. Kau ingat seminggu sebelum kita bertemu?

Seminggu sebelum Kamu kerja di bank itu. Kau bertemu Ryan kan? Beliau sepupuku yang bisa membuka mata batin seseorang. Beliau yang membuka mata batinmu, karena aku meminta tolong padanya. Saat Kau pingsan karena tak sengaja ditabrak Ryan di jalan, saat itu mata batinmu dibuka. Aku minta maaf tidak jujur, dan maafkan Ryan karena tak izin padamu.

Nanti kalian akan bertemu untuk membantu kita. Aku menanti kebebasan di lemari. Aku memilihmu karena hanya Kau yang bisa Shifa, ada tanda lahir di lehermu yang memberimu kekuatan luar biasa jika ada yang mau mengusik hidupmu dengan ilmu gaib. Nanti Ryan akan mengajarkan padamu. Kau pasti tak tahu arti dari tanda itu kan?" jelas Rafael.

Aku mengangguk. "Kamu meninggal karena apa? Mengapa di sini Raf?" tanyaku. "Kekasihku tak percaya padaku Shif. Ia melihatku membawa cincin, cincin untuknya, tapi Ia mengira untuk perempuan lain. Aku ingin melamarnya. Lalu Ia marah dan menyuruh orang untuk membunuhku, lalu menjatuhkanku ke lubang rahasia ini agar tak ada yang tahu. Hanya aku dan Ia yang tahu lubang ini.

Lubang rahasia yang pernah aku temukan. Ia menyuruh orang sakti untuk mengurungku, agar rohku tak bisa ke atas. Hanya Kau yang bisa, dengan bantuan Ryan untuk melepasku. Tunggu ya!" jelas Rafael. Aku melihat tulang Rafael dengan lebih dekat. Aku melihat sebuah cincin terpasang di jarinya. Aku mengambilnya, cincin itu cantik sekali, cincin seorang perempuan. "Itu cincin untuk kekasihku," katanya sambil menatapku lebih dekat. Aku melihat tulisan di cincin itu.

" Eva"

"Nama kekasihmu Eva?" tanyaku padanya. Rafael menggeleng, "Bukan, itu nama kecilnya, Ia hilang hingatan dan aku mencoba mengingatkannya. Tapi Ia salah paham. Semenjak Ia hilang ingatan, Ia berubah, menjadi sedikit galak dari sebelumnya. Security yang tadi lari tahu kalau aku adalah hantu, makanya Ia lari. Gedung ini dulu bukan bank Shif, tapi rumahku. Makanya aku tahu lubang rahasia itu, tempat persembunyian yang dibuat Ayahku.

Setelah tahu aku meninggal, rumah ini dijual lalu direnovasi jadi bank. Tak ada yang tahu masa lalunya, kecuali security itu, security yang selalu setia menjaga rumahku hingga saat ini. Ia melihat pembunuhan itu, tapi sudah berjanji tak akan bilang siapapun karena takut dibunuh. Akhirnya Beliau selamat sampai hari ini karena janji itu. Beliau setia, apalagi dengan janjinya. Tak pernah lapor siapapun, termasuk Ryan."

Aku mengangguk, tiba-tiba seseorang terjatuh di lubang ini. "Itu Ryan," kata Rafael. "Shifa, maafkan aku tak bilang padamu waktu itu. Sekarang Kamu tahu. Tolong Rafael, bebaskan Ia! Pakai cincin itu dan berdoalah dengan doa di kertas itu, perlahan, dengan suara lembut saja! Hanya Kau yang bisa.

Tanda di lehermu adalah kekuatanmu, dengan doa itu. Aku juga akan bantu dengan doa. Lakukan segera Shifa! Semoga orang sakti itu kalah dan Rafael bebas, merdeka. Tak akan terkurung lagi. Tak ada yang bisa mengalahkan orang sakti itu, kecuali doa ini dan Kamu. Tak ada yang lebih sakti dari kekuatan doa dan Tuhan. Tak ada yang tak mungkin. Ambil nafasmu sebelum berdoa!" perintah Ryan.

Aku mengangguk. Aku pakai cincin itu dan mengambil nafas lalu berdoa sesuai doa di kertas itu.  Aku melihat tubuh Rafael bergetar seperti kesakitan, tapi aku tetap berdoa, terus dan terus berdoa. Aku mendengar Rafael merintih kesakitan dan mengatakan padaku, "Berikan cincin itu ke Eva, kekasihku! Ceritakan semua! Semoga Ia sembuh dari sakitnya, semoga Ia ingat aku.

Sampaikan bahwa aku menyayanginya! Maafkan aku Shifa dan Ryan. Terima kasih telah membantuku." Tubuh Rafael tak lagi gemetar, sudah seperti semula. Aku mengangguk padanya, "Iya, aku maafkan. Terima kasih juga telah menjadi teman dekatku selama ini. Semoga tenang di alam sana ya Raf. Aku akan selalu mendoakanmu." Rafael melambaikan tangan padaku dan Ryan.

"Ryan, tolong jaga Shifa!" pinta Rafael. "Siap 86. Merdeka Bung," jawab Ryan. Aku tersenyum. Akhirnya kemerdekaan bertemu dengan Rafael, berkat Ryan juga. "Terima kasih Ryan. Aku senang bisa terlibat dalam kasus ini dan bisa membantu kalian. Kita kabari orang lain untuk menguburkan Rafael dan temani aku bertemu Eva ya!" pintaku.

Setelah Rafael dimakamkan, aku dan Ryan bertemu Eva. Kami cerita soal cincin itu dan Rafael. Eva menangis dan menyesal, lalu Ia menyerahkan diri ke polisi dan pembunuh Rafael juga berhasil ditangkap polisi. Selama di penjara, Eva berusaha mengingat masa lalunya dan setahun kemudian ingatannya kembali, namun pahitnya, Eva bunuh diri di penjara untuk menyusul Rafael. Manusia bisa mati, tapi cinta sejati tak pernah mati. Rela berkorban nyawa untuk mengikuti orang yang dicintai. 

Penulis sedang membaca buku karangan penulis idola (sumber gambar : dokpri)
Penulis sedang membaca buku karangan penulis idola (sumber gambar : dokpri)

Yovita Nurdiana. Seseorang yang berdomisili di Yogyakarta dan memiliki nama pena Akhaya Noory yang berharap menjadi cahaya seperti nama asli dan nama pena nya. Pencinta warna hijau yang selalu ingin menyejukkan para pembaca. Memiliki hobi membaca sambil mendengar lagu kesukaan, tapi juga ingin tulisannya dikenang oleh orang-orang yang haus akan kata-kata yang menenangkan. Penulis bisa dihubungi melalui yovita.nurdiana@gmail.com atau ig @yovie_angel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun