Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Penta Perkara Terlintas di Kepala

21 Juli 2024   23:07 Diperbarui: 21 Juli 2024   23:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hantu tanpa kepala (sumber gambar: youtube.com/@digitalfilmmedia9)

Tidak selamanya kita bersama orang yang kita cintai. Kalimat itu selalu terngiang di kepalaku, kalimat yang selalu dilontarkan kakak padaku sewaktu Beliau masih hidup di dunia. Tapi sampai saat ini, Beliau enggan meninggalkan dunia manusia, masih berkeliaran di dunia manusia karena sebuah dendam. Aku memiliki indera keenam, sehingga aku bisa melihat Kak Bima, bahkan komunikasi dengannya. Kakak belum puas jika belum membalas dendam. Dendam apa? Sebuah pembunuhan yang mengakibatkan Kak Bima bunuh diri.

Berawal dari kehilangan sang istri untuk selamanya, karena dibunuh dengan cara yang biadab. Dipenggal kepalanya oleh seorang laki-laki yang menaruh dendam pada istri Kak Bima.
Suatu malam, Kak Santi, istri Kak Bima tak sengaja bertemu Nugi, seorang pemabuk yang tak lain dan tak bukan adalah adik kandung dari Sora, teman Kak Santi yang meninggal karena unsur tak sengaja. Kepala harus diganti kepala. Masalah apa?

Perkara pertama

Perkara ini terlintas di kepala. Saat berada di sebuah proyek, Kak Santi tak sengaja menjatuhkan beban, yaitu sebuah balok dari semen yang waktu itu diangkat dengan alat berat untuk dipindahkan. Tapi saat alat belum sampai sasaran, Kak Santi menekan tombol lepas. Sungguh tak sengaja, karena Beliau ditabrak seorang pria yang lari karena mengejar tamu yang hendak masuk area berbahaya. Naas, Sora berada tepat di bawah balok yang terjatuh itu, dan balok itu mengenai kepala Sora hingga tewas. Kepalanya sudah tak berbentuk, hancur berantakan. Tubuhnya pun juga tak karuan, darah berceceran di mana-mana. Kak Santi pingsan di tempat kejadian. Begitulah kira-kira ceritanya.

Sebuah kelalaian bekerjakah? Para karyawan berbeda-beda. Ada yang meminta untuk diproses secara hukum, ada yang tidak, karena itu kecelakaan kerja. Semua masih berkabung, belum ada keputusan dari pihak perusahaan. Menunggu beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi, baru akan ada pertemuan untuk membahas masalah itu. Seminggu bukanlah waktu yang lama. Tapi orang yang membela korban sudah mendesak agar segera diputuskan. Hingga kejadian mengerikan menimpa kakak iparku, Kak Santi.

Perkara kedua

Baca juga: Suara Siapa?

Perkara ini terlintas di kepala. Malam hari saat berangkat jaga malam sendiri, karena sepeda motor Kak Bima mogok, membuat Kak Santi terpaksa naik taksi. Entah mogok disengaja atau tidak, aku nggak tau. Tapi Kak Bima merasa sebuah kesengajaan, mengingat ada yang aneh dengan sepeda motornya, tak berjalan semestinya. Tepat saat mereka lewat di jalan sepi, dekat dengan makam, tiba-tiba taksi lewat. Padahal biasanya satu taksi pun tak sudi lewat daerah angker tersebut.


"Aku merasa aneh, kok tiba-tiba ada taksi lewat ya? Selama ini nggak pernah ada. Perasaanku nggak enak," cerita Kak Bima padaku satu hari sebelum bunuh diri. Tapi Kak Santi keras kepala, karena takut terlambat masuk kerja, naik taksi itu dengan lambaian tangan, terakhir kalinya sebelum hidup selesai. Kami tak tahu bagaimana cara Kak Santi dipenggal kepalanya. Tapi Sona, kekasihku yang bisa melihat masa lalu, cerita pada kami, "Tiba-tiba taksi yang dinaiki Kak Santi berhenti, masih di jalan yang sepi. Kak Santi bertanya kenapa tiba-tiba berhenti. Sopir taksi turun lalu memaksa Kak Santi keluar dari taksi itu secara kasar. Mendorong Kak Santi hingga tersungkur di tanah dan pria tak dikenal itu mengambil sebuah golok dari bagasi mobil. Dan... Diayunkan golok perkasa itu ke arah Kak Santi dan kepalanya lepas lalu terlempar beberapa meter dari mayat itu berada. Sopir itu melarikan diri. Awalnya, tak ada yang tahu siapa sang sopir itu. Ternyata, si pembawa golok adalah Nugi, adik kandung Sora yang membalaskan dendam atas kematian kakaknya."

Begitu mendengar cerita Sona, kakakku menangis meratapi kepergian istri tercinta sambil lari lalu menuju halaman dan mengambil sepeda motornya, kami pun mengikuti ke mana arah perginya. Aku sangat khawatir.

Perkara ketiga

Kami terlambat, karena tadi sempat kehilangan arah karena Kak Bima sangat cepatnya, bahkan menerobos lampu merah. Giliran bertemu, Kak Bima sudah tak utuh, karena menurut saksi, Beliau nekad berdiri di atas rel kereta api dan dengan sengaja tak lari agar ditabrak dan tubuhnya terseret beberapa meter hingga sudah tak karuan. Aku tak kuasa melihat semuanya. Ternyata kalimat yang diucapkan saat kami bertemu itu adalah kalimat pamitan kepadaku, yang waktu itu ku pikir adalah kalimat perpisahan karena ditinggal sang istri tercinta. Aku pingsan di dekat rel itu.


Saat aku sadar dari pingsan, orang yang pertama ku lihat adalah kekasihku, yaitu Sona. "Kamu sudah baikan? Ini minum dulu! Pemakaman menunggu kamu sadar. Semua sudah siap, kecuali kamu pasti," kata Sona sambil memberikan segelas teh yang sudah tak lagi hangat. Aku mengangguk sambil berkata, "Sekitar setengah jam lagi aku keluar ya, aku siapkan hatiku dulu. Semoga semua baik-baik saja. Semoga aku sudah benar-benar siap." Perkara ini terlintas di kepala.

Aku sebenarnya enggan keluar kamar, tapi aku harus lihat Kak Bima, walau hanya petinya, karena tubuhnya sudah.... Ah, aku tak tega melanjutkannya. Dengan kematian dua kakakku itu, pasti mereka tak akan tenang, seharusnya gentayangan dan pasti akan datang padaku seperti arwah lain. Aku hampir pingsan saat berjalan menuju peti itu, untung Sona menggandengku dengan mata sayu. Aku menelan ludah. Menangisi kepergian Kak Bima yang tewas secara tragis, bukan kecelakaan, tapi mencelakai dirinya karena asmara. Begitu cintanya dengan istri, lalu ingin mengikutinya.


Aku menangis sejadi-jadinya. Sona memelukku dengan segenap rasa hingga kami di pemakaman. Belum kering makam Kak Santi, tapi ditumpuki jenazah Kak Bima. Dua perkara menjadi satu. Saat berbalik, aku melihat arwah Kak Bima dan Kak Santi menatapku. Tersenyum, tapi senyuman Kak Bima untuk membalas dendam, beda dengan senyum Kak Santi, yang intinya adalah senyuman sapa.

Hanya dengan sekejap mata, Kak Bima berada di depanku. Sona tahu, bahwa aku yang tahu. Wajah pucat Kak Bima sangat menyeramkan, tapi aku menjadikan itu kebiasaan. Belum lagi di sana arwah Kak Santi tanpa kepala sedari tadi menatapku dengan membawa kepalanya di tangan kirinya. Oh, mengapa jadi begini? Ditambah dendam Kak Bima yang malah akan menambah perkara.

Aku mengajak Sona ke rumah. Duh, aku sendirian malam ini, walau ditemani dua kakak yang menakutkan luar biasa. Apakah aku bisa tidur nyenyak? Mereka berjaga atau meminta bantuanku? Aku hanya bisa melihat arwah, bukan yang lain. Sona? Sona hanya bisa melihat masa lalu, bukan masa depan. Gimana ini? Dendam itu memutar dari perkara satu ke perkara lain. Aku sudah merelakan, tapi buat kakakku, tak akan pernah rela, walau sekarang sudah bersama istri tercinta.

"Yang namanya kepala harus diganti kepala Penta. Seperti yang pembunuh itu bilang, dan sekarang akan ku lakukan," kata Kak Bima sambil memalingkan muka. "Tapi Kak..." sahutku padanya tapi Beliau sudah menghilang. "Sona, gimana ini? Gimana cara kita mencegah dendam itu? Kak Bima begitu murka," kataku pada Sona dengan penuh kebingungan. Sona mengambil tanganku dan tiba-tiba Kak Santi di hadapku sambil berseru, "Penta, dengar aku! Jika kepalaku bersatu dengan tubuh, tak akan pernah aku hidup lagi. Sedangkan saat ini, aku tak bisa ke atas. Aku belum bisa tenang jika Bima masih menyimpan dendam. Penta, aku minta Kau berjanji padaku, jangan pernah menyimpan dendam dan tolong katakan pada Bima, lupakan perkara itu dan jangan mendendam! Aku sudah rela, apalagi sudah bersama. Tolong Penta, berjanjilah! Hanya Kau yang bisa, hanya Kau. Aku percaya padamu."

Kak Santi menghilang. Aku memandang Sona sambil mengucap janji itu, walau Kak Santi tidak di situ, aku yakin pasti mendengar. Jangan sampai ada perkara keempat dan seterusnya. Tapi, gimana cara menyudahinya? "Kita ke rumah Nugi sayang, aku melihat Kak Bima ke rumahnya," kata Sona sambil membawaku. Aku melihat sekitar jalan, berharap aman. Semoga sampai di tujuan. Rumah Nugi kosong. Di mana Dia? "Darah, ada darah, Sona. Lihat itu! Ayo, sebelum semuanya terlambat!" ajakku padanya sambil berlari.

Perkara keempat

Selesai sudah. Telat. Kepala Nugi hancur karena masuk mesin penggiling itu. Oh tidak, badannya juga tinggal setengah. "Kak Bima, cukup. Sudah Kak. Jangan lagi! Sudahi perkara ini! Kak..." pintaku sambil tak kuasa melihat mayat Nugi. Perkara ini terlintas di kepala. "Tidak, masih kurang satu Penta, akan genap lima perkara, baru aku akan selesai dan merelakan semua. Aku akan pergi setelahnya. Kau tak usah dengar kata Santi!" cerita Kak Bima padaku. "Kak, janji harus ditepati. Aku sudah janji sama Kak Santi. Kak, jangan lagi Kak, Penta mohon. Siapa perkara kelima itu Kak?" tanyaku saat Kak Bima menghilang.

Seharusnya Kak Bima dengar. Kami tak tahu harus cari Kak Bima ke mana. Karena kami juga tak tahu siapa yang dituju. Perkara kelima itu apa, kami juga tak tahu. "Sayang, kamu yakin tak tahu?" tanya Sona seakan tak percaya. Aku menggeleng sambil mengingat sesuatu.
Aku menelan ludah. Masih mengingat, tapi kenapa susah sekali? "Sona, aku lagi nggak bisa mikir, belum bisa mengingat dengan baik. Kita pulang saja, aku akan cari sesuatu di rumah, siapa tahu ada yang membuatku ingat," kataku.


Kami pulang, aku masih belum bisa tidur, masih ingin mencari sesuatu yang membuatku ingat. Duh, apa ya? "Sayang, kamu yakin nggak mau ditemenin? Nanti aku panggil Ibu nemenin kamu, daripada sendiri di situasi seperti ini," pinta Sona. Aku menggeleng sambil mencari sesuatu. "Kamu cari apa? Sepertinya penting sekali," tanya Sona seakan ingin membantu. "Sona, kamu pulang aja, sudah malam! Besok harus kerja kan. Aku kan ambil cuti, aku selesaikan malam ini juga, sendiri," pintaku sambil masih mencari. "Aku tinggal ya sayang, semoga aman," ujar Sona sambil menutup pintu.

Aduh, aku ingat, Kak Bima pernah cerita sesuatu, tentang masa lalu. Sebentar, dulu Kak Bima cerita tentang calon anaknya yang digugurkan oleh seorang Nenek di desa sebelah, karena tumbal. Jangan-jangan, Kak Bima ke rumah Nenek itu. Rumahnya di mana? Nama Nenek siapa? Yang aku ingat hanya sebuah buku, buku harian Kak Bima. Dulu Beliau cerita apapun hal penting dalam hidup, pasti ada di buku itu.

"Sona, Kau bisa balik lagi? Aku minta tolong, sekarang ya!" desakku pada kekasihku. Tak berapa lama Sona datang. "Tolong antar aku ke rumah Nenek Aisya di desa sebelah, aku bawa buku harian Kak Bima, aku sudah membaca, semua ada di sini, sebelum terlambat. Nenek itu yang mengambil calon anak Kak Bima dan Kak Santi," ceritaku pada Sona.

Perkara kelima

Kami sampai di rumah Nenek, pintu terbuka, isi rumah sudah berantakan. "Sona, jangan-jangan Nenek sudah...." Kataku tak sanggup melanjutkan. Sona masuk, aku di belakangnya sambil melihat sekitar. "Sona, itu Kak Bima sedang mencekik Nenek. Ayo, kita selamatkan Nenek!" kataku sambil berlari ke arah mereka. "Kak, ini buku harianmu, aku dah baca semuanya. Tolong lepaskan Nenek! Ampuni Beliau, jangan dendam! Kak Santi sudah menunggu Kak Bima naik. Relakan Kak! Semua ada waktunya untuk kembali ke atas. Sudah saatnya Kak Bima dan Kak Santi untuk ke sana," pintaku tak didengar Kak Bima. Cekikan itu malah semakin menjadi.

Tiba-tiba Kak Santi tanpa kepala datang menggendong calon anak mereka yang penuh dengan darah. Kepala Kak Santi semula berada tepat di bawah kakinya, lalu terbang ke arah Kak Bima lalu menggigit tangan Kak Bima. Cekikan itu selesai. Seharusnya perkara juga selesai. Nenek jatuh ke lantai beralaskan tanah, pingsan, atau jangan-jangan meninggal. Oh, tidak. Aku berlari ke Nenek sambil memeriksa.

"Bima, ayo pulang, jangan lanjutkan perkara ini, cukup empat saja! Biarkan yang kelima diselesaikan sama Penta, percayalah padanya! Dia sudah berjanji dan menepati janji untuk membantumu, agar menghilangkan rasa dendam pada Nenek. Kita sudah bersama anak kita sekarang, pulanglah kita sekarang! Lepaskan Bima! Biarkan Nenek hidup! Beliau sudah bertobat atas apa yang pernah dilakukan pada kita. Nenek pasti akan mendapat karmanya kelak, tapi bukan kita yang membalas, biar Tuhan yang membalas. Maafkan Bima!" rayu Kak Santi.

"Kamu benar sayang. Aku maafkan Kau Nenek, karmamu bukan aku yang membalas, tapi dari yang di atas. Syukurlah Kau sudah bertobat. Sona, jaga Penta! Penta maafkan kami, kami pamit. Terima kasih atas bantuan kalian. Perkara kelima, Kau yang bereskan Penta!" pamit Kak Bima dan Kak Santi dengan senyum bahagia, bukan senyum penuh dendam. Mereka menghilang.

Nenek sadar, kamipun bertanggung jawab membereskan barang-barang yang rusak, dengan menggantinya kemudian. Selamat jalan Kak Bima dan Kak Santi. Tenanglah di sana! Perkara ini terlintas di kepala.

"Terima kasih ya, kalian membantu Nenek," ucap Nenek Aisya. Kami pamit lalu meninggalkan rumah Nenek. Di jalan, aku merasa diikuti arwah, tapi aku tak berani melihat belakang. Aduh, semakin merinding. Aku menepuk pundak Sona. "Sona, apa Kau merasa kita diikuti?" Sona berbalik dan ternyata bukan Sona, ternyata arwah yang dipenggal kepalanya. Tiba-tiba kepala itu Ia lepas, sambil Ia tertawa menyeramkan. Aku lari mencari di mana Sona berada. Tapi arwah itu memanggilku, "Penta, bantu aku, jangan lari!" Ia terus memanggilku sambil tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun