Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Penta Perkara Terlintas di Kepala

21 Juli 2024   23:07 Diperbarui: 21 Juli 2024   23:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hantu tanpa kepala (sumber gambar: youtube.com/@digitalfilmmedia9)


Kami pulang, aku masih belum bisa tidur, masih ingin mencari sesuatu yang membuatku ingat. Duh, apa ya? "Sayang, kamu yakin nggak mau ditemenin? Nanti aku panggil Ibu nemenin kamu, daripada sendiri di situasi seperti ini," pinta Sona. Aku menggeleng sambil mencari sesuatu. "Kamu cari apa? Sepertinya penting sekali," tanya Sona seakan ingin membantu. "Sona, kamu pulang aja, sudah malam! Besok harus kerja kan. Aku kan ambil cuti, aku selesaikan malam ini juga, sendiri," pintaku sambil masih mencari. "Aku tinggal ya sayang, semoga aman," ujar Sona sambil menutup pintu.

Aduh, aku ingat, Kak Bima pernah cerita sesuatu, tentang masa lalu. Sebentar, dulu Kak Bima cerita tentang calon anaknya yang digugurkan oleh seorang Nenek di desa sebelah, karena tumbal. Jangan-jangan, Kak Bima ke rumah Nenek itu. Rumahnya di mana? Nama Nenek siapa? Yang aku ingat hanya sebuah buku, buku harian Kak Bima. Dulu Beliau cerita apapun hal penting dalam hidup, pasti ada di buku itu.

"Sona, Kau bisa balik lagi? Aku minta tolong, sekarang ya!" desakku pada kekasihku. Tak berapa lama Sona datang. "Tolong antar aku ke rumah Nenek Aisya di desa sebelah, aku bawa buku harian Kak Bima, aku sudah membaca, semua ada di sini, sebelum terlambat. Nenek itu yang mengambil calon anak Kak Bima dan Kak Santi," ceritaku pada Sona.

Perkara kelima

Kami sampai di rumah Nenek, pintu terbuka, isi rumah sudah berantakan. "Sona, jangan-jangan Nenek sudah...." Kataku tak sanggup melanjutkan. Sona masuk, aku di belakangnya sambil melihat sekitar. "Sona, itu Kak Bima sedang mencekik Nenek. Ayo, kita selamatkan Nenek!" kataku sambil berlari ke arah mereka. "Kak, ini buku harianmu, aku dah baca semuanya. Tolong lepaskan Nenek! Ampuni Beliau, jangan dendam! Kak Santi sudah menunggu Kak Bima naik. Relakan Kak! Semua ada waktunya untuk kembali ke atas. Sudah saatnya Kak Bima dan Kak Santi untuk ke sana," pintaku tak didengar Kak Bima. Cekikan itu malah semakin menjadi.

Tiba-tiba Kak Santi tanpa kepala datang menggendong calon anak mereka yang penuh dengan darah. Kepala Kak Santi semula berada tepat di bawah kakinya, lalu terbang ke arah Kak Bima lalu menggigit tangan Kak Bima. Cekikan itu selesai. Seharusnya perkara juga selesai. Nenek jatuh ke lantai beralaskan tanah, pingsan, atau jangan-jangan meninggal. Oh, tidak. Aku berlari ke Nenek sambil memeriksa.

"Bima, ayo pulang, jangan lanjutkan perkara ini, cukup empat saja! Biarkan yang kelima diselesaikan sama Penta, percayalah padanya! Dia sudah berjanji dan menepati janji untuk membantumu, agar menghilangkan rasa dendam pada Nenek. Kita sudah bersama anak kita sekarang, pulanglah kita sekarang! Lepaskan Bima! Biarkan Nenek hidup! Beliau sudah bertobat atas apa yang pernah dilakukan pada kita. Nenek pasti akan mendapat karmanya kelak, tapi bukan kita yang membalas, biar Tuhan yang membalas. Maafkan Bima!" rayu Kak Santi.

"Kamu benar sayang. Aku maafkan Kau Nenek, karmamu bukan aku yang membalas, tapi dari yang di atas. Syukurlah Kau sudah bertobat. Sona, jaga Penta! Penta maafkan kami, kami pamit. Terima kasih atas bantuan kalian. Perkara kelima, Kau yang bereskan Penta!" pamit Kak Bima dan Kak Santi dengan senyum bahagia, bukan senyum penuh dendam. Mereka menghilang.

Nenek sadar, kamipun bertanggung jawab membereskan barang-barang yang rusak, dengan menggantinya kemudian. Selamat jalan Kak Bima dan Kak Santi. Tenanglah di sana! Perkara ini terlintas di kepala.

"Terima kasih ya, kalian membantu Nenek," ucap Nenek Aisya. Kami pamit lalu meninggalkan rumah Nenek. Di jalan, aku merasa diikuti arwah, tapi aku tak berani melihat belakang. Aduh, semakin merinding. Aku menepuk pundak Sona. "Sona, apa Kau merasa kita diikuti?" Sona berbalik dan ternyata bukan Sona, ternyata arwah yang dipenggal kepalanya. Tiba-tiba kepala itu Ia lepas, sambil Ia tertawa menyeramkan. Aku lari mencari di mana Sona berada. Tapi arwah itu memanggilku, "Penta, bantu aku, jangan lari!" Ia terus memanggilku sambil tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun