Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Penta Perkara Terlintas di Kepala

21 Juli 2024   23:07 Diperbarui: 21 Juli 2024   23:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hantu tanpa kepala (sumber gambar: youtube.com/@digitalfilmmedia9)

Kami terlambat, karena tadi sempat kehilangan arah karena Kak Bima sangat cepatnya, bahkan menerobos lampu merah. Giliran bertemu, Kak Bima sudah tak utuh, karena menurut saksi, Beliau nekad berdiri di atas rel kereta api dan dengan sengaja tak lari agar ditabrak dan tubuhnya terseret beberapa meter hingga sudah tak karuan. Aku tak kuasa melihat semuanya. Ternyata kalimat yang diucapkan saat kami bertemu itu adalah kalimat pamitan kepadaku, yang waktu itu ku pikir adalah kalimat perpisahan karena ditinggal sang istri tercinta. Aku pingsan di dekat rel itu.


Saat aku sadar dari pingsan, orang yang pertama ku lihat adalah kekasihku, yaitu Sona. "Kamu sudah baikan? Ini minum dulu! Pemakaman menunggu kamu sadar. Semua sudah siap, kecuali kamu pasti," kata Sona sambil memberikan segelas teh yang sudah tak lagi hangat. Aku mengangguk sambil berkata, "Sekitar setengah jam lagi aku keluar ya, aku siapkan hatiku dulu. Semoga semua baik-baik saja. Semoga aku sudah benar-benar siap." Perkara ini terlintas di kepala.

Aku sebenarnya enggan keluar kamar, tapi aku harus lihat Kak Bima, walau hanya petinya, karena tubuhnya sudah.... Ah, aku tak tega melanjutkannya. Dengan kematian dua kakakku itu, pasti mereka tak akan tenang, seharusnya gentayangan dan pasti akan datang padaku seperti arwah lain. Aku hampir pingsan saat berjalan menuju peti itu, untung Sona menggandengku dengan mata sayu. Aku menelan ludah. Menangisi kepergian Kak Bima yang tewas secara tragis, bukan kecelakaan, tapi mencelakai dirinya karena asmara. Begitu cintanya dengan istri, lalu ingin mengikutinya.


Aku menangis sejadi-jadinya. Sona memelukku dengan segenap rasa hingga kami di pemakaman. Belum kering makam Kak Santi, tapi ditumpuki jenazah Kak Bima. Dua perkara menjadi satu. Saat berbalik, aku melihat arwah Kak Bima dan Kak Santi menatapku. Tersenyum, tapi senyuman Kak Bima untuk membalas dendam, beda dengan senyum Kak Santi, yang intinya adalah senyuman sapa.

Hanya dengan sekejap mata, Kak Bima berada di depanku. Sona tahu, bahwa aku yang tahu. Wajah pucat Kak Bima sangat menyeramkan, tapi aku menjadikan itu kebiasaan. Belum lagi di sana arwah Kak Santi tanpa kepala sedari tadi menatapku dengan membawa kepalanya di tangan kirinya. Oh, mengapa jadi begini? Ditambah dendam Kak Bima yang malah akan menambah perkara.

Aku mengajak Sona ke rumah. Duh, aku sendirian malam ini, walau ditemani dua kakak yang menakutkan luar biasa. Apakah aku bisa tidur nyenyak? Mereka berjaga atau meminta bantuanku? Aku hanya bisa melihat arwah, bukan yang lain. Sona? Sona hanya bisa melihat masa lalu, bukan masa depan. Gimana ini? Dendam itu memutar dari perkara satu ke perkara lain. Aku sudah merelakan, tapi buat kakakku, tak akan pernah rela, walau sekarang sudah bersama istri tercinta.

"Yang namanya kepala harus diganti kepala Penta. Seperti yang pembunuh itu bilang, dan sekarang akan ku lakukan," kata Kak Bima sambil memalingkan muka. "Tapi Kak..." sahutku padanya tapi Beliau sudah menghilang. "Sona, gimana ini? Gimana cara kita mencegah dendam itu? Kak Bima begitu murka," kataku pada Sona dengan penuh kebingungan. Sona mengambil tanganku dan tiba-tiba Kak Santi di hadapku sambil berseru, "Penta, dengar aku! Jika kepalaku bersatu dengan tubuh, tak akan pernah aku hidup lagi. Sedangkan saat ini, aku tak bisa ke atas. Aku belum bisa tenang jika Bima masih menyimpan dendam. Penta, aku minta Kau berjanji padaku, jangan pernah menyimpan dendam dan tolong katakan pada Bima, lupakan perkara itu dan jangan mendendam! Aku sudah rela, apalagi sudah bersama. Tolong Penta, berjanjilah! Hanya Kau yang bisa, hanya Kau. Aku percaya padamu."

Kak Santi menghilang. Aku memandang Sona sambil mengucap janji itu, walau Kak Santi tidak di situ, aku yakin pasti mendengar. Jangan sampai ada perkara keempat dan seterusnya. Tapi, gimana cara menyudahinya? "Kita ke rumah Nugi sayang, aku melihat Kak Bima ke rumahnya," kata Sona sambil membawaku. Aku melihat sekitar jalan, berharap aman. Semoga sampai di tujuan. Rumah Nugi kosong. Di mana Dia? "Darah, ada darah, Sona. Lihat itu! Ayo, sebelum semuanya terlambat!" ajakku padanya sambil berlari.

Perkara keempat

Selesai sudah. Telat. Kepala Nugi hancur karena masuk mesin penggiling itu. Oh tidak, badannya juga tinggal setengah. "Kak Bima, cukup. Sudah Kak. Jangan lagi! Sudahi perkara ini! Kak..." pintaku sambil tak kuasa melihat mayat Nugi. Perkara ini terlintas di kepala. "Tidak, masih kurang satu Penta, akan genap lima perkara, baru aku akan selesai dan merelakan semua. Aku akan pergi setelahnya. Kau tak usah dengar kata Santi!" cerita Kak Bima padaku. "Kak, janji harus ditepati. Aku sudah janji sama Kak Santi. Kak, jangan lagi Kak, Penta mohon. Siapa perkara kelima itu Kak?" tanyaku saat Kak Bima menghilang.

Seharusnya Kak Bima dengar. Kami tak tahu harus cari Kak Bima ke mana. Karena kami juga tak tahu siapa yang dituju. Perkara kelima itu apa, kami juga tak tahu. "Sayang, kamu yakin tak tahu?" tanya Sona seakan tak percaya. Aku menggeleng sambil mengingat sesuatu.
Aku menelan ludah. Masih mengingat, tapi kenapa susah sekali? "Sona, aku lagi nggak bisa mikir, belum bisa mengingat dengan baik. Kita pulang saja, aku akan cari sesuatu di rumah, siapa tahu ada yang membuatku ingat," kataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun