Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Hijau Penguat Raga

15 Juli 2024   18:33 Diperbarui: 15 Juli 2024   18:35 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Ada yang pernah bertanya padaku, "Kenapa aku di sini, bukan di sana?" Di sini dalam artian, aku memilih menjadi istri kedua, tepatnya, sepasang suami-istri meminjamku untuk melahirkan putra mereka, yang tak lain dan tak bukan adalah Om dan Tanteku. Di mana Tante Ana tidak akan pernah bisa mengandung. Sedangkan Om Kusuma sangatlah sehat, bisa untuk memberikan keturunan.

            Ku jelaskan dulu pertanyaan tadi. Bukan di sana dalam artian memilih menikah dengan pria yang sangat mencintaiku, tapi cintanya bertepuk sebelah tangan, karena aku amat menyayangi Om Kusuma. Jawabku, "Karena Ia sudah ada di hatiku, sudah menyatu, hampir semua, lalu aku mengatakan padanya bahwa aku sudah jadi bagian di dalamnya." Aku pernah berkata pada Om Kusuma. Begini kataku, "Om tahu, mengapa aku begitu memujamu? Tangis di pipiku tanda rinduku padanya. Semenjak aku berjumpa denganmu, aku merasa kehadirannya menjelma dalam dirimu yang selama ini aku banggakan, yang selama ini melangkahkan kaki bersamaku dalam setiap tugasku. Seirama dalam satu asa. Sapaan dan senyum nan manja tak pernah lelah dilontarkan padaku. Hingga aku berhenti pada satu titik, di mana harus memilih. Bolehkah aku ada di sisimu sampai akhir hayatku?" Duhai kau penguat ragaku, si hijau yang selalu membuatku terpana.

            Ya.. si hijau yang dulu adalah manusia di masa lalu ku, yang seumuran dengan Om Kusuma, tepatnya cocok sekali jadi Om, bukan suami. Tapi Beliau telah meninggalkan dunia ini saat berjalan denganku, telah menyelamatkan nyawaku waktu itu. Aku merana tanpa Beliau di sisiku. Padahal kami akan menikah enam bulan lagi sebelum kejadian mengenaskan itu. Tapi aku dikuatkan oleh Om Kusuma, yang dulu adalah seniorku alias pengajarku saat aku masuk di Akademi Militer. Didikan kerasnya malah membuatku menjadi lembek begini. Tak mau bangkit dari kehilangan. Itulah awal kedekatanku dengan Om Kusuma.

            Ku namakan kekasihku yang dulu itu si hijau, karena Dia juga pencinta hijau sepertiku. Kami sama-sama pencinta hijau. Dulu Papa dan Mamaku memberi nama padaku juga yang berbau hijau, yaitu Greenita Setyani, si hijau yang berharap selalu setia dengan pasangan. Benar, aku belum bisa melupakan Mas Galang, calon suamiku yang meninggal. Sejak kepergian Mas Galang, Mas Kusuma dan aku semakin dekat, maklum, Beliau yang menggantikan posisi Mas Galang di kantor. Kami bertiga adalah bagian dari TNI Angkatan Darat yang bekerja di kantor. Dari dulu aku dan Om Kusuma selalu nyambung jika ngobrol bareng. Kadang makan siang bareng jika jam istirahat. Hingga suatu ketika Tante Ana memintaku ke rumahnya untuk membicarakan hal penting. Apakah itu? Sepenting apakah? Aku jadi penasaran.

            "Om, sebenarnya ada apa? Tante tumben sekali ingin menemuiku di rumahnya, dan meminta Om sendiri yang mengantarku. Tante sakit apa gimana Om?" tanyaku penasaran. Om hanya melontarkan senyumnya, tanpa kata. Aku semakin penasaran. Sampai di rumah mereka, Papaku sudah memberi senyuman padaku, sebagai sambutan. Aku memeluk Papa sambil bertanya, "Papa kok ada di sini? Ada apa ini?" Jawab Papa, "Masuk dulu sayang, itu ada teh hijau hangat menunggu. Tantemu  yang menyiapkan minuman kesukaanmu. Oh iya, Papa juga bawakan roti lapis favoritmu. Minum dulu ya!" Aku menelan ludah sambil melihat sajian di meja ruang tamu. Tante memelukku dan mencium pipi kanan dan kiriku. "Capek ya Grin? Sini duduk di sebelah Tante! Minum selagi hangat!" pinta Tante Ana sambil melirik Om Kusuma. Aku menikmati hangatnya teh lalu diam, masih menunggu mereka mengawali sebuah perbincangan sebagai pemecah kebekuan. Oh, hening sekali jika semua diam, mereka tak kunjung memulai pembicaraan, hanya saling memandang seolah bingung siapa yang memulai dan apa yang harus dimulai.

            Aku meletakkan cangkir dan memandang Tante, sambil ku beranikan diri bertanya, "Tante, ada apa ini? Jangan semua diam, tolong bicara padaku! Apa info penting itu?" Papa menggigit bibir, mencoba mengawali perbincangan kami, ehm, tepatnya sebuah diskusi ternyata. "Grin, kamu belum punya pacar kan?" tanya Papa pelan. Aku menggeleng. "Lalu hubunganmu sama Dewa itu sebatas sahabat kan?" tambah Beliau. Aku mengangguk. "Lalu Krisna? Kau pernah menolaknya bukan? Siapa tahu Ia masih menyimpan rasa padamu?" sahut Om Kusuma. Aku tersenyum. "Aku tak tahu Om. Dia kan minta pindah ke Kalimantan, agar bisa melupakan aku," jawabku sambil tersenyum kecil.

            "Ehm, jadi kosong kan Grin?" tanya Papa sambil tersenyum. "Kalau isi pasti Papa tak kasih tau kan?" gurauku. "Om mau minta tolong Grin. Bisa? Nanti atau kapan kita ke dokter periksa. Maaf sebelumnya. Om dan Tante kemaren dapat kabar buruk dari dokter. Kamu tahu kan, kami belum dikaruniai buah hati? Sudah 10 tahun menanti. Kami ingin Kau membantu kami. Kami hanya percaya padamu Grin. Makanya kami tak mau adopsi. Ada yang kurang dalam rumah tangga kami jika buah hati tak kunjung menemani. Pikirlah dulu!" pinta Om Kusuma dengan mata sayu. "Aku jadi istri kedua Om?" tanyaku dengan sangat terkejut. Om Kusuma mengangguk, sambil menjelaskan, "Tidak seumur hidup. Setelah bayi itu lahir, kisah kita selesai sebagai suami-istri. Gimana?" Aku melirik Papa, lalu memberi kode untuk keluar ruang tamu sebentar.

            "Nggak harus jawab sekarang Grin. Maaf, Papa nggak bilang ke kamu. Papa takut kamu marah atau belum siap. Pasti nggak menyangka kan?" "Aku sebenarnya sudah melupakan Mas Galang Pa, berkat Om Kusuma. Aku sepertinya jatuh cinta pada Om Kusuma. Aku ingin menjawab bersedia, tapi hanya sementara, dan jadi yang kedua. Bukan seutuhnya. Nanti aku akan kehilangan lagi. Sedih lagi. Butuh seseorang lagi. Begitu Pa," kataku sambil mengusap air mata. Papa memelukku, aku melihat Om Kusuma dari balik jendela. Om Kusuma menghadiahi dengan senyuman manja. Senyuman yang tak pernah ku duga. Tapi aku mengira, Beliau akan bahagia bila bersamaku. Dari raut wajahnya terpancar kemauan untuk memilikiku, entah kenapa rasaku semakin tak karuan? Apakah aku sudah tertarik padanya? Semakin aku bertemu dengan Om yang satu itu semakin nyaman. Aku ingin segera memiliknya, tapi bagaimana? Aku hanya diminta membantu, jadi jika kami sudah menikah, juga pasti Om tak cinta aku.

            Aku semakin bingung, hingga Om Kusuma mendekatiku memberikan senyuman yang lebih lebar dari semula. Aku pun membalas senyumnya, ku yakin senyumku lebih lebar darinya. Kami saling menatap mata, oh, indahnya dunia. Papa sadar akan kehadiran Om Kusuma, lalu meninggalkan kami berdua. Aku memberikan jawaban pada Om Kusuma sekarang juga, "Tak perlu lama Om, aku jawab sekarang ya?" Om Kusuma mengiyakan dan masih melemparkan senyum padaku. Aku melirik Tante Ana, Beliau memberi anggukan. Aku menjawab "Iya Om, saya bersedia menikah dengan Om, jika aku sehat. Aku bahagia, tapi entah mengapa tadi aku nggak bisa berkata." Om Kusuma tersenyum, aku pun memeluknya.

            Kami pun resmi menikah, senyumku sangatlah lebar bisa memilikinya, walau tak seutuhnya. Aku juga bahagia, Dewa, sahabatku jauh-jauh datang dari Kalimantan untuk memberiku selamat. Rasa kangen akhirnya terobati, maklum, Dewa tinggal di pulau yang sinyalnya kadang ada dan kadang tidak. Jadi komunikasi kurang lancar. Aku dan Dewa terpisah sejak kami lulus SMA, kami di jalur yang berbeda. Tapi gelar sahabat masih melekat, sekalipun aku sudah menikah. Tapi aku akan selalu jaga sikap, jangan sampai terlalu dekat dengan sahabat.

            Aku dan suamiku, tinggal berdua, di rumah berbeda yang jaraknya tak jauh dari tempat kami bekerja. Seiring berjalannya waktu, aku positif hamil, tetapi aku sedih, karena beberapa bulan lagi jabatanku sebagai istri sudah tak lagi ku dapat. Aku harus berpisah orang yang sangat aku sayang, yaitu suami dan anak kami kelak. Tapi aku sudah berjanji, bersama Mas Kusuma, janji adalah janji yang itu adalah utang, kami harus menepati janji. Awalnya aku bingung, mau cerita tentang kehamilanku atau tidak, karena saat aku periksa aku sendirian, takut sekali mendengar jawaban dari dokter kala itu. Sampai saat ini ku tutup rapat-rapat berita gembira bagi mereka. Tapi di sisi lain, aku berdosa jika tak mengatakannya, karena itu kabar baik, yang harus dibagikan, walaupun jadi kabar buruk untukku. Pada suatu malam, sebelum tidur, aku beranikan berkata pada Papa, minta pertimbangan dan membagikan kabar kehamilan yang aku tak tahu apa pendapat Papa lewat sebuah pesan.

"Pa, aku hamil, tapi aku belum membagikan ini ke Mas Kusuma. Gimana ya Pa? Aku nggak mau mereka menyingkirkanku setelah bayi ini lahir. Aku nggak mau dibuang. Aku takut Pa. Aku pasti akan kehilangan Mas Kusuma, tapi kenapa secepat ini?"

"Grint, kejujuran itu di atas segalanya. Jujurlah apa adanya! Sejak awal Kau sudah tahu resikonya apa, pasti Kau akan ditinggal. Terima saja! Kau sudah terima itu sejak awal, kenapa sekarang malah ketakutan? Jangan begitu! Jangan lembek lagi! Bangkit! Kau ini didikan sekolah militer. Kau bisa apa saja, kenapa untuk jujur saja susah? Seharusnya Kau sudah siap sedari awal putriku."

Aku meneteskan air mata. Lalu ku jawab Papaku sambil mengusap air mata itu.

"Maaf Pa, seharusnya aku memang jujur. Baik, akan ku akhiri apa yang sudah aku mulai, tentunya dengan memberi kebahagiaan sesuai cita-cita mereka. Aku harus siap dengan jawaban Mas Kusuma. Terima kasih Papa. Malam."

            Aku mendatangi Mas Kusuma di ruang tengah. Ku bawakan teh jahe hangat kesukaannya. "Mas, ada yang ingin ku sampaikan, berita gembira untukmu," sapaku dengan sebuah senyuman sambil meletakkan teh di meja. "Minumlah dulu selagi hangat Mas!" pintaku sambil menunjuk cangkir teh jahe di meja itu. "Ada apa sayang? Berita hangat apa? Pasti tak akan sehangat dirimu," gurau suamiku sambil menyeruput teh jahe kesukaannya. Aku menelan ludah. "Aku telah memberikan sesuatu untuk Mas dan Tante Ana, si kecil yang kalian inginkan selama ini," kataku sambil melempar senyum.

            "Wow, akhirnya, makasih ya sayang," kata Mas Kusuma sambil memelukku. Tapi aku meneteskan air mata karena kesedihan. "Selamat ya Mas, sampaikan pada Tante!" pintaku sambil mengusap air mata. Mas Kusuma mengangguk lalu menelepon istri pertamanya di depanku. Aku dengar suara istrinya yang teramat girang. Lalu aku minta maaf karena terlambat memberitahu setelah mereka selesai komunikasi. Beberapa setelah kabar bahagia itu, Tante Ana dan Papa mengunjungiku.
            Setiap aku memeriksakan kandungan, Mas Kusuma selalu mengantarku dengan senang hati. Bahkan saat bayi kecil itu lahir, suamiku menemani. Seorang bayi perempuan yang cantik, telah lahir di awal bulan. Mas Kusuma memberinya nama Greenesia Kusuma Sakti. "Kenapa ada hijau dan namaku?" tanyaku heran. "Green itu ku ambil dari namamu, Kusuma itu namaku dan Sakti, karena dengan kesaktian kita, ia telah lahir ke dunia," jawab Mas Kusuma mencoba menghiburku. Karena Mas Kusuma tahu, kami akan pisah.

            Tiga hari setelah aku pulang dari rumah sakit, aku dan Mas Kusuma memutuskan untuk bercerai, sesuai dengan janji kami, setelah bayi kami lahir, tugasku menjadi istri alias menemani dan melayani Mas Kusuma usai sudah. Tapi entah kenapa rasa cintaku padanya masih menggelora. Aku tak bisa melepasnya. Tapi aku nggak mau ingkar janji. "Mas, aku titip Sisi pada kalian ya. Maaf, kalau aku salah sama Mas dan juga Tante. Terima kasih Mas, telah menjagaku dengan sangat baik, aku pamit ya," pintaku sambil memeluk Mas Kusuma. Tak lupa aku memeluk Tante Ana dan menyentuh pipi Sisi, putriku yang menjadi putri mereka.
            Aku sudah memutuskan untuk resign dari pekerjaan dan memilih tinggal di Kalimantan bersama Dewa sahabatku, bekerja di kantor yang sama dengan Dewa. Aku hanya ingin belajar untuk melepas mereka, tapi bukan melupakan. Karena mereka, terutama Mas Kusuma teramat berarti untuk dilupakan. Aku juga pamit dengan Papa, memberikan pelukan hangat padanya. "Terima kasih ya Pa, maafkan putrimu ini," kataku sambil meneteskan air mata. Papa mengangguk dan tersenyum. Aku pun meninggalkan mereka dengan sebuah lambaian tangan dan senyuman. Bukan senyum kesedihan, melainkan senyum kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun