Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Hijau Penguat Raga

15 Juli 2024   18:33 Diperbarui: 15 Juli 2024   18:35 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warna hijau (sumber gambar : wallpapercave.com)

            Aku dan suamiku, tinggal berdua, di rumah berbeda yang jaraknya tak jauh dari tempat kami bekerja. Seiring berjalannya waktu, aku positif hamil, tetapi aku sedih, karena beberapa bulan lagi jabatanku sebagai istri sudah tak lagi ku dapat. Aku harus berpisah orang yang sangat aku sayang, yaitu suami dan anak kami kelak. Tapi aku sudah berjanji, bersama Mas Kusuma, janji adalah janji yang itu adalah utang, kami harus menepati janji. Awalnya aku bingung, mau cerita tentang kehamilanku atau tidak, karena saat aku periksa aku sendirian, takut sekali mendengar jawaban dari dokter kala itu. Sampai saat ini ku tutup rapat-rapat berita gembira bagi mereka. Tapi di sisi lain, aku berdosa jika tak mengatakannya, karena itu kabar baik, yang harus dibagikan, walaupun jadi kabar buruk untukku. Pada suatu malam, sebelum tidur, aku beranikan berkata pada Papa, minta pertimbangan dan membagikan kabar kehamilan yang aku tak tahu apa pendapat Papa lewat sebuah pesan.

"Pa, aku hamil, tapi aku belum membagikan ini ke Mas Kusuma. Gimana ya Pa? Aku nggak mau mereka menyingkirkanku setelah bayi ini lahir. Aku nggak mau dibuang. Aku takut Pa. Aku pasti akan kehilangan Mas Kusuma, tapi kenapa secepat ini?"

"Grint, kejujuran itu di atas segalanya. Jujurlah apa adanya! Sejak awal Kau sudah tahu resikonya apa, pasti Kau akan ditinggal. Terima saja! Kau sudah terima itu sejak awal, kenapa sekarang malah ketakutan? Jangan begitu! Jangan lembek lagi! Bangkit! Kau ini didikan sekolah militer. Kau bisa apa saja, kenapa untuk jujur saja susah? Seharusnya Kau sudah siap sedari awal putriku."

Aku meneteskan air mata. Lalu ku jawab Papaku sambil mengusap air mata itu.

"Maaf Pa, seharusnya aku memang jujur. Baik, akan ku akhiri apa yang sudah aku mulai, tentunya dengan memberi kebahagiaan sesuai cita-cita mereka. Aku harus siap dengan jawaban Mas Kusuma. Terima kasih Papa. Malam."

            Aku mendatangi Mas Kusuma di ruang tengah. Ku bawakan teh jahe hangat kesukaannya. "Mas, ada yang ingin ku sampaikan, berita gembira untukmu," sapaku dengan sebuah senyuman sambil meletakkan teh di meja. "Minumlah dulu selagi hangat Mas!" pintaku sambil menunjuk cangkir teh jahe di meja itu. "Ada apa sayang? Berita hangat apa? Pasti tak akan sehangat dirimu," gurau suamiku sambil menyeruput teh jahe kesukaannya. Aku menelan ludah. "Aku telah memberikan sesuatu untuk Mas dan Tante Ana, si kecil yang kalian inginkan selama ini," kataku sambil melempar senyum.

            "Wow, akhirnya, makasih ya sayang," kata Mas Kusuma sambil memelukku. Tapi aku meneteskan air mata karena kesedihan. "Selamat ya Mas, sampaikan pada Tante!" pintaku sambil mengusap air mata. Mas Kusuma mengangguk lalu menelepon istri pertamanya di depanku. Aku dengar suara istrinya yang teramat girang. Lalu aku minta maaf karena terlambat memberitahu setelah mereka selesai komunikasi. Beberapa setelah kabar bahagia itu, Tante Ana dan Papa mengunjungiku.
            Setiap aku memeriksakan kandungan, Mas Kusuma selalu mengantarku dengan senang hati. Bahkan saat bayi kecil itu lahir, suamiku menemani. Seorang bayi perempuan yang cantik, telah lahir di awal bulan. Mas Kusuma memberinya nama Greenesia Kusuma Sakti. "Kenapa ada hijau dan namaku?" tanyaku heran. "Green itu ku ambil dari namamu, Kusuma itu namaku dan Sakti, karena dengan kesaktian kita, ia telah lahir ke dunia," jawab Mas Kusuma mencoba menghiburku. Karena Mas Kusuma tahu, kami akan pisah.

            Tiga hari setelah aku pulang dari rumah sakit, aku dan Mas Kusuma memutuskan untuk bercerai, sesuai dengan janji kami, setelah bayi kami lahir, tugasku menjadi istri alias menemani dan melayani Mas Kusuma usai sudah. Tapi entah kenapa rasa cintaku padanya masih menggelora. Aku tak bisa melepasnya. Tapi aku nggak mau ingkar janji. "Mas, aku titip Sisi pada kalian ya. Maaf, kalau aku salah sama Mas dan juga Tante. Terima kasih Mas, telah menjagaku dengan sangat baik, aku pamit ya," pintaku sambil memeluk Mas Kusuma. Tak lupa aku memeluk Tante Ana dan menyentuh pipi Sisi, putriku yang menjadi putri mereka.
            Aku sudah memutuskan untuk resign dari pekerjaan dan memilih tinggal di Kalimantan bersama Dewa sahabatku, bekerja di kantor yang sama dengan Dewa. Aku hanya ingin belajar untuk melepas mereka, tapi bukan melupakan. Karena mereka, terutama Mas Kusuma teramat berarti untuk dilupakan. Aku juga pamit dengan Papa, memberikan pelukan hangat padanya. "Terima kasih ya Pa, maafkan putrimu ini," kataku sambil meneteskan air mata. Papa mengangguk dan tersenyum. Aku pun meninggalkan mereka dengan sebuah lambaian tangan dan senyuman. Bukan senyum kesedihan, melainkan senyum kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun