Hanny Dilla Intan Pratiwi (1311900053) & Yovita Putri Hardiani (1311900056) mata kuliah Hukum Perancangan Undang-undang Kelas D, mahasiswi Fakultas Hukum Untag Surabaya akan menjelaskan penafsiran mengenai PERMENDIKBUD NO 30 TAHUN 2021.
Kekerasan seksual di perguruan tinggi merupakan suatu tindakan melawan hukum yang jarang terungkap, dikarenakan korban pelecehan seksual tidak memiliki keberanian untuk melaporkan pelecehan yang dialami karena merasa takut akan menjadi tersangka apabila ia melapor tanpa adanya bukti atau mendapat ancaman dari dosen.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online (Simfoni) pada Januari–Oktober 2021, terdapat 7.913 korban kekerasan terhadap perempuan, yang mana 14,5 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Berdasarkan catatan yang diperoleh KOMNAS Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020 terdapat sekitar 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.Â
Adapun dalam Permendikbud Ristek 30/2021, kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi.Â
Setidaknya, ada 21 bentuk kekerasan seksual yang tertulis dalam beleid tersebut. Beberapa diantaranya menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, serta siulan yang bernuansa seksual pada korban, memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual, mengintip korban, hingga memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
Maka Menteri Pendidikan Nadiem Makarim membentuk Permendikbud No 30 Tahun 2021. Dalam pembentukan Permendikbud No 30 Tahun 2021 menimbulkan pro dan kontra.Â
PKS dan ormas Islam menilai bahwa Permendikbud No 30 Tahun 2021 merupakan peraturan yang melegalkan zina dan mengijinkan hal LGBT, hal tersebut merujuk pada pasal 5 dimana pelecehan kekerasan seksual berbasis pada persetujuan korban./
Oknum yang kontra dengan Permendikbud No 30 Tahun 2021 menilai bahwa peraturan ini sifatnya multitafsir padahal peraturan seharusnya dibuat untuk melindungi bukan melegalkan.
Menurut penafsiran kelompok kami, bahwa dengan dibentuknya Permendikbud NO 30 Tahun 2021 merupakan suatu kebijakan hukum yang mengatur dalam pencegahan, penanganan dan perlindungan bagi korban, mahasiswa, dosen dan civitas kampus.Â
Dengan dibentuknya Permendikbud NO 30 Tahun 2021 maka akan menjadi landasan hukum bagi kampus, karena kampus harus memberikan rasa aman bagi mahasiswa dan dosen untuk terciptanya suatu proses pembelajaran yang aman dan mendidik.Â
Di dalam peraturan tersebut menurut kami bukan melegalkan kekerasan seksual tetapi untuk mencegah kekerasan seksual, karena dengan diterapkan Permendikbud NO 30 Tahun 2021 akan memberikan rasa aman khusunya bagi mahasiswa untuk dapat dilindungi haknya dengan melaporkan pada satgas kampus, dengan adanya Permendikbud NO 30 Tahun 2021 maka mewajibkan adanya satgas kampus yang tujuannya sendiri ialah memimpin edukasi tentang pencegahan, menangani semua laporan, melakukan pemantauan hingga evaluasi kasus kekerasan seksual dalam kampus.
Menurut penafsiran kelompok kami Dalam Permendikbud NO 30 Tahun 2021 juga mengatur tentang Pencegahan terhadap dosen atau pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan seksual pribadi, seperti contoh: mahasiswa mendapatkan ancaman akan mendapatkan nilai E atau tidak diluluskan apabila melawan dan melaporkan tindakan dosen tersebut.
Maka, dengan diciptakan Permendikbud NO 30 Tahun maka akan memberikan rasa aman untuk mahasiswa yang menjadi korban tersebut dengan melaporkan kepada satgas kampus tanpa memikirkan ancaman yang diberikan dosen tersebut serta memberikan rasa aman dari rasa takut apabila mahasiswa melapor maka akan dituduh tersangka karena tidak memiliki bukti.
Berdasarkan penafsiran mengenai Permendikbud NO 30 Tahun 2021 maka hal itu sudah sejalan dengan prinsip dari Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimanaÂ
Tujuan dan kejelasan rumusan masalah dalam peraturan ini sudah jelas yaitu untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual yang ada di Perguruan Tinggi.Â
Karena di rasa banyak korban yang tidak mau melapor karena takut diancam akan tidak lulus atau mendapatkan nilai E maka peraturan ini memberikan perlindungan bagi korban untuk memberikan kepercayaan agar korban mau melaporkan.
Peraturan ini merupakan kebijakan yang sesuai dengan Hukum di Indonesia yaitu untuk menjamin kepastian hidup masyarakat dan melindungi, dalam peraturan ini juga menjelaskan bahwa terdapat sanksi penghentian bantuan keuangan atau sarana kampus apabila perguruan tinggi tidak melibatkan dalam Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Lalu dijelaskan dalam Permendikbud NO 30 Tahun 2021 bahwa pelecehan seksual yang mendapatkan persetujuan pun akan diperkarakan.Â
Peraturan tersebut telah memenuhi unsur dalam kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dapat dilaksanakan.Â
Karena memang jelas dalam peraturan ini terdapat suatu pokok-pokok hukum yang hendak dirumuskan yaitu terkait tindakan asusila yang dilakukan secara memaksa dan merugikan berberapa pihak sehingga perlu perlu ada tindakan pelaporan maka akan ada sanksi yang jelas dan keadilan bagi korban.Â
Dalam peraturan ini bukan hanya mengatur mengenai kebijakan tetapi tindakan, tindakan yang dimaksud bisa merujuk pada pasal 6 yang mewajibkan kampus harus memiliki satgas serta dalam pasal 10 yang mewajibkan perguruan tinggi terlibat dalam penanganan kekekerasan seksual melalui :
Pendampingan.
Pendampingan ini diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan dan warga kampus. Pendampingan ini dapat berupa konssling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, bimbingan sosial dan rohani. Pendampingan ini dapat berlangsung apabila korban setuju.Â
Namun apabila kondisi korban tidak memungkinkan untuk memberikan persetujuan, maka persetujuan dapat diberikan kepada orang tua atau wali korban atau pendamping.
Perlindungan
Perlindungan yang diberikan kepada korban ataupun saksi dapat berupa jaminan berkelanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa, jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak huku.
Pelindungan atas kerahasiaan identitas, penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan, penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan. Dan perlindungan lainnya yang tertuang dalam Pasal 12 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.
Pengenaan sanksi administratif
Pengenanaan sanksi administratif ditetapkan dengan keputusan pemimpin perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi dari satuan tugas. Pengenaan sanksi administratif terdiri atas sanksi administratif ringan, sedang, dan berat.Â
Sanksi administratif ringan berupa teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasi di internal kampus atau media masa.Â
Sanksi administratif sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan  atau pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi penundaan mengikuti perkuliahan (skors), pencabutan beasiswa atau pengurangan hak lain.Â
Sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa atau pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Pemulihan korban.
Pemulihan korban ini dapat berlangsung apabila adanya persetujuan dari korban. Apabila dalam pelaporan saksi mengalami stres traumatis sekunder, pemulihan dapat diberikan berdasarkan persetujuan saksi.Â
Pemulihan kepada korban dapat berupa tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologi dan atau bimbingan sosial dan rohani. Pemulihan ini dapat melibatkan dokter atau tenaga kesehatan, konselor, psikolog, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pendamping lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan korban penyandang disabilitas.
Menurut kelompok kami, Permendikbud ini bukanlah melegalkan zina dan lgbt. Akan tetapi kelompok kami setuju, jika pada pasal 5 dapat menyebabkan kegagalan dalam penegakan hukum.Â
Dalam era sekarang ini terdapat berbagai jenis motif kejahatan dan motif tersebut dapat berkembang mengikuti perkembangan zaman pula.Â
Dalam praktik penegakannya dapat dibarengi dengan di tetapkannya RUU PKS dan satuan tugas yang membantu dalam pelaksanaan RUU tersebut, mengingat kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja dan dapat terjadi dengan siapa saja tidak hanya mahasiswa, tenaga pengajar, atau civitas kampus.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI