Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papa Takut Diendoskopi (Lanjutan)

29 Januari 2018   00:26 Diperbarui: 29 Januari 2018   00:31 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papa diharuskan opname di rumah sakit. Saya memilih kamar VIP di Paviliun Swasta yang masih dalam naungan management Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Harga kamarnya mahal sekali, hampir sama tarifnya dengan kamar standar hotel bintang 5. Tapi tidak apa-apalah. Saya ingin memberikan yang terbaik buat Papa. Apalagi hubungan kami saat ini sangat luar biasa mesranya. Belum pernah saya mencintai Papa sedemikian besar seperti sekarang ini. Dan hal itu terjadi sejak Papa menjemput saya di bandara.

Team dokter bolak-balik melakukan berbagai macam test untuk menyelidiki penyakit Papa. Hasil pemeriksaan darah jelas-jelas menunjukkan bahwa hemoglobinnya menurun sampai 8 dari batas normalnya yaitu 14-18 gr/dL, sementara trombositnya menurun sampai 45.000 dari batas normal 150.000.

Tapi hasil pemeriksaan darah tidak menjelaskan apa-apa. Dokter yang menangani Papa mengatakan, penurunan trombosit dan hemoglobin banyak sekali penyebabnya. Karena itu Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging). MRI adalah alat pemindai yang memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh. Cara melakukannya adalah Si Pasien dimasukan ke dalam sebuah tabung lalu discan untuk menemukan sumber penyakitnya.  Proses scanning berlangsung selama kurang lebih setengah jam. Jadi selama itu pasien tidak boleh bergerak sama sekali.

Konon kecanggihan MRI ini dapat memberikan informasi struktur tubuh yang tidak dapat ditemukan pada tes lain, seperti X-ray, ultrasound, atau CT scan. Dan biayanya Rp 2,5 juta. Bayangkan! Rp 2,5 juta bukan untuk pengobatan tapi baru tahap pemeriksaan.

Hasil MRI ternyata juga tidak membuahkan hasil yang maksimal. Buktinya dokter mewajibkan Papa untuk melakukan pemeriksaan endoskopi. Sayangnya, kali ini Papa menolak. Papa takut untuk diendoskopi. Hal ini bisa dipahami. Saya pun ngeri ketika dokter menjelaskan cara kerjanya. Caranya adalah dengan memasukkan kabel dari mulut sampai ke dalam lambung kemudian kabel tersebut akan memotret bagian dalam tubuh sehingga bagian yang sakit jadi lebih mudah terdeteksi.

Menurut dokter pemeriksaan endoskopi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penyakit Papa harus  didiagnosis dengan akurat. Dokter tidak bisa melakukan tindakan pengobatan apapun sebelum mengetahui apa yang menyebabkannya muntah darah sampai begitu hebat.

Mama dan A Koh bolak-balik bergantian merayu Papa untuk diendoskopi tapi Papa berkeras menolak. Dia bilang, lebih baik dirinya sakit daripada mulutnya dimasukan kabel sedemikian panjang sampai ke dalam lambung. Tentu saja kami sekeluarga bingung bukan main. Sementara muntah Papa masih terus berlangsung sehingga dokter harus mentransfusi darah baru secara terus-menerus untuk mengganti darah yang terbuang.

"Coba sekarang kamu yang merayu Papa, Yo," usul Mama.

"Ah, kalo sama A Koh dan Mama aja Papa menolak, apalagi sama Yoyo?" jawab saya.

"Coba aja dulu, Yo. Sekarang kamu keliatan dekat banget sama Papa. Siapa tau justru sama kamu, dia mau," A Koh ikut berkolaborasi dengan Mama untuk mempengaruhi saya.

Saya tidak menyahut. Sebetulnya saya bukan tidak bersedia merayu Papa untuk melakukan endoskopi. Tapi saya takut permintaan itu akan membuatnya marah. Saya sedang menikmati kemesraan saya dengan beliau sehingga saya enggan melakukan apapun yang sekiranya akan membuat hubungan kami berpotensi menjadi renggang.

"Kamu mau kan membujuk Papa, Yo? Please...!" kata Mama dengan suara memelas.

"OK, deh. Yoyo mau membujuk Papa tapi Yoyo nggak janji akan berhasil, lho," sahut saya menyerah.

"Just do your best. Namanya juga usaha. Kalo Papa menolak juga tidak apa-apa. Yang penting kan kita sudah mengusahakan sebisanya," kata Mama lagi.

Malam itu giliran saya jaga di rumah sakit. Saya duduk di samping ranjang, sementara Papa yang sedang tertidur kelihatan sangat pucat. Wajahnya kuyu dan badannya terlihat lemas. Saya memandang parasnya dengan rasa cinta dan iba tiada tara.

Sambil menemani Papa, saya membaca buku naskah drama berbahasa Perancis yang berjudul 'Huis Clos'. Nama penulisnya adalah Jean Paul Sartre, seorang penulis dan tokoh eksistensialisme asal Perancis yang hidup di tahun 1905 -- 1980. Buku ini sangat terkenal dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Di Indonesia buku ini diterjemahkan oleh Asrul Sani dengan judul 'Pintu Tertutup'.

"Kamu nggak pulang, Yo?" Sekonyong-konyong Papa bertanya tanpa membuka kelopak matanya.

"Yoyo malam ini nginep di sini nemenin Papa," sahut saya sambil menggenggam tangannya.

"Papa nggak usah ditemenin, Yo. Kamu pulang aja sana," kata Papa lagi.

"Nggak mau! Yoyo akan menginap di sini. Kalau perlu, Yoyo nggak akan pernah pulang sampai Papa sembuh."

"Anak gendeng!" gumam Papa seraya tersenyum sekilas.

Sejenak kami berdua terdiam. Kemudian saya mencoba membuka percakapan kembali, "Papa."

"Kenapa, Yo?" tanya Papa masih dengan mata terpejam.

"Papa sayang nggak sama Yoyo?"

Kali ini Papa membuka matanya dan tersenyum. "Pertanyaan apa itu?" kata Papa. "Kamu kan tau Papa sayang banget sama kamu."

Saya menggigit bibir dan mengeraskan hati untuk bertanya, "Kalau benar Papa sayang, boleh nggak Yoyo minta sesuatu dari Papa?"

"Kamu boleh minta apa aja. Kalau Papa sanggup, pasti Papa kasih."

"Janji? Papa nggak bohong?"

"Tapi jangan minta mobil mewah, apartemen, jetski dan deposito, ya? Waktu di rumah Pak Lie itu, Papa cuma bercanda," sahut Papa dengan senyum makin lebar.

"Hihihihihi...." Senang rasanya melihat Papa masih bisa becanda, berarti semangat hidupnya masih cukup besar.

"Kamu mau minta apa, Yo?" tanya Papa sambil mengusap-usap tangan saya.

"Papa janji dulu. Kalo udah janji, baru Yoyo bilang minta apa."

"Iya. Papa janji," sahut Papa tersenyum kembali.

Inilah saat yang sangat menentukan. Kesempatan emas ini tidak boleh saya sia-siakan, "Begini, Pa. Yoyo sayang sama Papa. Yoyo pengen Papa sembuh. Papa nggak boleh sakit."

"Siapa sih manusia di dunia ini yang mau sakit, Yo?" tukas Pak Yo. Tangannya bergerak meraih kepala saya, mengusap rambut lalu pindah mengusap-usap pipi dan bertanya, "Kamu minta apa, Yo?"

Dengan suara hampir tak terdengar saya melanjutkan, "Yoyo mau minta supaya Papa mau menjalani pemeriksaan endoskopi itu."

Ada sedikit keterkejutan di mata Papa. Tangannya turun kembali ke atas kasur. Rupanya dia sama sekali tidak menyangka permintaan saya itu.

"Menurut dokter, itu satu-satunya cara untuk mendeteksi penyakit Papa," sambung saya lagi.

Saya menunggu tapi Papa tidak berucap sepatah kata. Bahkan kini dia kembali menutup matanya.

Aduh! Saya takut sekali Papa marah sehingga tidak berani mendesaknya lebih lanjut. Saya pun meraih buku tadi dan meneruskan membaca.

Keheningan yang berlangsung cuma sekitar 5 menit tapi terasa lama sekali, sampai akhirnya Papa kembali membuka matanya dan berkata, "Yoyo."

"Ya, Pa?" tanya saya harap-harap cemas.

Papa sejenak terdiam lagi. Dia menghela napas panjang beberapa kali lalu melanjutkan perkataannya, "Papa bersedia melakukan endoskopi sesuai dengan permintaan kamu."

Yeay! Saya girang bukan main mendengarnya. Saya genggam tangannya dan berucap, "Terima kasih, Papa. Somoga dengan cara ini penyakit Papa bisa terdeteksi dan bisa segera sembuh."

"Hus! Papa belum selesai ngomong."

"Oups, iya maap. Papa mau ngomong apa?"

"Papa mau mengabulkan permintaan kamu tapi dengan 1 syarat," katanya lagi.

Dan saya pun was-was lagi namun tak tahan untuk tidak bertanya, "Apa syaratnya, Pa?"

Papa tersenyum sekilas tapi dia tidak meneruskan kalimatnya. Seperti tadi dia menjulurkan tangan dan mengusap-usap pipi saya dengan penuh kasih sayang.

Saya menggenggam tangannya dan mengulang pertanyaan, "Apa syaratnya, Pa?"

"Syaratnya kamu harus mencium Papa sambil bilang 'I love you'. Sudah lama sekali kamu nggak melakukannya ke Papa."

Saya surprise bukan main. Memang sejak Papa tidak merasa malu lagi dicium, saya sudah jarang menciumnya. Sungguh tidak disangka permintaannya cuma seremeh ini. Tanpa disuruh dua kali, saya langsung menghampiri dan menciumnya bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Dari pipi kiri, pipi kanan, lalu dahi, lalu jidat, pindah ke ubun-ubun kemudian dimulai dari awal lagi di pipi kiri. Setiap ciuman selalu saya selipkan kalimat 'I love you'. 

Cup! "I love you Papaku." Cup! "I love you, Papaku sayang.." Cup! "I love you so much, Papaku." Cup! "I love you, Papa tercinta." Cup! "I love you Papanya Yoyo...."

Papa tersenyum tapi matanya berkaca-kaca.

Senyum dan air mata jarang sekali hadir berbarengan. Namun ketika keduanya muncul bersama, emosinya terasa jauh lebih mengharukan. Melihat wajahnya, saya pun ikut meneteskan air mata. Saya peluk beliau dengan lembut, meletakkan kepala di dadanya, sementara bibir saya  terus membisikkan 'I love you, Papaku' tanpa putus sampai akhirnya Papa tertidur lelap.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun