Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pertengkaran di Bus

18 November 2017   18:33 Diperbarui: 18 November 2017   18:50 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Where do you park your bus?" tanya saya.

Sambil merebut sebagian bawaan saya, Torro langsung berjalan, "Follow me!"

Kami tidak langsung menuju hotel karena hari masih pagi. Waktu check in di hotel dimulai pukul 2. Kalau kita memaksa untuk check in sebelum jam itu, pihak hotel akan mengenakan tambahan biaya separuh dari harga normal kamar perhari. Untuk itulah dari bandara kami langsung menuju Volendam, sebuah kampung nelayan yang sangat terkenal bagi wisatawan.

Dalam perjalanan ke Volendam, saya menceritakan sejarah berdirinya persekutuan negara-negara Eropa dalam Perjanjian Schengen. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang sangat penting karena telah merombak tatanan yang selama ini dianut oleh negara-negara di Eropa Barat. Misalnya soal penghapusan pengawasan perbatasan antar-negara.

Yang paling menghebohkan tentu saja aturan kebijakan bersama untuk izin masuk jangka pendek yaitu satu visa untuk banyak negara; visa Schengen. Perjanjian ini juga mencakup penyelarasan kontrol perbatasan eksternal dan kerjasama polisi lintas batas.

Kenapa perjanjian ini dinamakan Perjanjian Schengen? Karena penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan di sebuah desa kecil di Luxembourg yaitu Desa Schengen.

"Kalau tempat belanja yang bagus di mana?" Tiba-tiba Ibu Ratna, salah seorang dari ibu-ibu melayu yang modis tadi bertanya. Rupanya dia bosan mendengar topik pembicaraan saya.

"Oh, ada banyak, Bu. Tapi yang paling terkenal tentu saja Champs-lyses di Paris. Besok kita pergi ke sana," jawab saya sambil tersenyum ramah.

Satu hal lagi tentang turis Indonesia. Kebanyakan dari semua yang pernah saya antar, jarang sekali yang menyukai sejarah. Misalnya ketika menerangkan tentang menara Eiffel, saya menceritakan sejarah bagaimana Gustave Eiffel dengan jenius membuktikan bahwa kekuatan besi tidak kalah dengan baja. Saya mengira para turis akan kagum ketika mengetahui bahwa menara Eiffel itu dibuat dari besi dan bukan baja. Tapi apa reaksi mereka? Tak ada satupun yang peduli. Mereka terlalu sibuk dengan kamera dan gadgetnya untuk berselfie.

"Saya tidak hanya mau ke sana tapi juga mau ke...." Kata Ibu Ratna lagi sambil mengeluarkan catatan dan mengambil kacamata bacanya yang berlensa tebal.

Melihat tarikan muka Si Ibu, saya mulai merasa was-was dan mempunyai firasat sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun