"Awwww...!!!" Â Mei Hwa menjerit.
GUBRAK! Sepeda Mei Hwa menabrak sesuatu dan tubuhnya terbanting keras di trotoar yang keras.
Saya langsung ngerem sepeda saya dan turun untuk menolong Mei Hwa. Rupanya sebuah akar pohon telah menembus trotoar sampai memecahkan lantainya dan menghalangi jalur sepeda.
"Kamu nggak papa, Mei?" tanya saya sambil membantunya bangun. Sementara sepedanya masih terlentang dengan kedua roda masih berputar.
"Aduh! Sakit banget nih mata kakiku," keluh Mei-mei, begitu dia biasa dipanggil.
"Waduh! Kita ke rumah sakit aja, ya? Takutnya ada tulang kamu yang patah," usul saya.
Mei Hwa masih meringis kesakitan. Tanpa menunggu jawaban, saya parkir sepeda kami di depan sebuah toko kacamata, menguncinya lalu bergegas menyetop taxi yang lewat dan langsung menuju rumah sakit.
Ternyata cidera Mei-mei lebih parah dari yang saya perkirakan. Sendi yang terdapat dekat dengan mata kakinya retak cukup panjang. Dokter memakaikan gibs dan menyuruhnya beristirahat selama minimal seminggu tidak boleh berjalan. Kalau terpaksa harus berjalan, Mei-mei diharuskan memakai tongkat untuk meminimalisasi pergerakan kaki kirinya.
Mei Hwa adalah teman saya yang bermukim di Munchen. Dia bekerja sebagai tour guide. Saya selalu memakai jasanya setiap kali membawa turis Indonesia ke kota ini. Saking seringnya bekerja bareng, lama-kelamaan terjalinlah persahabatan di antara kami.
Saya sangat menyukai Mei Hwa. Dia orangnya cantik dengan tinggi sekitar 162 Cm. Badannya langsing. Meskipun cina, mata Mei-mei tidak sipit seperti saya. Matanya indah dengan ukuran besar tapi serasi, Rambutnya diponi dan bagian belakangya diikat dengan gaya ekor kuda
Sudah sering Mei-mei meminta saya untuk mengunjunginya saat sedang cuti. Dia ingin sesekali kami berdua saja menghabiskan waktu tanpa diganggu oleh turis. Dan akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Setelah mengantarkan turis ke Bandara Schiphol, saya memperpanjang masa tinggal saya di Eropa untuk mengunjungi sahabat saya ini.
Munchen adalah sebutan orang lokal, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan Munich. Kota ini  adalah ibu kota dari negara bagian Bayern atau Bavaria. Munchen sebuah kota yang sangat cantik. Bangunan-bangunan tua bersejarah dan berasitektur tinggi berserakan di sini. Berbeda dengan di Jakarta, pejalan kaki sangat dimanjakan di sini. Trotoar selebar 6 meter plus jalur sepeda membuat kita betah untuk berjalan kaki atau bersepeda. Jadi tidak heranlah jika orang Eropa lebih sehat daripada orang Jakarta karena memang mereka lebih banyak bergerak.
Jerman adalah surganya peminum bir. Ke mana pun Anda pergi, Anda akan menemukan tempat minum bir di penjuru sudut kota. Hal ini tidak perlu diherankan sebab negara ini memiliki lebih dari 1250 pabrik bir dan 600 di antaranya berada di wilayah Bavaria. Begitu terkenalnya bir Jerman sehingga banyak orang berseloroh dengan mengatakan ada 3 agama besar di Jerman, yaitu Agama Katolik, Sepakbola dan Bir.
Kalau Anda pecinta bir, datanglah pada bulan Oktober. Di bulan ini ada acara tahunan yang sangat ditunggu-tunggu bukan saja oleh penduduk setempat tapi juga oleh semua orang di Eropa. Acara ini biasa disebut dengan OktoberFest. Dalam pesta itu dibangun tenda yang sangat besar. Di dalamnya dibangun bar-bar dengan desain dari jaman dulu kala. Semua peserta Oktoberfest memakai pakaian tradisional Bavaria. Acara ini selalu dibuka oleh walikota dengan cara membuka sebuah tong besar berisi bir yang menandakan pesta telah dibuka. Tidak tanggung-tanggun, pesta bir ini dilaksanakan selama 2 minggu berturut-turut di daerah  Theresienwiese (d'Wiesn).Â
Di Pesta Oktober ini hanya dijual bir-bir lokal. Tapi tidak seorang pun yang kecewa dengan kebijakan itu karena bir jaman sangat variatif dengan kadar alkohol dari yang ringan sampai yang sangat keras. Bir di sini dijual dengan harga yang sangat murah bahkan kalau Anda beruntung, di jam-jam tertentu akan disediakan bir gratis bagi pengunjung. Begitu serunya acara ini sehingga kita akan menemukan bekas muntah di mana-mana karena pengunjung banyak yang mabuk kebanyakan bir.
 Sudah 3 hari ini saya berada di Munchen dan menginap di apartemennya Mei-mei. Apartemennya sangat mungil dengan 1 kamar yang bersebelahan dengan dapur yang langsung berhubungan dengan balkon. Untungnya kamar tamunya lumayan besar. Kamar tamu ini berfungsi sekalgus sebagai ruang keluarga dan kamar kerja. Di sana terdapat sebuah Smart TV berukuran 38 Inch, sebuah sofa besar dan dua buah kursi. Di pojok terdapat meja kerja dengan peralatan gadget yang cukup lengkap.
Tempat tinggal Mei-mei  terletak di pinggir kota dengan pemandangan yang elok. Semua apartemen di situ dibangun dengan gaya arsitektur yang seragam namun warnanya berwarna-warni. Kalau dilihat dari atas, sekumpulan apartemen seperti membentuk gambar kapsul. Di tengahnya terdapat sebuah taman yang cukup luas. Berbagai permainan anak-anak dan lapangan golf kecil juga tersedia untuk orang dewasa.
Setiap hari Mei-mei dan saya menghabiskan waktu bersama dengan bersepeda menyusuri kota cantik ini. Kadang kami beristirahat di sebuah taman yang sangat luas sambil menyantap bekal makan siang yang kami bawa dari rumah. Selesai makan Mei Hwa sibuk dengan gadgetnya sedangkan saya membaca buku seraya berbaring di rumput yang tebal. Sampai akhirnya kegiatan bersepeda kami terhenti gara-gara Mei-mei cidera jatuh dari sepedanya.
"Yoyo," Mei Hwa memanggil.
"Ya, sayang. Ada yang bisa dibantu?" tanya saya menghampiri MeiHwa yang masih terbaring di tempat tidur. Kakinya masih digibs dan digantung dengan cara diikatkan pada kait yang dipasang di atas tempat tidur.
"Yoyo, daripada kamu nganggur di rumah nemenin aku, besok kamu ikut kursus bartender aja."
"Loh? Kok kamu tiba-tiba punya ide aneh itu?" tanya saya keheranan.
"Aku udah daftar dari bulan lalu tapi kan sekarang aku sakit..."
"Oh, kamu mau aku gantiin kamu, ya?"
"Kamu udah cantik, pintar pula. Iya maksud aku emang gitu."
"Nggak usah, Mei. Biar aku jagain kamu aja."
"Kursusnya cuma sehari kok. Bayarnya lumayan mahal. Daripada uang terbuang percuma, mendingan kamu gantiin aku aja," desak Mei-mei lagi.
Setelah berdebat beberapa puluh menit, akhirnya saya mau juga menerima tawaran itu.
Esoknya dengan bersepeda, saya berangkat ke HOTEL MNCHEN PALACE yang beralamat di Trogerstrae 21D-81675 Mnchen. Semua peserta yang mengikuti kursus tersebut tujuannya seragam; mereka  ingin segera mendapat pekerjan sebagai  bartender atau waiter di cafe, diskotik dan hotel.
Sepanjang perjalanan otak saya terus berputar. Saya pikir-pikir, rasanya tidak ada salahnya mempelajari ilmu baru. Siapa tau bisa menjadi bekal kalau saya berniat tinggal di Eropa. Seandainya mau jadi penghuni tetap di Eropa, saya bisa punya penghasilan tambahan. Apabila sedang tidak ada job membawa turis, saya bisa bekerja sebagai bartender freelance di berbagai tempat hiburan yang banyak bertebaran di kota Paris. Terus terang kalau harus memilih untuk menetap, saya tanpa ragu akan memilih Paris sebagai tempat tinggal. I love Paris.
Sesampainya di tempat kursus, ada sekitar 40 orang yang mengikuti pelatihan tersebut. Hampir semua peserta berasal dari Asia dan Afrika. Yang dari Asia kebanyakan adalah orang Philipina, India dan Pakistan. Yang dari Afrika didominasi oleh orang Maroko. Sisanya adalah orang Nigeria, Mesir dan Afrika Selatan. Cuma ada dua orang bule yang ikut bergabung di situ. Keduanya berasal dari negara-negara kecil pecahan dari Uni Sovyet.
Setelah menunggu sekian lama, tidak lama kemudian munculah Sang Trainer. Orangnya tinggi besar, gemuk, berkumis dan berjenggot. Secara keseluruhan, penampilannya mengingatkan saya pada penyanyi Pavaroti. Dia memakai tuxedo dan berjalan ke arah kami dengan langkah yang sangat percaya diri bahkan cenderung bossy, seperti komandan jenderal yang sedang memeriksa barisan tentaranya.
Walaupun demikian, pelatihan berjalan sangat menyenangkan dan sangat membuka wawasan kami. Materinya sangat inspiratif dan mudah dimengerti. Sang Trainer juga memberi simulasi-simulasi berupa permainan yang sangat menyenangkan. Para peserta workshop dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian disuruh menjadi tamu restoran dan sebagian lainnya berperan sebagai waiternya.
Dengan sabar tapi sangat tegas, Pak Ricardo mengajarkan kami bagaimana cara melayani, mengenali berbagai macam gelas dan minuman, bagaimana membawa baki, membuka champangne.
Kami juga diberi buku panduan untuk meracik berbagai minuman cocktail, yaitu minuman beralkohol campuran. Setiap campuran diukur dulu memakai jigger lalu dimasukan ke dalam shaker untuk mengocok campuran minuman agar merata lalu langsung dimasukkan ke dalam gelas penyaji. Proses ini diperlukan karena ada beberapa bahan campuran yang sulit dilarutkan, misalnya pada minuman Pink Lady, silde car dan lain-lain. Â
Tentu saja hanya beberapa jenis minuman saja yang sempat kami praktekkan. Sisanya bisa dipelajari di rumah dengan memakai buku panduan tersebut. Di dalam buku tersebut juga terdapat pelajaran untuk belajar jugling, yaitu kemampuan untuk melemparkan botol seperti yang biasa kita lihat didemonstrasikan oleh para bartender.
Bahkan kami juga diajarkan bagaimana menerima telepon kalau ada tamu yang ingin melakukan reservasi. Sang trainer mengajarkan cara berbicara di telepon yang benar-benar membuka pikiran saya yang sempit ini.
"Every time you receive a call, make sure that the person calling know that you're smiling," kata Ricardo.
Semua orang langsung kebingungan. Bagaimana mungkin membuat lawan bicara kita ditelpon mengetahui bahwa kita sedang tersenyum? Tapi saya diam saja karena saya takut membuat dia marah kalau kebanyakan bertanya.
"Sir, how come our customer know that we are smiling? We are on the phone. we are not a magician." Akhirnya Abdul seorang peserta dari Maroko tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Smiling voice!" sahut Pak Ricardo.
Suara lebah kembali berdengung memenuhi seluruh isi ruangan. Semua kebingungan dengan istilah 'Smiling voice" dari pelatih gendut itu.
"Dari semua pancaindera yang kita miliki, mata adalah faktor yang paling mendominasi. Bahkan mata sering kali mengintervensi indera lainnya."
"Maksudnya bagaimana, Mister?" tanya seseorang lagi.
"Kalau kalian melihat makanan yang berantakan dengan warna hitam terkesan kotor, kita cenderung menghakimi bahwa makanan tersebut pastilah tidak enak. Dari penampilannya saja terlihat tidak menarik,"
Kami semua terdiam.
"Padahal yang berhak menilai rasa makanan itu enak atau tidak bukanlah mata, tapi lidah!"
"Oooooo..." kami semua mulai mengerti arah omongan trainer itu.
"Bagaimana bisa mengatakan sebuah makanan itu enak atau tidak kalau lidah kalian tidak pernah mencicipinya sama sekali?"
Kami terdiam kembali.
"Tapi itu adalah sebuah fakta bahwa mata juga bisa menilai tentang rasa..."
Kami masih terdiam.
 "Jadi telinga juga seharusnya bisa mendengar dari suara kalian apakah kalian sedang tersenyum atau tidak ketika sedang berbicara".
Kami masih menunggu omongan trainer tersebut.
"Jadi ketika sedang menerima telepon, kalian harus belajar bagaimana berbicara dengan smiling voice."
Banyak sekali ilmu yang kami pelajari hari itu. Saya sama sekali tidak menyesal mengikuti pelatihan ini. Pak Ricardo begitu menguasai ilmu tentang menjadi pelayan dengan segala filosofinya. Wuiiih...ternyata menjadi pelayan ga begitu rendah-rendah amat setelah mendapat pengetahuan dari Bapak ini.
Jam 5 Teng, acara workshop selesai. Sertifikat dibagikan untuk kami semua. Sebelum bubar, Pak Ricardo menutup acara dengan pidato yang saya yakin tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup.
"Ladies and Gentlemen. Thank you for having me today. We've just finished our workshop, congratulation for all of you and I hope you all can get the job soon."
Semua orang dengan takzim mendengarkan. Sejujurnya kami sudah merasa takluk dan kagum dengan kepiawaian Bapak Gendut ini.
 "Before you're all leaving,  I just want to tell you something to remember..."
Saya langsung mengambil notebook saya untuk membuat catatan.
"It doesn't matter you'll be a waiter or bartender, your job is to serve people."
Kami masih terdiam dan menunggu kelanjutan pidatonya.
"But remember! We serve but we are not a servant. And the greatest one who serve in this universe is God. Good luck guys."
Saya semakin terpesona pada Pak Ricardo! Dulu, setiap kali mendengar kata 'pelayan' pastilah visual yang muncul di benak saya adalah sosok seseorang yang miskin sedang menyapu, membuatkan teh, menyediakan makanan dan minuman atau apalah yang bentuknya sedang melayani orang lain. Pokoknya kita menempatkan kata pelayan sebagai kasta yang paling rendah dan cenderung hina.Â
Dan secara menakjubkan dan hanya dalam sekian menit pemahaman tersebut dijungkirbalikkan oleh trainer ini. Kata melayani dan pelayan ternyata memiliki perbedaan seperti bumi dan langit. Bahkan 'melayani' juga adalah sesuatu yang dilakukan oleh Sang Pencipta.Â
Saya adalah seorang pemikir (thinker). Sebagian besar hidup, saya jalani dengan merenung dan berpikir. Setelah mencapai usia sampai setua ini, baru kali ini saya mendapat pencerahan yang sangat berharga. Saya baru menyadari bahwa kata'melayani' ternyata adalah rahasia hidup.Â
Saya baru menyadari sedalam-dalamnya ternyata hakikat hidup itu adalah melayani. Tuhan melayani umatnya, Presiden melayani rakyatnya, pengusaha melayani karyawannya, pedagang melayani pelanggannya, dokter melayani pasiennya, guru melayani muridnya, suami melayani isterinya, isteri melayani suaminya. Begitu juga sebaliknya.
Setiap orang harus saling melayani satu sama lain. Dengan melayani, kita akan membahagiakan orang lain. Â Pada saat orang berbahagia karena kita, maka di situlah kebahagiaaan kita sendiri akan diperoleh.
Saya terharu bukan main atas pemahaman hidup ini. Tanpa terasa air mata turun membanjiri pipi. Alangkah luar biasanya pelajaran hari ini. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Pak Ricardo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H