Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan
Unsurnya adalah Keadaan tertentu
Keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Ada beberapa alasan menurut penulis dapat dijadikan pijakan untuk menghukum para koruptor dengan hukuman maksimal atau Mati,adalah:
- Jumlah kerugian yang dialami negara sangat besar terutama berkaitan dengan lingkungan.
- Ada pemufakatan jahat dalam kasus ini, tercermin dari jumlah kerugian besar yang dialami negara,
- Ada unsur perencanaan dan keadaan tertentu, dimana negara masih dalam kondisi pemulihan ekonomi pasca bencana covid 19 dan imbas resesi global.
- Melibatkan pejabat inggi negara
Penguatan vonis maksimal atau MATI kembali diperjelas oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan pada Pasal 2 dan Pasal 3 uu TIPIKOR. Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tingkat koruptor dibagi menjadi lima dari yang paling berat, berat, sedang, ringan dan paling ringan. Khusus Koruptor kategori paling berat dapat di hukum penjara seumur hidup bahkan vonis mati. Salah satu syarat dari 12 syarat tentang penjatuhan vonis mati menurut PERMA adalah terdakwa melakukan tindak pidana korupsi yang jumlahnya lebih dari 100 miliar.
Adanya kedua aturan hukum tersebut UU TIPIKOR dan PERMA seharusnya penegak hukum tidak ragu dan harus yakin memvonis pelaku dengan hukuman maksimal atau MATI. Proses pembuktian kasus korupsi 271 T yang sedang berlangsung tidaklah mudah karena kompleksitas dalam memaknai kondisi tertentu menurut uu, konversi real kerugian negara dalam bentuk uang serta membuktikan adanya unsur kesepakatan terutama pemufakatan jahat dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Pembahasan tentang pemufakatan dan akibat hukumnya sudah diatur dalam Pasal 15 UU TIPIKOR bahwa:
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Jelas dalam pasal tersebut di atur bahwa apabila ada/terjadi pemufakatan dalam melakukan tindak pidana korupsi maka pelaku dapat dihukum sesuai pasal-pasal yang ditentukan di atas termasuk Pasal 2 yang menyinggung hukuman maksimal atau vonis Mati.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai Pasal 5 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 buat pelaku korupsi jangan dijadikan alasan untuk meringankan hukumannya. Hak asasi kaitannya terhadap hak tersangka ketika diperiksa tetap diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) bahwa “setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan”.
Viralnya kasus Vina Cirebon akhir-akhir ini, terasa perkembangan penyelidikan dan penyidikan kasus mega korupsi 271 T agak melambat, Publik bertanya-tanya apakah viralnya kasus Vina merupakan pengalihan isu terhadap kasus mega korupsi ini. Kekuatiran publik sebentar lagi akan terjawab melihat perkembangan kasus Vina Cirebon. Tapi, apapun itu, bagi publik kasus korupsi 271 T harus secapatnya dituntaskan karena publik sudah terlanjur dilibatkan dengan viralnya kasus ini. Proses hukumnya harus dipercepat, semua pelaku yang terlibat harus ditangkap, disidangkan dan dihukum seberat-beratnya (keadilan retributif).
Saat ini total tersangka sudah mencapai 21 orang dengan alat bukti dan barang bukti yang cukup. Kinerja kejagung patut diapresiasi atas prestasi penangkapan para tersangka. Publik menaruh kepercayaan kepada kejaksaan terhadap konsistensi keberlangsungan penyidikan sampai pelaksanaan putusan vonis nanti.