"Ah... dasar lemah.. Masa gitu doang langsung nyerah.."
"Kamu masih mending... lah aku..."
"Ngapain ke psikolog.. sini cerita sama aku aja.."
"Dikit-dikit mental health.. dikit-dikit mental health.."
Pasti sering kan mendengar ungkapan-ungkapan semacam itu? Saya sendiri sering mendengarnya dari lingkungan sekitar. Biasanya kalimat-kalimat tadi terucap saat ada rekan atau saudara yang sedang mengalami perasaan down. Hmm... barangkali niatnya mau memberi semangat? Atau memang risih dengan celotehan sedih seseorang yang sedang jatuh? Atau malah menganggap remeh peristiwa orang lain? Entahlah, saya sendiri juga bingung. Tapi terlepas dari apapun alasannya, sebenarnya apakah kesehatan mental sendiri itu emang penting?
Untuk menjawab pertanyaan tadi, mari kita kulik dulu sedikit apa sih kesehatan mental itu? Saya akan merangkum beberap definsi dari berbagai sumber. Menurut WHO, kesehatan mental adalah sebuah kondisi mental yang sejahtera sehingga memungkinkan seseorang mampu mengatasi tekanan hidup, mampu menyadari kemampuan dirinya, mampu belajar dan bekerja dengan baik, serta mampu memberikan kontribusi terhadap lingkungannya. Sementara menurut UNICEF, kesehatan mental adalah bagian yang sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan seseorang secara menyeluruh. Versi Indonesianya, kita punya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (mirip-mirip definsi dari WHO ya?).
Bila melihat definisi-definisi di atas, kesehatan mental faktanya memang merupakan aspek penting dalam kehidupan kita. Atau bisa dibilang bahwa tidak mungkin seseorang bisa dianggap sehat sepenuhnya kalau kondisi mental sendiri tidak sehat. Istilah kerennya, "There is no health without mental health". Kaitannya dengan itu, mari kita sekarang lihat data-data mengenai kesehatan mental yang sudah ada.
Fakta dalam Data
WHO (2022) dalam bukunya "Addressing Mental Health in Indonesia" menuliskan bahwa di tahun 2018 saja terdapat sekitar 6,1% penduduk mengalami depresi. Parahnya, hanya 9% dari penderita tersebut yang mendapatkan akses ke perawatan.
Indonesia sendiri juga sebenarnya ada survei serupa. Terbaru adalah dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018. Pada SKI 2023, prevalensi kasus depresi di Indonesia sebesar 1,4% dengan jumlah tertinggi ada pada kelompok anak muda (15-24 tahun), yakni sebesar 2%. SKI 2023 juga menemukan bahwa setidaknya terdapat 61% anak muda dengan depresi memiliki pemikiran untuk bunuh diri. Namun, meski anak muda ada pada prevalensi yang paling tinggi, cuma 10,4%-nya yang menjalankan perawatan. Sementara menurut Riskesdas 2018, prevalensi penduduk yang mengalami depresi adalah sebesar 6,1% dengan prevalensi pada anak muda (15-24 tahun) sebesar 6,2%. Dari total prevalensi tadi, hanya 9%-nya yang menjalani perawatan.
Data mengenai kasus bunuh diri pun juga tidak kalah mengejutkan. WHO (2021) menuliskan bahwa lebih dari 703.000 orang tiap tahun meninggal akibat bunuh diri. Artinya, setiap satu detik ada sekitar 40 orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Peristiwa ini bahkan umumnya paling sering terjadi pada orang yang berusia kurang dari 50 tahun. Parahnya, tiap satu orang dewasa yang memilih untuk mengakhiri hidup, ada banyak orang dewasa lainnya yang terindikasi melakukan tindakan serupa. Hal ini merupakan fenomena yang terjadi secara global dan membuat kasus bunuh diri menempati posisi ke-4 sebagai penyebab kematian terbesar manusia yang berusia 15-29 tahun, setelah kecelakaan jalanan, TBC, dan kekerasan dalam hubungan interpersonal.
Ini baru data depresi dan bunuh diri saja, belum data-data masalah dan gangguan kejiwaan lainnya yang kalau dicatat semua bisa bikin geleng-geleng kepala.
Jadi . . .
      Kembali ke pertanyaan awal, kondisi ekonomi sedang carut marut kok sok bahas kesehatan mental. Memang penting? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus pandang masalah ini dari berbagai perspektif.
      Mengutip teori hierarki kebutuhan Maslow (dalam Alwisol, 2019), manusia sebenarnya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara bertingkat. Tiap tingkatan ini hanya bisa terpenuhi ketika tingkatan sebelumnya sudah relatif terpenuhi. Tingkatan itu diantaranya ada kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa keamanan, kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan terakhir kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Nah, stabilitas ekonomi ada di tingkatan kedua, yakni kebutuhan akan rasa aman. Untuk memenuhi tingkatan itu, tingkatan pertama harus terpenuhi dulu, salah satu wujudnya adalah terpenuhinya kebutuhan makan.
Lantas apakah kita sudah ada kestabilan untuk melaju ke tingkatan kedua, bahkan tingkatan-tingkatan selanjutnya? Melansir dari Berita Resmi Statistik (2024), hingga Maret 2024, terdata setidaknya masih terdapat 25,2 juta penduduk Indonesia yang berada dalam garis kemiskinan. Sementara Tempo (2024), dalam artikelnya menuliskan bahwa Indonesia sendiri menduduki peringkat ketujuh di Asia Tenggara untuk negara yang memiliki penduduk miskin. Artinya secara data memang harus diakui kalau negara kita ini masih banyak penduduk yang belum stabil secara ekonomi.
Sekarang masalahnya, untuk mencapai sehat mental juga harus dibarengi dengan sehat ekonomi. Kebayang nggak sih, bagaimana caranya seseorang bisa menjaga kestabilan mentalnya kalau dia sendiri masih kebingungan soal apa yang mau mereka makan besok. Susah juga kan? Tapi di sisi lain, kalau kondisi mentalnya juga amburadul, bagaimana caranya dia juga bisa berpikir jernih dan berperilaku sehat? Padahal untuk mencapai taraf perekomonian yang mencukupi juga perlu pikiran dan perilaku yang sehat juga kan? Jadi paradoks akhirnya.
Nah, di sinilah titik pentingnya. Kedua aspek, baik mental dan ekonomi sama-sama penting. Maka keduanya mesti di-manage secara bebarengan namun seimbang. Nggak bisa bilang sehat mental duluan, memang nggak bisa bayar cicilan nggak bikin puyeng? Sebaliknya, sehat ekonomi duluan juga nggak bisa, memang bagaimana caranya bisa bayar cicilan pas pikiran lagi nggak jernih? Takutnya malah bertindak yang bukan-bukan dengan alasan memenuhi kebutuhan. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengupayakan keduanya sesuai takaran.
Sebagai manusia biasa, it's okay kok untuk merasa kewalahan. Memang kita diciptakan sepaket dengan emosi negatif semacam itu. Terima saja. Nah, dari sana mungkin bisa dimulai untuk belajar mengidentifikasi emosi-emosi yang muncul beserta dengan pemicunya. Kalau ternyata keadaan finansial bikin stres dan sepertinya sedang susah untuk diotak-atik, ya sudah. Mulai mengotak-atik bagian yang bisa kita jamah. Apa? Ya emosi itu tadi. Belajar untuk me-manage emosi alih-alih hanya menelannya mentah-mentah dan berpura-pura baik-baik saja. Lampiaskan emosi-emosi negatif tadi ke medium yang paling gampang dijangkau, menulis misalnya, atau bernyanyi teriak-teriak di kamar mandi.
Sesekali perlu juga kok curhat ke orang terpercaya untuk sekedar merilis beban supaya bisa fit lagi. Ini berguna supaya dapat mengambil keputusan berikutnya dengan rasional. Bahkan sekarang BPJS juga sudah ada fasilitas kejiwaan, manfaatkan saja kalau memang sudah mulai merasa kehidupan sehari-harinya terganggu. Intinya apapun lah yang dirasa sesuai asalkan plong. Dengan demikian, harapannya kita semua dapat tetap me-manage kesehatan mental, meskipun sedang diterpa badai ketidakstabilan finansial. Kalau sudah begitu kan kita jadi lebih tahu dan harapannya jadi lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Di lain sisi, peran serta pemerintah dalam memperbanyak fasilitas kejiwaan dan penyetabilan kondisi ekonomi negara juga sangat penting. Jadi nggak hanya sekedar sosialisasi tentang ekonomi dan kesehatan mental saja, sudah pada eneg dengan webinar dan presentasi semacam itu. Tapi ada aksi yang efektif dan efisien dalam menjangkau masyarakat. Syukur-syukur ada fasilitas deteksi dini bagi orang yang berpotensi teserang gangguan kejiwaan. Bagaimana menurut kalian?
Referensi
Alwisol. 2019. Psikologi Kepribadian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Badan Pusat Statistik. 2024. Berita Resmi Statistik No. 50/07/Th. XXVII. Jakarta.
Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Survei Kesehatan Indonesia Tahun 2023. Jakarta: Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan.
Tempo. 2024. "5 Negara Termiskin di Asia Tenggara Berdasarkan PDB per Kapita 2024, Ada Indonesia?", (Online), (https://dunia.tempo.co/read/1915785/5-negara-termiskin-di-asia-tenggara-berdasarkan-pdb-per-kapita-2024-ada-indonesia, diakses 04 November 2024).
World Health Organization. 2021. Suicide Worldwide in 2019: Global Health Estimates. Geneva: WHO.
World Health Organization. 2022. Addressing Mental Health in Indonesia. New Delhi: WHO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H