Viral video syur wanita bercadar hitam melakukan eksibisionisme di area terbuka di perkebunan teh Ciwidey, Bandung. Dalam video 39 detik itu, wanita tersebut buang air kecil sambil memvideokan alat kelaminnya di siang hari dalam kondisi ramai. Baju bagian dada terbuka sehingga memperlihatkan bagian belahan payudara." (Tribunjateng.com, 2023).
"N (23), mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Lampung diamankan atas kasus eksebisionis pada Selasa (1/10/2024). Dia ditangkap setelah videonya pamerkan alat kelamin di kasir minimarket, viral di media sosial." (Kompas.com, 2024).
"Beredar postingan di media sosial seorang pengendara motor memamerkan alat kelaminya. Parahnya aksi eksibisionis tersebut dilakukan di hadapan siswa perempuan di Kota Batu." (Detik.com, 2024).
Potongan tiga berita di atas hanyalah segelintir contoh dari banyaknya kasus memamerkan alat genital di depan umum. Kasus semacam ini cukup menyita perhatian masyarakat karena hal ini dianggap tidak lazim. Banyak juga anggapan yang kemudian muncul dimana perilaku semacam ini diasosiasikan dengan gangguan jiwa. Namun apakah benar demikian? Apakah menunjukkan alat genital di depan publik merupakan indikasi dari gangguan kejiwaan tertentu? Apa penyebabnya? Mari kita ulas bersama.
Gangguan Kejiwaan
Sebelum menyelam lebih jauh, mari kita kenal lebih dekat dahulu, apa sih gangguan kejiwaan itu. WHO (2022) dalam artikelnya menjelaskan bahwa "gangguan kejiwaan/gangguan mental adalah sebuah keadaan yang ditandai dengan gangguan signifikan secara klinis pada area kognisi, regulasi emosi, atau perilaku seseorang". Hal ini senada dengan yang dijelaskan oleh DepKes RI (2023) yang mengatakan bahwa "gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, sehingga dapat menimbulkan penderitaan pada individu dan/atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial". Makarim (2024), seorang dokter yang menuliskan artikelnya di HaloDoc juga mendefinsikan gangguan kejiwaan sebagai "sindrom atau sekelompok gejala yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang sehingga menyebabkan disfungsi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari". Jadi bisa disimpulkan bahwa gangguan jiwa adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan dalam aspek kognitif, afektif, dan konatif sehingga cara berpikir, cara meregulasi emosi, dan cara berperilakunya lain dari orang normal pada umumnya dan tentunya hal ini sangat berpengaruh baik bagi penderita itu sendiri maupun bagi lingkungan.
Nah, sudah tahu kan sekarang apa itu gangguan kejiwaan? Jadi apakah perilaku memamerkan alat genital ini juga termasuk gangguan kejiwaan? Jawabannya adalah YA. Gangguan ini sebenarnya sudah termuat dalam DSM-V, "kitab sucinya" para pskiater dan psikolog. Dalam DSM-V, gangguan semacam ini termasuk dalam rumpun Paraphilic Disorders atau Gangguan Parafilia. Gangguan parafilia merupakan gangguan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan hal-hal seksual, termasuk imajinasi hingga gairah kuat yang terjadi secara terus menerus terhadap benda, anak dibawah umur, stimulasi melukai tubuh, hingga fantasi berhubungan seksual dengan objek yang tidak wajar (Novita et al., dalam Ardiansyah et al., 2023). Gangguan parafilia ini menurut Ardiansyah et al., (2023) terjadi karena berbagai penyebab, diantaranya:
- Trauma akibat pelecehan dan kekerasan seksual di masa lalu, bahkan beberapa kasus terjadi pada masa anak-anak.
- Terpapar kondisi, lingkungan atau objek secara terus menerus dengan kegiatan seksual yang cenderung menyimpang.
- Masalah traumatis mengenai hubungan dengan lawan jenis.
- Keinginan untuk mendapatkan validasi terhadap suatu hal tertentu akibat dari penerimaan informasi atau pemahaman yang salah.
- Adiksi konten pornografi.
Penjelasan di atas senada dengan yang dijelaskan oleh Daud (2016) dalam artikelnya yang menjelaskan bahwa meskipun gangguan parafilia ini juga dapat berasal dari faktor nature, namun faktor nurture menjadi penentu yang paling kuat apakah seseorang dapat mengembangkan indikasi mengidap gangguan ini.
Gangguan parafilia ini sendiri sebenarnya merupakan umbrella term yang merujuk pada beberapa gangguan tertentu. Salah satunya ya eksibisionisme ini. Eksibisionisme adalah gangguan spesifik yang menjelaskan perilaku memamerkan alat genitalnya di depan publik. Yuk, kita bahas lebih dalam lagi.
Gangguan Eksibisionisme
Exhibisionistic disorder (gangguan ekshibisionisme) adalah gangguan yang ditandai dengan adanya dorongan seksual untuk mempertontonkan bagian genital pada orang lain (APA, dalam Rozi dan Mubina, 2016). Sementara menurut Rahma dan Latif (2024), eksibionisme merupakan gangguan kejiwaan yang disebabkan karena pelaku tidak mampu untuk berinteraksi dengan baik dengan lawan jenisnya sehingga untuk memuaskan hasrat seksualnya, pelaku melakukan aksi tersebut.
Di DSM-V, diagnosis gangguan eksibisionisme ini dapat diberikan ketika klien memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Menunjukkan gejala selama jangka waktu minimal 6 bulan dengan gairah seksual yang berulang dan intens akibat memaparkan alat genitalnya kepada orang lain, sebagai manifestasi dari khayalan, dorongan, atau perilaku tertentu.
- Individu tersebut telah bertindak berdasarkan dorongan seksual dengan orang yang tidak memberikan persetujuan, atau dorongan, atau fantasi seksual yang menyebabkan pengidap mengalami penderitaan atau gangguan yang signifikan secara klinis dalam aspek sosial, pekerjaan, atau aspek penting lainnya.
Tahu nggak? Ada satu hal unik lho dari pengidap eksibisionis ini, yaitu mereka justru semakin bergairah ketika korban menunjukkan reaksi terkejut, jijik, panik, hingga menjerit ketakutan. Reaksi ini justru semakin membuat mereka terangsang, bahkan dalam beberapa kasus ada yang justru semakin termotivasi untuk bermasturbasi demi mencapai puncak kepuasan seksualnya. Alih-alih malu, pelaku biasanya malah berbangga diri atas perilaku mereka. Mungkin saja mereka menganggap ini sebagai pencapaian.
Gangguan ini umumnya memang diidap oleh laki-laki, meski begitu bukan berarti perempuan bebas dari gangguan ini lho. Hugh-Jones, Gough, Littlewood (dalam Rozi dan Mubina, 2016) mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara perilaku eksibisionis yang dimunculkan oleh laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki perilaku memperlihatkan alat genital ini memiliki tujuan untuk membuat korban terkejut demi mendapatkan kepuasan seksual. Sedangkan pada perempuan, perilaku ini ditunjukkan tidak hanya dengan memperlihatkan alat genitalnya, melainkan juga bagian tubuh yang lain, seperti payudara, paha, dan pantat demi mendapatkan perhatian dan memunculkan perasaan berharga.
Nah, sekarang pertanyaannya kalau mereka yang berperilaku semacam ini tergolong orang yang mengidap gangguan kejiwaan, lantas apakah itu artinya perbuatan ini tidak termasuk pelecehan seksual?
Sanksi di Indonesia
Dari sisi korban dan hukum di Indonesia, hal ini tentu termasuk dalam pelecehan seksual. Perilaku pelecehan seksual sendiri berarti aktifitas seksual yang sifatnya memersuasi baik secara verbal maupun non verbal dan bertentangan dengan keinginan orang lain sebagai korbannya (Lehmiller, dalam Rahardjo, 2023). Pelecehan seksual dapat terjadi dengan adanya empat kondisi mendasar, yakni pelaku harus termotivasi untuk melakukan pelecehan seksual, pelaku mampu mendobrak penghalang internal (nilai-nilai agama, moral, etika, dll) untuk melakukan pelecehan seksual, pelaku mampu mendobrak penghalang eksternal (rasa malu, profesionalitas, integritas, dll) untuk melakukan pelecehan seksual, dan yang terakhir pelaku mampu mendobrak resistensi dan penolakan dari korban untuk tetap melakukan pelecehan seksual (O'Hare dan O' Donohue dalam Rahardjo, 2023)
Melalui penjelasan di atas tentu dapat dilihat bahwa meskipun eksibisionisme merupakan termasuk dalam gangguan kejiwaan serius, namun hal ini tetap tidak bisa meluruhkan kerugian yang diterima korban dan tetap dapat dianggap sebagai perilaku pelecehan seksual. Lantas bagaimana hukum di Indonesia mengatur hal ini?
Oh, tenang aja, kita akan bahas hal tersebut juga. Dalam perspektif hukum Indonesia, tindakan ini masuk dalam tindakan melanggar kesusilaan secara terbuka yang sudah diatur dalam KUHP pasal 281, yang berbunyi demikian:
"Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
- barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
- barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan."
Tindakan ini mencakup banyak hal, meliputi semua tindakan asusila yang dilakukan di depan umum, seperti telanjang di depan umum atau berhubungan seksual di depan umum (Christianto, 2017) dan tentu saja perilaku eksibisionisme termasuk di dalamnya.
Eits, kok sedikit banget dendanya? Kok singkat banget hukumannya? Tenang, itu kan aturan yang sudah dibuat di era lama. Melansir HukumOnline.com (Auli, 2023), di KUHP denda ini sekarang sudah disetarakan menjadi Rp 4.500.000,00. Sementara menurut UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan segera berlaku di tahun 2026 nanti, sanksi yang harus ditanggung adalah satu tahun penjara atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00. Tentu sanksi ini juga masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan dampak yang harus ditanggung oleh para korban dimana kerap kali mereka harus menderita trauma yang entah berapa lama bisa tertangani secara utuh. Meski begitu, ternyata kita juga memiliki aturan lain terkait hal ini, yakni UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Eksibisionisme ini juga rupanya diatur dalam peraturan ini yang berbunyi demikian:
"Pasal 10 -- Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya".
"Pasal 35 - Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."
What’s Next?
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan pelaku semacam ini?
- Tetap waspada dengan keadaan sekitar, jangan terlalu fokus dengan gadget ketika ada di ruang publik.
- Siapapun bisa menjadi korban. Tidak peduli pria, wanita, anak-anak, lansia, siapa pun dan dimana pun. Maka hal pertama yang bisa dilakukan ketika berhadapan dengan pelaku eksibisionisme ini adalah dengan jangan ragu untuk melawan. Caranya bisa dengan berteriak untuk menarik perhatian sekitar. Kalau pun sedang berada di tempat sepi, lari sekencangnya ke arah keramaian sambil berteriak. Jangan malu dan jangan ragu.
- Kalau ternyata sudah terlanjur menjadi korban, identifikasi baik-baik dampak apa yang muncul. Apakah hal tersebut menimbulkan efek traumatis yang mengganggu? Jika ya, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional, dalam hal ini psikolog guna memulihkan keadaan psikis korban.
- Share pengalaman semacam ini pada orang-orang terdekat untuk menyebarkan awareness supaya semua bisa saling waspada dan saling melindungi. Perkaya diri dengan pengetahuan mengenai kesehatan mental. Dengan demikian setidaknya kita bisa menjadi pihak yang dapat menjaga sekaligus mencegah hal serupa terjadi di sekitar kita.
- Ambil bagian dalam masyarakat sebagai pendengar, cobalah untuk sedikit menutup mulut dan melebarkan telinga dan mulai menjadi pendengar tanpa meng-ignore kesehatan mental kita sendiri. Hal ini merupakan upaya preventif agar kita bisa menjadi jembatan bagi siapa saja yang memang membutuhkan pertolongan profesional terhadap keadaan mental mereka. Dengan begitu kita sendiri bisa menjadi jembatan baik bagi korban, pelaku, calon potensi korban, maupun calon potensi pelaku. Intinya, berusaha sadar dan menjadi agen edukator supaya masyarakat lebih terliterasi dalam hal isu kejiwaan. Terakhir, siap “pasang badan”, kapanpun kita melihat adanya kejadian serupa, jangan ragu untuk menenangkan korban dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib.
Nah, demikian ulasan mengenai gangguan parafilia jenis eksibisionisme. Tentu di satu sisi perlu adanya empati bagi para penderita gangguan kejiwaan semacam ini. Namun di sisi lain, kita juga perlu memahami dampak yang harus ditanggung oleh para korban. Jadi, gimana menurut kalian??
Referensi
Ardiansyah, Sandy, Ichlas Tribakti, Suprapto, Yunike, Indra Febriani, Eli Saripah, Gama Bagus Kuntoadi, Zakiyah, Ira Kusumawaty, Muji Rahayu, Egy Sunanda Putra, Herni Kurnia, Sari Narulita, Titik Juwariah, dan Mareta Akhriansyah. 2023. Kesehatan Mental. Sumatera Barat: Global Eksekutif Teknologi.
Auli, Renata Christha. 2023. "Tentang Tindak Pidana Asusila: Pengertian dan Unsurnya", (Online), (https://www.hukumonline.com/klinik/a/tentang-tindak-pidana-asusila-pengertian-dan-unsurnya-lt521b9029a4e48/, diakses, 17 Oktober 2024).
Christianto, Hwian. 2017. Kejahatan Kesusilaan; Penafsiran Ekstensif dan Studi Kasus. Yogyakarta: Suluh Media.
Daud, Fathonah. K. 2016. "Parafilia: Nature Atau Nurture? Tinjauan Teologis Dan Psikologis". Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, 13(2), 283-311.
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.).
Ibrahim, M. Bagus. 2024. "Viral Pemotor di Kota Batu Pamer Kelamin ke Siswi yang Tunggu Jemputan", (Online), (https://www.detik.com/jatim/berita/d-7488224/viral-pemotor-di-kota-batu-pamer-kelamin-ke-siswi-yang-tunggu-jemputan, diakses, 17 Oktober 2024).
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2021. Mahkamah Agung RI. Jakarta.
Indonesia. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4928. Sekretariat Negara. Jakarta.
Jaya, Tri Purna. 2024. "Diamankan Atas Kasus Eksibisionis, Mahasiswa di Lampung Tenyata Berulang Pamerkan Alat Kelamin", (Online),( https://regional.kompas.com/read/2024/10/03/213100078/diamankan-atas-kasus-eksibisionis-mahasiswa-di-lampung-tenyata-berulang?page=all, diakses, 17 Oktober 2024).
KemenKes. 2023. "Definisi Gangguan Jiwa dan Jenis-jenisnya", (Online), (https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2224/definisi-gangguan-jiwa-dan-jenis-jenisnya#:~:text=Gangguan%20jiwa%20menurut%20Depkes%20RI,Departemen%20Kesehatan%20RI%2C%202000)., diakses, 17 Oktober 2024).
Makarim, Fadhli Rizal. 2024. "Gangguan Jiwa", (Online), (https://www.halodoc.com/kesehatan/gangguan-jiwa?srsltid=AfmBOop5py3NXztqlCLLt-K1dsjbqTf9f4a4KikM8J9hc_typ5R3dgZ3, diakses, 17 Oktober 2024).
Permadi, Galih. 2023. "Ramai Video 39 Detik Wanita Pamer Area Sensitif di Ciwidey Bandung, Link Diburu Netizen", (Online), (https://jateng.tribunnews.com/2023/05/04/ramai-video-syur-39-detik-wanita-bercadar-pamer-kelamin-di-ciwidey-bandung-link-diburu-netizen?page=4, diakses, 17 Oktober 2024).
Rahardjo, Wahyu. 2023. Psikologi Seksual. Jakarta: Salemba Humanika.
Rahma, Annisa dan Syahrul Akmal Latif. 2024. "Reaksi Masyarakat Terhadap Pelaku Eksibionisme dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Kecamatan Tampan)". SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, 3(4), 274-281.
Rozi, Fahrul dan Nuram Mubina. 2016. "Gambaran Perilaku Eksibisionis pada Perempuan dalam Komunitas Nude Photography di Jakarta". PSYCHOPEDIA: Jurnal Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang, 1(2).
WHO. 2022. "Mental Disorders", (Online), (https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-disorders, diakses, 17 Oktob
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H