"Pasal 10 -- Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya".
"Pasal 35 - Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."
What’s Next?
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan pelaku semacam ini?
- Tetap waspada dengan keadaan sekitar, jangan terlalu fokus dengan gadget ketika ada di ruang publik.
- Siapapun bisa menjadi korban. Tidak peduli pria, wanita, anak-anak, lansia, siapa pun dan dimana pun. Maka hal pertama yang bisa dilakukan ketika berhadapan dengan pelaku eksibisionisme ini adalah dengan jangan ragu untuk melawan. Caranya bisa dengan berteriak untuk menarik perhatian sekitar. Kalau pun sedang berada di tempat sepi, lari sekencangnya ke arah keramaian sambil berteriak. Jangan malu dan jangan ragu.
- Kalau ternyata sudah terlanjur menjadi korban, identifikasi baik-baik dampak apa yang muncul. Apakah hal tersebut menimbulkan efek traumatis yang mengganggu? Jika ya, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional, dalam hal ini psikolog guna memulihkan keadaan psikis korban.
- Share pengalaman semacam ini pada orang-orang terdekat untuk menyebarkan awareness supaya semua bisa saling waspada dan saling melindungi. Perkaya diri dengan pengetahuan mengenai kesehatan mental. Dengan demikian setidaknya kita bisa menjadi pihak yang dapat menjaga sekaligus mencegah hal serupa terjadi di sekitar kita.
- Ambil bagian dalam masyarakat sebagai pendengar, cobalah untuk sedikit menutup mulut dan melebarkan telinga dan mulai menjadi pendengar tanpa meng-ignore kesehatan mental kita sendiri. Hal ini merupakan upaya preventif agar kita bisa menjadi jembatan bagi siapa saja yang memang membutuhkan pertolongan profesional terhadap keadaan mental mereka. Dengan begitu kita sendiri bisa menjadi jembatan baik bagi korban, pelaku, calon potensi korban, maupun calon potensi pelaku. Intinya, berusaha sadar dan menjadi agen edukator supaya masyarakat lebih terliterasi dalam hal isu kejiwaan. Terakhir, siap “pasang badan”, kapanpun kita melihat adanya kejadian serupa, jangan ragu untuk menenangkan korban dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib.
Nah, demikian ulasan mengenai gangguan parafilia jenis eksibisionisme. Tentu di satu sisi perlu adanya empati bagi para penderita gangguan kejiwaan semacam ini. Namun di sisi lain, kita juga perlu memahami dampak yang harus ditanggung oleh para korban. Jadi, gimana menurut kalian??
Referensi
Ardiansyah, Sandy, Ichlas Tribakti, Suprapto, Yunike, Indra Febriani, Eli Saripah, Gama Bagus Kuntoadi, Zakiyah, Ira Kusumawaty, Muji Rahayu, Egy Sunanda Putra, Herni Kurnia, Sari Narulita, Titik Juwariah, dan Mareta Akhriansyah. 2023. Kesehatan Mental. Sumatera Barat: Global Eksekutif Teknologi.
Auli, Renata Christha. 2023. "Tentang Tindak Pidana Asusila: Pengertian dan Unsurnya", (Online), (https://www.hukumonline.com/klinik/a/tentang-tindak-pidana-asusila-pengertian-dan-unsurnya-lt521b9029a4e48/, diakses, 17 Oktober 2024).
Christianto, Hwian. 2017. Kejahatan Kesusilaan; Penafsiran Ekstensif dan Studi Kasus. Yogyakarta: Suluh Media.
Daud, Fathonah. K. 2016. "Parafilia: Nature Atau Nurture? Tinjauan Teologis Dan Psikologis". Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, 13(2), 283-311.
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.).