Di DSM-V, diagnosis gangguan eksibisionisme ini dapat diberikan ketika klien memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Menunjukkan gejala selama jangka waktu minimal 6 bulan dengan gairah seksual yang berulang dan intens akibat memaparkan alat genitalnya kepada orang lain, sebagai manifestasi dari khayalan, dorongan, atau perilaku tertentu.
- Individu tersebut telah bertindak berdasarkan dorongan seksual dengan orang yang tidak memberikan persetujuan, atau dorongan, atau fantasi seksual yang menyebabkan pengidap mengalami penderitaan atau gangguan yang signifikan secara klinis dalam aspek sosial, pekerjaan, atau aspek penting lainnya.
Tahu nggak? Ada satu hal unik lho dari pengidap eksibisionis ini, yaitu mereka justru semakin bergairah ketika korban menunjukkan reaksi terkejut, jijik, panik, hingga menjerit ketakutan. Reaksi ini justru semakin membuat mereka terangsang, bahkan dalam beberapa kasus ada yang justru semakin termotivasi untuk  bermasturbasi demi mencapai puncak kepuasan seksualnya. Alih-alih malu, pelaku biasanya malah berbangga diri atas perilaku mereka. Mungkin saja mereka menganggap ini sebagai pencapaian.
Gangguan ini umumnya memang diidap oleh laki-laki, meski begitu bukan berarti perempuan bebas dari gangguan ini lho. Hugh-Jones, Gough, Littlewood (dalam Rozi dan Mubina, 2016) mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara perilaku eksibisionis yang dimunculkan oleh laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki perilaku memperlihatkan alat genital ini memiliki tujuan untuk membuat korban terkejut demi mendapatkan kepuasan seksual. Sedangkan pada perempuan, perilaku ini ditunjukkan tidak hanya dengan  memperlihatkan alat genitalnya, melainkan juga bagian tubuh yang lain, seperti payudara, paha, dan pantat demi mendapatkan perhatian dan memunculkan perasaan berharga.
Nah, sekarang pertanyaannya kalau mereka yang berperilaku semacam ini tergolong orang yang mengidap gangguan kejiwaan, lantas apakah itu artinya perbuatan ini tidak termasuk pelecehan seksual?
Sanksi di Indonesia
Dari sisi korban dan hukum di Indonesia, hal ini tentu termasuk dalam pelecehan seksual. Perilaku pelecehan seksual sendiri berarti aktifitas seksual yang sifatnya memersuasi baik secara verbal maupun non verbal dan bertentangan dengan keinginan orang lain sebagai korbannya (Lehmiller, dalam Rahardjo, 2023). Pelecehan seksual dapat terjadi dengan adanya empat kondisi mendasar, yakni pelaku harus termotivasi untuk melakukan pelecehan seksual, pelaku mampu mendobrak penghalang internal (nilai-nilai agama, moral, etika, dll) untuk melakukan pelecehan seksual, pelaku mampu mendobrak penghalang eksternal (rasa malu, profesionalitas, integritas, dll) untuk melakukan pelecehan seksual, dan yang terakhir pelaku mampu mendobrak resistensi dan penolakan dari korban untuk tetap melakukan pelecehan seksual (O'Hare dan O' Donohue dalam Rahardjo, 2023)
Melalui penjelasan di atas tentu dapat dilihat bahwa meskipun eksibisionisme merupakan termasuk dalam gangguan kejiwaan serius, namun hal ini tetap tidak bisa meluruhkan kerugian yang diterima korban dan tetap dapat dianggap sebagai perilaku pelecehan seksual. Lantas bagaimana hukum di Indonesia mengatur hal ini?
Oh, tenang aja, kita akan bahas hal tersebut juga. Dalam perspektif hukum Indonesia, tindakan ini masuk dalam tindakan melanggar kesusilaan secara terbuka yang sudah diatur dalam KUHP pasal 281, yang berbunyi demikian:
"Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
- barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
- barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan."
Tindakan ini mencakup banyak hal, meliputi semua tindakan asusila yang dilakukan di depan umum, seperti telanjang di depan umum atau berhubungan seksual di depan umum (Christianto, 2017) dan tentu saja perilaku eksibisionisme termasuk di dalamnya.
Eits, kok sedikit banget dendanya? Kok singkat banget hukumannya? Tenang, itu kan aturan yang sudah dibuat di era lama. Melansir HukumOnline.com (Auli, 2023), di KUHP denda ini sekarang sudah disetarakan menjadi Rp 4.500.000,00. Sementara menurut UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan segera berlaku di tahun 2026 nanti, sanksi yang harus ditanggung adalah satu tahun penjara atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00. Tentu sanksi ini juga masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan dampak yang harus ditanggung oleh para korban dimana kerap kali mereka harus menderita trauma yang entah berapa lama bisa tertangani secara utuh. Meski begitu, ternyata kita juga memiliki aturan lain terkait hal ini, yakni UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Eksibisionisme ini juga rupanya diatur dalam peraturan ini yang berbunyi demikian: