Rencana Tuhan Pasti IndahÂ
Seli deg-degan memegang bungkusan coklat yang ia sembunyikan di balik badan. Ia menunggu Rendy selesai bermain basket di lapangan dalam sekolah. Seli mengucapkan dalam hati.
"Ayo, kali ini aku pasti bisa, jangan biarkan kesempatan kali ini gagal seperti kesempatan yang sebelumnya."
Waktu Seli berbicara dalam hati, terdengar suara peluit tanda berakhirnya permainan. Waktunya Seli beraksi. Seli menghampiri Rendy yang sedang mengusap keringat di wajah menggunakan selembar handuk putih itu.
"Eh, ada Seli. Kenapa, Sel? Tumben ke sini." tanya Rendy waktu Seli datang menghampirinya.
Seli gugup, seketika cara berbicaranya terbata-bata seperti orang gagap, " A-a-aku, i-i-ingin bi-cara."
"Bicara apa, Sel? Kok gugup gitu? Ada masalah?" jawab Rendy. " A-aku ha-hanya ma-u mem..." belum selesai Seli berbicara, ada rombongan cewek yang menghampiri Rendy dengan antusias. "Rendy!!!" begitu teriakan yang Seli dengar.
Perhatian Rendy langsung terarah ke arah suara tersebut. Rendy perlahan lupa kalau Seli belum selesai berbicara dengannya. Suara Seli hilang tenggelam oleh gelombang teriakan rombongan tersebut. Perlahan, Â Seli menjauh meninggalkan mereka. Rendy tidak menyadari bahwa Seli sudah tidak ada di sampingnya. Seli merasa minder karena ia merasa kalah cantik, kalah hits, dan kalah harta. Memang, Rendy termasuk anak yang famous di sekolahnya. Selain, lihai bermain basket Rendy juga tampan dan pandai bermain alat musik yang membuat semua cewek makin klepek-klepek dengannya.
Seli duduk di bawah pohon beringin. Mata Seli menatap sebungkus coklat yang diikat rapi dengan pita berwarna biru itt. Perlaha, ada setetes air menghujani pita tersebut. Itu adalah air mata Seli. Seli menangis karena ini bukan kali pertama ia gagal mengungkapkan cintanya. Seli sadar bahwa ucapan Dila memang benar. Ia tidak seharusnya berjuang hingga seperti ini. Rendy itu bagaikan bintang yang bersinar terang, bisa dilihat namun sulit untuk digapai, bahkan mustahil.
"Seli!!!" Terlihat Rendy yang sedang berlari menghampiri Seli. Seli segera membuang muka dan mengusap air mata yang ada di wajahnya.
" Ada apa, Ren?" Seli berusaha tersenyum, menutupi rasa sedihnya. " Tadi, kamu mau bicara apa? Eh, ada coklat, buat siapa tuch? Seli lupa menyembunyikan coklat tersebut, "Eh bukan buat siapa-siapa kok. Em..udah dulu ya, aku mau pulang." Seli bergegas pergi meninggalkan Rendy yang dipenuhi rasa penasaran tersebut.
Sesampainya di rumah, ia langsung menuju ke kamarnya dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur itu. Ia menangis sekencang-kencangnya, sepuas-puasnya hingga....
"Seli! Bangun... udah jam 5 sore, ayo mandi nanti terlambat ke gereja, lho" Seli ternyata ketiduran dengan keadaan masih memakai seragam putih abu-abu. "Iya, maa" Jawabnya dengan kesadaran belum sepenuhnya terkumpul.
 Setengah jam kemudian, suara mobil ayah Seli terdengar, tanda keluarga Seli akan segera ke gereja untuk mengikuti misa. Saat mengikuti misa di gereja, Seli mendengarkan khotbah Pastor Yosua dengan seksama. Khotbah tersebut membuat hati Seli semakin tergerak.
" Kita, sebagai pengikut Kristus harus dapat mengikuti jejak-Nya! Yesus yang dapat menyelesaikan misi-Nya, yaitu menebus dosa manusia, dosa kita semua. Karena itu, kita juga harus dapat menyelesaikan misi kita, keinginan kita! Entah apapun halangannya, kita harus dapat menyelesaikannya karena apapun yang terjadi, pasti akan berakhir bahagia karena rencana Tuhan pasti indah!" begitu kata Pastor Yosua di khotbahnya.
Selesainya misa, Seli meminta ijin kepada orang tuanya untuk berdoa sebentar di depan Candi Tyas Dalem. Ia ingin merenung dan mendalami khotbah tadi. Muncul niat dalam hatinya, bahwa ia juga harus dapat menyelesaikan misinya, yaitu mengutarakan cintanya kepada Rendy. Apapun hasilnya yang terpenting ia dapat mengutarakannya. Seli pulang dengan hati lega dan gembira.
Keesokan harinya, dengan bekal sebatang coklat dengan untaian tali pita berwarna biru itu, ia menghampiri Rendy saat jam istirahat.
" Ren, em... nanti pulang sekolah, ketemu di kantin dulu, ya!" Seli mengundurkan niatnya setelah ia melihat Bu Santi jalan menuju kelasnya.Â
Seselesainya jam sekolah, Seli langsung menuju kantin dengan semangat yang membara. Tubuhnya sudah seperti tungku kereta api yang semakin banyak bahan yang dimasukan, semakin besar pula apinya.
Kantin tinggal 5 langkah lagi di depan Seli. Ia menghembuskan napas secara perlahan ketika membuka pintu kantin tersebut. Tetapi, ketika Seli membuka pintu itu, hatinya tiba-tiba bagai terbelah menjadi dua, tergoncang-goncang dengan hati yang merana. Dilihatnya, Rendy sedang bersuapan dengan seorang perempuan di meja kantin. Hatinya tidak kuat menahan kemesraan mereka. Belum sempat Seli mengutarakan cintanya, ia malah sudah sakit duluan. Semakin lama dilihat, semakin perih. Seli berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan kantin tersebut dengan hati yang penuh luka. Berteteslah air matanya, tidak bisa dibendung lagi. Bagaikan meteor, air mata tersebut berjatuhan berselimut api semangat yang sebelumnya Seli rasakan.
Segeralah ia mengambil telepon dari sakunya. Seli menelepon ayahnya untuk menjemput secepatnya. Ketika ayahnya sudah datang, dengan secepat kilat Seli masuk ke mobil ayahnya. Cuaca saat itu sedang hujan, seperti mendukung kegalauan dan rasa kecewa Seli. Ayah Seli sangat bingung dengan anaknya karena selama perjalanan, Seli terus menangis.
" Seli....anak ayah yang cantik, kamu kenapa? Cerita sama ayah sini!" tanya ayah memecah suasana lengang. Seli tidak menghiraukan ucapan tersebut.
"Jangan nangis terus dong, nanti cantiknya luntur,lho." Ucap ayah Seli lagi. Namun, usaha tersebut sia-sia. Seli kembali tidak menghiraukannya, bahkan mulutnya tidak bergerak walau satu mili pun. Seli lebih suka terbuka dengan ibunya.
Sesampainya di rumah, Seli langsung memeluk ibunya yang sedang membukakan pintu untuknya.
"Eh, kamu kenapa, sayang? Kok nangis begitu?" tanya ibu Seli.Â
Setelah Seli menceritakan panjang lebar, ibu Seli tersenyum lalu menjawab, "Nak, hal begitu sangat wajar dikalangan remaja, tanya aja ayahmu. Ayahmu dulu juga ngerasain apa yang kamu rasain. Bahkan, ayahmu dulu nungguin ibu putus dengan pacar ibu sebelumnya. Namun, sekarang ibu justru bangga punya anak seperti kamu, nak. Kamu mau mengalahkan gengsimu dan melawan kodrat wanita yang biasanya hanya mau diperjuangkan tanpa mau berjuang. Tapi, kamu malah sebaliknya, kamu mau berjuang mencari cinta. Mungkin, Rendy bukan jodohmu, sayang. Tenang aja, Tuhan Yesus memberikan cobaan untuk hamba-Nya yang kuat. Ia pasti akan memberikan jodoh yang lebih baik dan tentunya cocok untuk mu, Sel. Kamu pasti bisa! Ibu yakin sama kamu! Dah, sekarang mandi sana, masak cantik-cantik bau." Mood Seli membaik, ia tertawa mendengar gurauan dari ibunya.
Saat makan malam, Seli perlahan bisa melupakan kejadian tadi siang dan mulai mengikhlaskannya.
"Seli" suara ibu memulai pembicaraan.Â
" Kamu kan sudah ujian, sebentar lagi sekolah akan libur. Ayah mendapatkan jatah cuti sekaligus hadiah liburan ke Swedia untuk 2 minggu kedepan dari bossnya. Apakah kamu ingin mengikuti ayah dan ibu ke Swedia untuk mengisi waktu waktu liburanmu?"
 Mata Seli membesar mendengar hal itu. Ia tampak sangat antusias. "Mau-mau, Bu. Kapan, nih berangkatnya?" tanya Seli.
"Rencana, lusa kita akan berangkat. Jadi, kamu harus mulai mempersiapkannya."
"Yesss, siap laksanakan, Komandan." jawab Seli sembari hormat kepada ibunya.Â
Ayah dan ibunya senang mendengar semangat Seli menjadi tumbuh lagi. Mereka berharap dengan liburan ini, Seli bisa melupakan masalahnya tersebut. Sungguh hal yang tidak terduga.
Saat dalam perjalanan  di malam hari, ia melihat pemandangan luar yang penuh pernak- pernik cahaya laksana bintang yang mendarat di dataran sembari berkata dalam hati,
"Terima Kasih Tuhan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H