Sesampainya di rumah, ia langsung menuju ke kamarnya dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur itu. Ia menangis sekencang-kencangnya, sepuas-puasnya hingga....
"Seli! Bangun... udah jam 5 sore, ayo mandi nanti terlambat ke gereja, lho" Seli ternyata ketiduran dengan keadaan masih memakai seragam putih abu-abu. "Iya, maa" Jawabnya dengan kesadaran belum sepenuhnya terkumpul.
 Setengah jam kemudian, suara mobil ayah Seli terdengar, tanda keluarga Seli akan segera ke gereja untuk mengikuti misa. Saat mengikuti misa di gereja, Seli mendengarkan khotbah Pastor Yosua dengan seksama. Khotbah tersebut membuat hati Seli semakin tergerak.
" Kita, sebagai pengikut Kristus harus dapat mengikuti jejak-Nya! Yesus yang dapat menyelesaikan misi-Nya, yaitu menebus dosa manusia, dosa kita semua. Karena itu, kita juga harus dapat menyelesaikan misi kita, keinginan kita! Entah apapun halangannya, kita harus dapat menyelesaikannya karena apapun yang terjadi, pasti akan berakhir bahagia karena rencana Tuhan pasti indah!" begitu kata Pastor Yosua di khotbahnya.
Selesainya misa, Seli meminta ijin kepada orang tuanya untuk berdoa sebentar di depan Candi Tyas Dalem. Ia ingin merenung dan mendalami khotbah tadi. Muncul niat dalam hatinya, bahwa ia juga harus dapat menyelesaikan misinya, yaitu mengutarakan cintanya kepada Rendy. Apapun hasilnya yang terpenting ia dapat mengutarakannya. Seli pulang dengan hati lega dan gembira.
Keesokan harinya, dengan bekal sebatang coklat dengan untaian tali pita berwarna biru itu, ia menghampiri Rendy saat jam istirahat.
" Ren, em... nanti pulang sekolah, ketemu di kantin dulu, ya!" Seli mengundurkan niatnya setelah ia melihat Bu Santi jalan menuju kelasnya.Â
Seselesainya jam sekolah, Seli langsung menuju kantin dengan semangat yang membara. Tubuhnya sudah seperti tungku kereta api yang semakin banyak bahan yang dimasukan, semakin besar pula apinya.
Kantin tinggal 5 langkah lagi di depan Seli. Ia menghembuskan napas secara perlahan ketika membuka pintu kantin tersebut. Tetapi, ketika Seli membuka pintu itu, hatinya tiba-tiba bagai terbelah menjadi dua, tergoncang-goncang dengan hati yang merana. Dilihatnya, Rendy sedang bersuapan dengan seorang perempuan di meja kantin. Hatinya tidak kuat menahan kemesraan mereka. Belum sempat Seli mengutarakan cintanya, ia malah sudah sakit duluan. Semakin lama dilihat, semakin perih. Seli berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan kantin tersebut dengan hati yang penuh luka. Berteteslah air matanya, tidak bisa dibendung lagi. Bagaikan meteor, air mata tersebut berjatuhan berselimut api semangat yang sebelumnya Seli rasakan.
Segeralah ia mengambil telepon dari sakunya. Seli menelepon ayahnya untuk menjemput secepatnya. Ketika ayahnya sudah datang, dengan secepat kilat Seli masuk ke mobil ayahnya. Cuaca saat itu sedang hujan, seperti mendukung kegalauan dan rasa kecewa Seli. Ayah Seli sangat bingung dengan anaknya karena selama perjalanan, Seli terus menangis.
" Seli....anak ayah yang cantik, kamu kenapa? Cerita sama ayah sini!" tanya ayah memecah suasana lengang. Seli tidak menghiraukan ucapan tersebut.