Bekerja dengan cepat sudah menjadi sebuah gaya hidup yang lumrah bagi banyak orang. Hampir semua pekerjaan harus dilakukan dengan cepat agar pekerjaan yang lainnya bisa terselesaikan (Ya meski realitanya, pekerjaan akan selalu ada dan tidak pernah selesai bukan?). Bekerja dengan cepat tentu tidaklah salah sepenuhnya, malah dalam berbagai situasi, bekerja cepat haruslah dilakukkan. Coba bayangkan bila petugas pemadam kebakaran tidak cepat dan sigap ketika merespons laporan adanya kebakaran.
Tentu kebakaran akan semakin meluas dan kerugian yang ditimbulkan bisa semakin besar. Coba bayangkan bila seorang pengantar makanan tidak mengantarkan makanan kepada customernya dengan cepat, melainkan memilih bersantai-santai sejenak di warung kopi.
Tentu saja akan ada risiko baginya mendapat komplain dari pelanggan, belum lagi risiko besar untuk celaka dalam perjalanan karena ia harus ekstra cepat untuk memacu kendaraannya. Memang "cepat" dalam beberapa konteks sangat dibutuhkan. Tetapi kalau segalanya harus dilakukan serba cepat dan yang "lambat" kemudian harus dihindari atau malah anti dengan yang lambat, apakah ini bisa dimaklumi?
Saya pernah berada pada sebuah lingkungan yang menuntut untuk bekerja dengan cepat. Apa-apa harus serba cepat, menanggapi pesan dari Whatsapp harus cepat, dapat info apa harus langsung disampaikan dengan cepat, kirim email atau file dengan size besar juga harus cepat, bahkan lucunya kadang disaat makan pun juga harus ekstra cepat hingga lupa rasanya untuk menikmati rasa dan menghayati cerita di balik sepiring makanan yang tersaji hari itu.
Budaya cepat ini tanpa sadar kemudian menjadi ciri dalam diri saya dan membuat saya menjadi orang yang cepat. Tidak hanya ketika mengerjakan sesuatu, tapi juga menjadi orang yang cepat dalam mengambil sebuah keputusan, bahkan kadang tanpa memikirkan jangka panjangnya. Menjadi yang tercepat tidaklah selalu baik, malah dalam berbagai kondisi kadang merugikan kalau tidak diimbangi dengan formula: cepat+cerdas.
Berkaca dari fenomena ini, ternyata ada juga sebuah alternatif gaya hidup yang kelihatannya menarik dan "bertolakbelakang" dari kondisi yang saya alami ini.
Sebuah tawaran gaya hidup yang rasa-rasanya perlu untuk dicoba. Ya! Tawaran itu adalah konsep hidup melambat,atau biasa dikenal slow living.
Dikutip dari slowlivingldn.com, gaya hidup melambat atau slow Living digambarkan sebagai pola pikir di mana kita secara inisiatif dan sadar menyusun sebuah prioritas dan gaya hidup yang lebih bermakna sejalan dimulai dari apa yang paling kita hargai di dalam hidup ini.
Slow living tidak terperangkap dengan konsep seperti mager atau santuy, tetapi justru mengusahakan pola hidup yang lebih baik, bukan lebih cepat! Slow living dikatakan baik karena di sana kita diajak untuk menetapkan jumlah waktu yang tepat untuk setiap tugas atau aktivitas yang kita kerjakan. Keren bukan?
Di samping itu, pemahaman bahwa hidup selow hanya bisa dinikmati oleh mereka yang tinggal di pedesaan atau yang tidak tinggal di kota besar ternyata juga perlu direvisi. Mengapa? Karena slow living tidak berbicara mengenai sebuah tempat saja, melainkan sebuah pola pikir yang bisa di bukan hanya untuk mereka yang tinggal di pedesaan tetapi juga diperkotaan, bahkanpun di tengah-tengah lingkungan yang sibuk sekalipun.
Hidup melambat juga tidak berarti mengajak orang untuk tidak menjadi sukses atau tidak produktif, sebaliknya, mereka yang benar-benar meghayati konsep ini justru juga akan produktif dan bisa sukses karena ia telah memprioritaskan apa yang paling penting dalam hidupnya. Hidup melambat juga tidak berarti anti terhadap teknologi, justru sebaliknya dengan hidup melambat, kita bisa memastikan bahwa kehidupan kita dilayani oleh teknologi dan kita memiliki kontrol penuh terhadap pemanfaatan teknologi di era digital ini.
“Slow living is all about creating time and space and energy for the things that matter most to us in life, so ask yourself what you stand to gain.”
BROOKE MCALARY
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI