Pengantar
Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Musuh Kecil Kang Juhi
Di sebelah kamar Kang Juhi, tinggal Bang Munir, pria paruh baya dengan rambut yang selalu awut-awutan dan kebiasaan ngomel yang tak ada habisnya. Bang Munir adalah tukang tambal ban keliling yang sudah lebih dulu menetap di kontrakan itu. Ia dikenal galak, tapi di balik mulut tajamnya, terselip perhatian kecil yang sering membuat Kang Juhi kesal sekaligus terhibur.
Suatu malam, di kontrakan Kang Juhi. Bang Munir mengetuk pintu Kang Juhi dengan irama yang terdengar seperti rap.
"Kang Juhi! Buka pintunya, woi! Ada yang penting nih!"
Dengan enggan, Kang Juhi membuka pintu. "Apaan sih Bang? Sudah malam, saya capek."
"Capek apa? Jualan kau tadi juga sepi, kan?" kata Bang Munir sambil menyelonong masuk tanpa permisi. Ia langsung duduk di lantai seperti rumah sendiri, memandangi baskom Kang Juhi. "Kau ini sedang apa bicara sama baskom terus? Gila kau, ya?"
Kang Juhi menghela napas panjang. "Bang, ini kan baskom kesayangan saya. Tidak ada salahnya bicara sama dia. Daripada bicara sama orang yang suka nyinyir!"
Bang Munir terkekeh, mengambil gorengan sisa yang ada di meja. "Ah, kau. kebanyakan berpikir. Gorengan ya, gorengan saja. Tidak usah dibawabawa sampai bicara soal hidup segala."
Kang Juhi melipat tangannya. "Iya, Bang. Abang kan pintar ngomong. Abang cuma tambal ban, tidak perlu memikirkan soal modal yang setiap hari naik."
Bang Munir berhenti tertawa, wajahnya mendadak serius. "Eh, jangan salah, Kang Juhi. Tambal ban itu juga seni. Kalau salah tambal, ban bisa meledak. Itu tanggung jawab besar! Tapi bedanya sama kau, aku tidak pernah mengeluh."
Percakapan mereka selalu dimulai dengan adu mulut seperti itu, tapi entah bagaimana, justru itu yang membuat suasana kontrakan terasa hidup. Di balik semua komentar sinis Bang Munir, ada perhatian kecil yang sulit diabaikan.
Bang Munir sering menjadi alarm hidup Kang Juhi. "Juhi! Kau belum mandi, ya? Bau minyak kau sudah sampai sini!" Ujarnya lantang.
"Biarlah, Bang. Daripada Abang, mandi tapi tambal ban tidak laku," balas Kang Juhi sambil menyembunyikan senyum kecilnya.
Tapi ada kalanya Bang Munir menunjukkan sisi lembutnya yang jarang keluar. Suatu hari, ketika Kang Juhi pulang tanpa gerobaknya setelah dirampas petugas, Bang Munir menunggu di depan pintu. Ia tidak banyak bicara. Hanya menyodorkan sebungkus nasi bungkus yang ia beli dari hasil tambal bannya hari itu.
"Makan dululah, Kang Juhi. Tidak ada gunanya melamun tapi kelaparan," katanya singkat.
Kang Juhi menerima nasi itu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Bang Munir. Abang baik juga ternyata."
Bang Munir cengar-cengir. "Jangan salah paham. Ini bukan untuk kau. Tapi untuk baskom kau, biar dia tidak protes kau kelamaan bicara omong kosong."
Kang Juhi dan Bang Munir sering terlihat seperti dua ayam jago kecil yang saling serang setiap hari. Namun, di balik itu, mereka saling mengandalkan. Kang Juhi tahu bahwa tanpa Bang Munir, kontrakannya akan terasa lebih sunyi. Sementara Bang Munir tahu, tanpa Kang Juhi, ia tidak punya alasan untuk melatih kemampuan marah-marahnya setiap pagi.
Di dunia yang keras ini, mereka menemukan kenyamanan dalam konflik kecil. Karena pada akhirnya, teman sejati bukanlah yang selalu setuju, tetapi yang selalu ada, meskipun dengan caranya yang menyebalkan.
Dan malam itu, di bawah langit kota yang penuh polusi, mereka berdua tertidur dengan perasaan yang sama, bersyukur karena tidak sendirian.
*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI