Bang Munir terkekeh, mengambil gorengan sisa yang ada di meja. "Ah, kau. kebanyakan berpikir. Gorengan ya, gorengan saja. Tidak usah dibawabawa sampai bicara soal hidup segala."
Kang Juhi melipat tangannya. "Iya, Bang. Abang kan pintar ngomong. Abang cuma tambal ban, tidak perlu memikirkan soal modal yang setiap hari naik."
Bang Munir berhenti tertawa, wajahnya mendadak serius. "Eh, jangan salah, Kang Juhi. Tambal ban itu juga seni. Kalau salah tambal, ban bisa meledak. Itu tanggung jawab besar! Tapi bedanya sama kau, aku tidak pernah mengeluh."
Percakapan mereka selalu dimulai dengan adu mulut seperti itu, tapi entah bagaimana, justru itu yang membuat suasana kontrakan terasa hidup. Di balik semua komentar sinis Bang Munir, ada perhatian kecil yang sulit diabaikan.
Bang Munir sering menjadi alarm hidup Kang Juhi. "Juhi! Kau belum mandi, ya? Bau minyak kau sudah sampai sini!" Ujarnya lantang.
"Biarlah, Bang. Daripada Abang, mandi tapi tambal ban tidak laku," balas Kang Juhi sambil menyembunyikan senyum kecilnya.
Tapi ada kalanya Bang Munir menunjukkan sisi lembutnya yang jarang keluar. Suatu hari, ketika Kang Juhi pulang tanpa gerobaknya setelah dirampas petugas, Bang Munir menunggu di depan pintu. Ia tidak banyak bicara. Hanya menyodorkan sebungkus nasi bungkus yang ia beli dari hasil tambal bannya hari itu.
"Makan dululah, Kang Juhi. Tidak ada gunanya melamun tapi kelaparan," katanya singkat.
Kang Juhi menerima nasi itu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Bang Munir. Abang baik juga ternyata."
Bang Munir cengar-cengir. "Jangan salah paham. Ini bukan untuk kau. Tapi untuk baskom kau, biar dia tidak protes kau kelamaan bicara omong kosong."
Kang Juhi dan Bang Munir sering terlihat seperti dua ayam jago kecil yang saling serang setiap hari. Namun, di balik itu, mereka saling mengandalkan. Kang Juhi tahu bahwa tanpa Bang Munir, kontrakannya akan terasa lebih sunyi. Sementara Bang Munir tahu, tanpa Kang Juhi, ia tidak punya alasan untuk melatih kemampuan marah-marahnya setiap pagi.