"Jangan begini, Pak," suaranya mulai bergetar, "kalau gerobak ini diambil, saya makan apa? Pelanggan saya makan apa?"
Namun, di dunia yang penuh birokrasi dan kekuasaan kecil yang sering kali disalahgunakan, protes Kang Juhi hanya bergema di telinga yang tuli. Gerobaknya diangkat paksa ke atas truk, meninggalkan dirinya dengan wajah bingung, hampir putus asa.
Setelah kejadian itu, berita tentang Kang Juhi menyebar di kalangan pelanggan setianya. Para pembeli mulai berdatangan ke trotoar kosong tempat ia biasa mangkal, namun hanya untuk menemukan Kang Juhi duduk di atas tikar lusuh, dengan baskom adonan di pangkuannya. Seolah ia sedang berkabung.
"Kenapa nggak melawan, Kang?" tanya salah seorang pelanggan, seorang ibu dengan anak kecil di gendongan.
"Mau melawan gimana, Teh? Saya cuma penjual gorengan. Mereka punya truk, punya seragam, punya kuasa," jawab Kang Juhi pelan.
Namun, di balik suaranya yang pasrah, ada kemarahan yang mulai tumbuh. Ia tahu bahwa yang terjadi padanya bukan kasus unik. Banyak pedagang kecil sepertinya yang digusur tanpa solusi, dianggap sebagai pengganggu tata kota. Padahal, mereka hanya ingin mencari nafkah di tengah himpitan hidup.
Keesokan harinya, Kang Juhi melakukan sesuatu yang tak terduga. Ia tidak langsung kembali ke jalanan. Ia menghubungi teman-teman sesama pedagang. Dengan bantuan seorang pemuda mahasiswa yang sering membeli gorengannya, ia mulai mengorganisir para pedagang yang senasib.
"Kita ini bukan masalah," kata Kang Juhi dalam pertemuan kecil di sebuah lapak kosong. "Kita ini solusi. Kota ini hidup karena kita. Gorengan, nasi uduk, bakso keliling. Kita yang bikin orang-orang bisa makan tanpa harus bayar mahal. Kalau mereka pikir kita cuma pengganggu, mereka salah besar."
Beberapa minggu kemudian, Kang Juhi dan para pedagang kecil lainnya mengadakan aksi protes damai. Dengan gerobak seadanya, mereka memenuhi jalanan menuju kantor pemerintah daerah. Plakat-plakat bertuliskan "Kami Bukan Beban, Kami Kebutuhan!" menghiasi barisan mereka.
Aksi itu tak mengubah segalanya, tetapi menggerakkan sesuatu. Media lokal mulai meliput perjuangan para pedagang kecil. Beberapa aktivis ikut angkat suara, mendesak pemerintah untuk mbaskomikan solusi yang manusiawi. Kang Juhi sendiri menjadi simbol perjuangan mereka, bukan karena ia mencari sorotan, tetapi karena kisahnya mewakili ribuan orang lain yang tak pernah terlihat.
Gerobaknya memang belum kembali. Tetapi Kang Juhi tahu, perjuangannya lebih besar dari sekadar mendapatkan gerobak baru. Ia kini memahami bahwa ia tidak sendirian, bahwa suara kecilnya bisa menjadi gema besar jika disuarakan bersama-sama.