Pengantar
Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Â
Gerobak Kang Juhi Dirampas
Yoss Prabu
Pagi itu, Kang Juhi memulai hari seperti biasa. Dengan roda gerobaknya yang sudah berdecit, ia menyusuri gang sempit menuju tempat biasa, sebuah trotoar kecil di depan pasar tradisional, tempat pembeli sudah hafal akan gorengannya yang murah dan renyah. Namun hari itu, nasib berkata lain.
Baru saja ia menata tempe dan bakwan yang sudah matang di loyang gerobaknya, seorang pria berseragam dengan lencana kecil di dada datang menghampirinya. "Pak, ini area terlarang untuk berdagang. Gerobak Bapak harus kami angkut."
Kang Juhi tertegun. "Tapi, Pak, saya sudah di sini bertahun-tahun. Warga juga nggak pernah protes," jawabnya dengan suara pelan.
Pria berseragam itu tidak peduli. Dengan isyarat tangan, sebuah truk datang mendekat. Dua orang lain turun, langsung menuju gerobaknya. Kang Juhi mencoba berdiri di depan gerobak, melindungi sumber kehidupannya.